di luar Ikhtiar Kehamilan Tahun IV: Laparoskopi dan Operasi Usus Buntu

Menjelang operasi

Kelanjutan dari diagnosa kehamilan di luar kandungan versus usus buntu-ku pada pertengahan tahun lalu (Juni 2011) adalah anjuran operasi usus buntu sekaligus laparoskopi. Berhubung pertamakali aku mendapat diagnosa itu di sebuah rumah sakit umum yang mengakui bahwa mereka tidak dapat menyelenggarakan operasi spesial semacam laparoskopi, maka ditransfer-lah aku ke sebuah rumah sakit ibu dan anak.

Sesampainya di RSIA yang dirujuk, aku langsung masuk ruang tunggu operasi, bukan kamar perawatan. Sayangnya aku harus menunggu dokter-dokternya (karena tidak sembarang dokter obgyn yang mampu mengerjakan laparoskopi dan Mama-ku sudah memilihkan secara khusus dokter spesialis bedah digestik yang bisa mengoperasi appendix hanya dengan sayatan kecil) dan berbagai persiapan lain hingga berjam-jam di ruangan itu, sambil berpuasa dan…sendiriii, karena suamiku terpaksa pulang ke rumah dulu untuk mengambil beberapa barang. Ternyata ruang tunggu operasi itu sungguh tidak enak, kawan. Tidak ada bel panggil suster, apalagi TV. Jadi sangat tidak disarankan deh, seorang pasien ditelantarkan sendiri di sana tanpa hiburan sama sekali (mana waktu itu HP-ku habis baterai, pula….bagusss!).

Hampir tengah malam (kalau tidak salah) dan ketika sudah mengantuk juga kelelahan, akhirnya aku masuk juga ke ruang operasi. Bersama orangtuaku, Hamdan mengantar sampai depan pintu ruang operasi dengan ekspresi wajah aneh yang agak sulit kutebak (belakangan, dia mengaku kalau ternyata saat itu dia takut sesuatu terjadi padaku…hiks). Aku sendiri yang awalnya berpikir “halah, operasi kecil ini…” tiba-tiba entah kenapa jadi tegang ketika didorong memasuki ruang operasi.

Di ruang operasi

Di ruang operasi, yang pertama kurasakan adalah…DUUINGIIIN! Sebagai perempuan bertubuh tipis, kurang lemak dan emang pecinta kehangatan (literally!), aku merasa itu situasi yang amat sangat tidak enak. Dalam hitungan detik, daguku langsung bergetar. Aku menggigil!! Sambil berusaha menenangkan diri, aku memandangi ruangan itu. Di langit-langit entah ada berapa lampu. Terang benderang, pokoknya. Lalu berbagai peralatan (yang tampak menyeramkan bagiku) mulai dipersiapkan oleh para perawat. Glek. Kok makin menakutkan ya?

Oya. Juga ada musik yang dinyalakan, dan perawat-perawat tampak berseliweran dengan santai..hingga seorang dokter anestesi juga datang dan memperkenalkan dirinya padaku. Setelah berkenalan, ia juga bersiap-siap dengan santai. Semuanya tampak santaiiii…..kecuali aku sendiri! Ya mungkin sih, mereka begitu supaya pasien juga santai, tapi yang terjadi padaku malah sebaliknya! Kenapa? Ya karena aku kedinginan setengah mati!

Mungkin tidak untuk orang lain, tapi soal kedinginan itu benar-benar masalah serius bagiku yang memang tidak kuat terhadap hawa dingin.  Jadi yang kukatakan dalam benakku saat semua orang bersiap-siap dengan santai di sekitar tubuhku adalah: “Woi cepetann! Kapan ini mulainya?? Mana biusnya?? Cepet bikin gue nggak sadar sama dingin ini!” Dan ketika menggigilku makin hebat, ketakutan yang luar biasa sampai menghampiriku: jangan-jangan nyawaku terancam bukan karena operasinya, tapi karena hipotermia…hahaha…

Selagi sibuk dengan pikiranku sendiri, dokter mengajakku bicara tentang entah apa, aku lupa. Tapi yang jelas aku merasa makin kesal, mempertanyakan kenapa operasi tidak juga dimulai. Lalu tiba-tiba, aku merasa tubuhku (beserta dipannya, tentu) didorong lagi! Lho, lho! Gimana sih? Aku berusaha melontarkan protes, tapi entah kenapa suara yg keluar lemah sekali, “Ini…mau kemana?” Dan betapa bingungnya aku ketika salah satu yang mendorongku menjawabku dengan nada geli, “Sudah,bu…sudah selesai operasinya!” Haaaahhhh????? Jadi begitu toh ternyata rasanya dibius sampai tak sadar: ya tak terasa apa-apa!

