Ikhtiar (Kehamilan) Terakhir

Dua bulan yang lalu, aku dan Hamdan telah memutuskan untuk berhenti mengunjungi dokter spesialis obstetri dan ginekologi dan menghentikan segala pengobatan medis.

Dokterku yang Baik

Khusus tentang sang dsog, aku ingin bercerita sedikit tentangnya. Sebelum berhenti mengunjunginya, dsog terakhirku itu baru dua bulan lebih sedikit menjadi langgananku. Sungguh sebentar berjodohnya kami!

Sejauh ini, menurut pengamatanku, tak ada yang salah dengannya. Meski awalnya aku menangkap kesan galak dari raut wajahnya, ternyata beliau justru baik sekali. Pada kunjungan pertama, aku langsung memberinya ‘ringkasan cerita’ terkait masalah infertilitasku dan Hamdan sejak menikah beserta bundelan hasil pemeriksaan lab kami.  Ia membaca semuanya dengan seksama, tidak terburu-buru sama sekali. Terasa benar niatnya yang ingin memberiku keleluasaan untuk berkonsultasi. Keluar dari ruangannya, aku baru sadar bahwa ia telah memberiku waktu konsultasi selama 50 menit sendiri! Subhanallah

Hal lain yang membuatku ingin mendoakan dsog yang baik ini adalah kedermawanannya. Tidak hanya sekali ia memberiku potongan biaya untuk jasa konsultasinya hingga lima puluh persen! Bahkan ketika aku mendatanginya untuk konsultasi hasil HSG, aku hanya perlu membayar dua puluh ribu rupiah untuk biaya administrasi rumah sakit. Dengan kata lain, ia menggratiskan seratus persen biaya jasa konsultasinya! Sekali lagi, subhanallah..

Lalu hal yang paling membuatku terharu adalah kebaikan, kesantunan dan kebijaksanaannya sendiri. Setelah diberitahu nomor ponselnya, sangat mudah bagiku untuk menghubunginya. Hebatnya, ia tak pernah lama membalas pesan –pesanku. Jika butuh waktu untuk menjawab pertanyaanku (biasanya seputar jadwal bertemu), ia akan mengirimkan dulu pesan seperti “Mohon waktu..” Jarang betul kan dokter sesantun ini? Ia dapat menjelaskan suatu hal dengan jelas dan rinci, tapi juga terlihat sangat berhati-hati dan tidak membuatku stres. Ia pun tidak pernah memaksakan pemikirannya untukku. Untuk setiap langkah pemeriksaan yang menurutnya perlu kulakukan, berkali-kali ia mengatakan “Jika bersedia…”  dan mengingatkan bahwa kapasitasnya hanyalah untuk menyarankan, sementara keputusan untuk melaksanakannya tetap berada di tanganku. Termasuk untuk langkah yang ia sarankan pada kunjungan terakhir kami : pemeriksaan hormon.

Ya, dengan sangat menyesal, aku menjadikan itu sarannya yang terakhir, memutuskan untuk tidak mengikutinya, dan sudah hampir dua bulan aku tak mengunjunginya kembali. Tak mudah sebenarnya memutuskan hal ini. Bagaimana pun, ia dokter yang baik dan sejauh ini tak ada hal darinya yang membuatku kecewa. Kurasa seandainya aku hamil suatu saat nanti, aku pun ingin kembali berkunjung dan berkonsultasi padanya.

(Bukan) Mengulang Perjalanan

Apa yang akhirnya membuatku memutuskan untuk tidak mengikuti langkah pemeriksaan hormon? Yang menjadi jawabannya adalah seluruh perjalanan kami sendiri terkait usaha untuk berketurunan ini. Aku selalu menerima masalah apapun yang harus kami hadapi untuk urusan berketurunan ini untuk kemudian dicari solusinya, diupayakan untuk diselesaikan. Ikhtiar atau usaha adalah kewajiban. Dengan melakukannya, aku pun memahami bahwa perjalanan kami ini adalah ujian sekaligus anugerah. Setiap pengalaman kami selalu memberikan hikmah baru, nikmat yang berbeda.