Setelah operasi

Saat diantar ke ruang pemulihan operasi, aku sudah kembali merasakan dingin itu, sampai berkali-kali minta tambahan selimut sampai 3 lapis. Sebenarnya saat itu aku masih merasa aneh….antara sadar dan tidak, karena sudah terasa nyeri luka di bagian perut, seperti ada yang ditarik….tapi aku tak bertenaga untuk melakukan apapun, bahkan untuk berteriak sakit. Suaraku bisa keluar tapi lirih sekali.

Mulanya Hamdan menemaniku di ruang pemulihan. Tapi karena aku harus berada di sana berjam-jam sementara tidak ada tempat untuk penunggu pasien, aku jadi tak tega. Kalau suamiku kelelahan kan bisa-bisa nanti dia ikut-ikutan sakit. Jadilah ia ‘kuusir’ agar lebih dulu mengungsi ke kamar rawat inap. Beberapa jam kemudian, baru aku menyusul diantar kesana.

Kalau tidak salah, hampir tiga hari aku diopname setelah menjalani operasi. Mulanya aku hampir tidak bisa makan (meskipun sudah boleh) karena reaksiku sebagai efek samping bius memang agak berlebihan: vertigo sampai muntah-muntah. Bekas operasi di perut pun terasa sangat nyeri, bahkan lebih tak enak daripada nyeri ketika aku diantar ke UGD  pertamakali. Kalau sebelumnya kan nyeri hebat tapi hilang dan timbul, sementara nyeri setelah operasi yaa memang tidak hebat tapi konsisten. 😦

Temuan-temuan

Jadi nyatalah bahwa operasi itu tidak bertujuan mengatasi rasa sakit, ya, saudara-saudara, melainkan mengatasi sumber masalah!  Masalah dan rasa sakit itu beda cerita, catat! Bersyukurlah orang-orang yang dikaruniai rasa sakit, yang berarti alarm tubuhnya bekerja dengan baik: memberitahu bahwa ada masalah yang sedang terjadi di dalam tubuh.

Nah, sekarang hasil penemuan operasiku. Dari kedua operasi yang dilakukan (operasi usus buntu oleh dokter bedah digestik dan laparoskopi oleh dokter kandungan khusus),  diketahuilah bahwa memang benar ternyata aku menderita appendicitis akut, sementara untuk urusan rahim tak ada masalah apapun. Bahkan sang obgyn menyebutkan ia melihat kista luten yang menandakan aku tidak punya masalah dengan kesuburan! Waah…alhamdulillah!!

tindakan laparoskopi

Dengan demikian, diagnosa KET (kehamilan ektopik) terhadapku tidak terbukti benar. Namun kami tidak menyesal mengambil keputusan untuk menjalani laparoskopi yang cukup menguras kantong itu (berbeda dengan operasi usus buntu, asuransi kesehatan tidak mau membayar untuk yang satu ini dengan alasan yang aneh: terlalu canggih!). Karena dengan si laparoskopi, segalanya menjadi jelas…aku tidak perlu menebak-nebak apakah benar telah terjadi kehamilan luar rahim atau tidak. Apalagi plus bonus informasi yang sudah berbeda dengan ketika pertamakali aku periksa hormon tiga tahun sebelumnya: ternyata kini aku subur! Subhanallah….

Bahagia itu Sederhana

Ketika aku tak tahan untuk mengekspresikan kebahagiaanku, banyak yang bertanya (lagi) apakah aku sudah hamil. Ketika kuceritakan apa yang membuatku gembira , ada di antaranya yang merasa heran dan menganggapku lebay: “Yah, elah.  Belum juga sampai hamil, senengnya kayak udah dapet apaa…gitu. Kecepetan tuh senengnya!”

Begitulah. Ada orang-orang yang merasa kami ini aneh, sudah begitu bahagia hanya karena hal-hal yang mereka anggap ‘kecil’. Wah, terimakasih…kami jadi semakin sadar bahwa dengan segala proses yang diberikanNya pada kami ini, kami diselamatkan dari sikap sombong dan tak tahu bersyukur. Proses ini khusus diberikan agar kami yang masih bodoh ini belajar untuk lebih pandai bersyukur dan tidak menganggap nikmat berbentuk apapun sebagai ‘sesuatu yang kecil’.

Apa sih yang perlu kita tunggu untuk mulai bersyukur? Oh ya. Nikmat.  Eh, memangnya nikmat seperti apa ya, yang belum kita dapatkan?

“…dan nikmat Allah mana lagi yang kamu dustakan?….”

 

Salam bahagia!

Heidy

Gambar diambil dari sana dan sini. Terima kasih!

di luar Ikhtiar Kehamilan Tahun IV : Appendicitis vs KET

Hanya selang beberapa minggu setelah mengalami kegagalan si inseminasi buatan (Juni 2011), aku mendapatkan pengalaman istimewa lainnya.

Pada suatu hari yang sibuk di antara hari-hari sibuk lainnya (jadi intinya bukan di hari yang santai), aku merasakan nyeri di bagian perut bawah sebelah kanan. Nyerinya hilang dan timbul setiap beberapa saat. Mulanya kuabaikan, karena menurutku nyeri perut itu biasa. Lagipula, seharian itu aku dan Hamdan memang harus ‘berkeliling kota’ untuk berbagai urusan. Mungkin saja dengan berbagai kesibukan, sakit itu akan terlupakan dan hilang sendiri.

Namun ternyata lama-kelamaan, jeda waktu antara nyeri semakin sempit, dan si nyeri makin terasa. Beberapa kali aku sampai harus membungkuk sedikit saat berjalan. Hamdan yang sedang bersamaku merasa khawatir. Ia mengusulkan untuk pergi ke dokter/ rumah sakit. Aku yang masih berpikir bahwa nyeri perut itu biasa, merasa usul itu berlebihan. Memang ada kebingungan karena nyeri terasa di bagian perut sebelah kanan bawah, yang berarti tidak mungkin karena maag (karena biasanya sakit maag terasa di ulu hati atau bagian kiri perut), namun tetap saja aku tidak ingin berpikir yang bukan-bukan.

Ketika malam tiba dan tinggal satu urusan lagi sebelum kami pulang ke rumah, aku menyerah. Saat itu aku menunaikan salat Isya dengan diimami suamiku. Ketika bangun dari sujud terakhir, aku hampir berteriak. Nyeri itu tak tertahankan lagi, dan aku langsung terkulai usai mengucap salam. Hamdan tak pikir panjang lagi, aku pun langsung dilarikan ke UGD rumah sakit umum terdekat.

Di UGD, aku diperiksa oleh dokter umum yang berjaga malam itu. Menurut diagnosanya, aku menderita appendisitis (usus buntu). Untuk memastikan, aku pun melakukan tes darah. Meningkat drastisnya kadar leukosit dalam darah menunjukkan sudah terjadinya infeksi dalam tubuhku.

Mamaku, yang kebetulan seorang dokter juga, sangat kaget waktu malam itu Hamdan menelepon dan memberitahu bahwa aku harus dioperasi usus buntu keesokan harinya. Aku kan baru mengeluh sakit sejak awal hari itu, masa’ harus operasi dalam waktu kurang dari 24 jam? Itulah hal yang membuatnya tak habis pikir.

Selain itu, Mama juga mencurigai kemungkinan lain. Menurutnya, seorang perempuan yang mengeluh sakit di perut bawah harus dicurigai dari berbagai sudut kemungkinan, tidak boleh tergesa-gesa dalam meyakini suatu diagnosa. Ditambah pula dengan kenyataan: belum genap sebulan lalu aku melakukan inseminasi buatan.

Atas permintaan Mama, operasi pun ditunda dan keesokan paginya aku dirujuk periksa ke seorang dokter kandungan yang berpraktek di rumah sakit itu. Lalu berdasarkan hasil pemeriksaannya via usg, aku diduga mengalami kehamilan di luar rahim atau kehamilan ektopik (KET).

Perasaanku campur aduk ketika dokter mengatakan diagnosa KET yang terjadi padaku. Masalah kami yang lain belum selesai, apa pula ini? Aku juga tidak percaya mentah-mentah diagnosa tersebut, mengingat sebelumnya aku baru saja selesai mengalami menstruasi. Bukankah jika menstruasi terjadi berarti tidak ada embrio yang terbentuk dan semuanya sudah terbuang bersama penebalan dinding rahim yang meluruh?? Tapi katanya, hal itu tetap bisa saja terjadi..

Namun di luar pemikiran di atas, aku dan Hamdan yang saat itu terus bersama-sama (seharusnya tepat hari itu ia berangkat lagi ke Balikpapan, tapi batal karena aku harus opname) juga ‘menikmati’ segala yang terjadi. Berdua, kami saling bercanda yang mungkin juga sekaligus saling menghibur. Misalnya, “Ya kalo bener lumayan juga, ngerasain juga deh yang namanya hamil meskipun sebentar…kemajuan kan….hehehe.”

Sebenarnya aku sempat menyarankan agar Hamdan berangkat kerja saja. Soalnya tiket pesawat sudah di tangan. Lagipula setahuku operasi usus buntu itu operasi biasa, nggak heboh-heboh amat. Lagipula juga aku di Jakarta, di kota yang sama dengan orangtua kandung maupun mertuaku. Bukankah ini alasan kenapa aku tinggal di kota ini? Agar kalau ada apa-apa dan suamiku masih di laut, ada begitu banyak orang yang bisa dimintai bantuan…

Tapi suamiku yang penyayang menolak mentah-mentah saranku. Bagaimanapun, ia ingin menemaniku. Menurutnya sungguh tak masuk akal, aku masuk rumah sakit dan ia terbang ke pulau lain. Akhirnya aku pun mengalah, mengikuti keputusannya yang sudah bulat, dan….tentunya menikmati perhatian ekstranya! Duh, kalau ingat ini…sungguh takkan habis rasa syukurku, dikaruniai suami yang ingat akan sifat Ar-Rahman & Ar-Rahiim dalam dirinya …Subhanallah…

Jadi mungkin itulah kenapa, baik nyeri hebat di perut maupun diagnosa KET tidak terlalu berdampak pada perasaanku. Soalnya suamiku bukan hanya setia mendampingi, tapi juga asyik pacaran denganku…hehehe. Sampai-sampai ada suster yang tak tahan bertanya pada kami, “Bapak & Ibu pengantin baru, ya? Masih mesra banget deh…” Duhh jadi malu pas jawab, “Iya sus, baru 4 tahun…”

Orang-orang sampai heran melihat wajahku segar-segar saja, tidak terlihat murung, pucat, dan sebagainya (bahkan Mama sampai makin meragukan kalau aku benar-benar sakit!). Malah ada sahabatku yang ‘menggantikanku’ menangis, karena menurutnya aku begitu tabah…heee….waduhh…aku malah bingung. Soalnya serius beneran bukannya merendah, tapi aku memang tidak merasa sedang mendapat suatu kesusahan, kok! Yang susah itu kan orang yang nggak punya makanan, kehujanan…nggak punya rumah, dsb. Nah dibandingin orang-orang itu aku malu dong, kalo ngaku-ngaku susah?

Yah, begitulah sodara-sodara. Maafkan jika mungkin bukan posisiku untuk berpesan ini: masalah apapun yang kita hadapi, ingatlah bahwa kita tidak benar-benar tahu….mungkin masih buanyaak orang di luar sana yang lebih susah dari kita. Mungkin dibandingkan mereka, masalah kita nggak ada apa-apanya banget. Malu, kalo sampai ketahuan nangis putus asa (nangis sembunyi-sembunyi untuk keluarkan emosi sesekali sih nggak apa kayaknya, aku juga sering)! Dan sebagai orang beriman, mari terus ingat : Tuhan tidak pernah memberikan ujian pada seseorang kecuali ia juga diberikan kekuatan untuk MAMPU menghadapinya.

Pesan singkat di atas ini juga untuk catatanku sendiri, karena…yah, ngomong sih gampang, ya. Kenyataannya, aku sendiri juga suka lupa. Butuh banget diingetin berulang-ulang! Mengingat pengalaman sendiri juga ternyata bermanfaat sekali. Bagiku sendiri, pengalaman di atas selalu jadi pengingat…bahwa susah atau tidaknya kita, bahagia atau tidaknya kita, bukan bergantung pada apa yang kita hadapi…tapi bagaimana kita menghadapinya. Jadi, mari tentukan sendiri: mau nangis atau senyum, mau sedih atau bahagia??

Cerita terkait rencana kehamilan di tahun ke-4 perkawinan kami ini masih berlanjut… Pada tulisan berikutnya, aku akan bercerita tentang Laparoskopi dan Operasi Usus Buntu. Terimakasih sudah membaca!

Salam,

Heidy