Pemeriksaan hormon sudah pernah kulakukan empat tahun yang lalu sebagai pemeriksaan infertilitasku yang pertama dan waktu diketahui bahwa hormon kesuburanku tidak normal. Terapi hormon bukan solusi yang aman untukku yang saat itu juga masih melakukan terapi obat untuk anemia hemolisis. Karena itulah, aku menempuh berbagai jalan pengobatan alternatif dan masalah berhasil terselesaikan beberapa waktu kemudian, meski aku tak tahu persis cara mana yang menyembuhkan kondisiku itu. Bisa jadi salah satu pengobatan alternatif yang kulakukan, atau semuanya sekaligus. Yang jelas kutahu, Allah ridho dan masalah itu pun lenyap, entah melalui jalan yang mana. Nah, wajar kan jika aku termangu begitu mendapati aku kembali mengalami masalah perkembangan sel telur yang diduga terkait masalah hormon, masalah yang sama dengan masalah terdahulu itu? Bagaimana bisa? Apa yang harus kulakukan? Mengulangi seluruh ikhtiarku dulu?

Ketika bertanya pada dsog-ku, ia menjawab bahwa penyebab masalah tidak berkembangnya sel telur tak dapat diuraikan secara tepat. Ada beragam faktor yang dapat mempengaruhinya dan wajar jika seorang wanita mencapai masa subur pada satu siklus dan tidak mencapainya pada siklus berikutnya. Lihatlah kasusku yang delapan bulan sebelumnya diyakini seratus persen subur berdasarkan pemeriksaan laparoskopi. Menurutmu, apa yang terjadi dalam delapan bulan berikutnya? Jika perubahan-perubahan seperti ini wajar atau pasti terjadi, untuk apa aku mencari pengobatan? Bukankah bisa saja nanti aku lagi-lagi sembuh hanya untuk sesaat, lalu kembali lagi ke kondisi ini?

Sama seperti empat tahun lalu, aku tak melirik terapi hormon sebagai solusi. Bagiku, efek samping atau dampak negatif dari cara pengobatan tersebut terlalu besar atau tidak sebanding dengan persentase keberhasilan yang diharapkan. Aku pun berhenti mengunjungi dsog-ku.

Meski demikian, aku tak berhenti mencari informasi dari berbagai sumber dan jika semua sumber informasi itu dituliskan, mungkin jumlahnya mencapai ratusan halaman. Memang, hal ini bukan baru saja kulakukan. Namun kali ini aku semakin ketagihan. Daripada diam melamun sendiri, aku lebih memilih menyibukkan pikiranku dengan membaca. Apa hasil dari kegiatan melahap segunung informasi itu? Kenyang dan buncit, tentu saja. Lalu pusing tujuh keliling karena seperti halnya untuk masalah lain, tak sedikit informasi yang bertentangan di dunia ini. Menurut sumber 1, melakukan A dan mengonsumsi B sangat dianjurkan. Sementara menurut sumber 2, sebaiknya hindari melakukan A dan mengonsumsi B. Begitu seterusnya hingga kuperoleh puluhan sumber. Jadi, mana yang harus kuikuti??

Pada masa kebingungan itu, rasa kesal, marah, dan frustasi merayapiku. Dalam hampir setiap percakapanku dengan Tuhan, kulontarkan pertanyaan apa maksudNYa kali ini? Kenapa? Jadi apa yang diinginkanNya dariku? Lalu ketika teringat olehku Mama yang berkata bahwa orang beriman tidak bertanya “kenapa” pada Tuhannya, aku pun menyadari betapa aku tidak termasuk golongan orang yang beriman.

Kepusinganku akhirnya terobati setelah dari diskusi-diskusi eksklusif dengan Hamdan, aku teringat akan hal terpenting, hal yang menjadi prioritas kami. Apa yang menjadi tujuan hidup kami berdua dan bagaimana kami tak boleh salah ambil jalan, yang ternyata malah menghalangi pencapaian tujuan itu.

Nyaris saja aku melupakan alasan mengapa aku melakukan langkah-langkah ikhtiar itu. Berketurunan bukanlah tujuan hidupku dan Hamdan. Kami memutuskan untuk hidup bersama karena ingin bahagia lahir dan batin, saling mendukung satu sama lain untuk sukses dunia dan akhirat. Dan bahagia maupun sukses itu tak harus terwujud atau terukur dalam hal keturunan, kekayaan, kepopuleran atau hal-hal lain yang sering dibanggakan manusia dalam kehidupan sehari-harinya.

Ikhtiar seharusnya hanyalah wujud kami menunaikan kewajiban sebagai hambaNya. Langkah-langkah kecil kami telah menapaki jalan misterius untuk berusaha mencapai bahagia dan sukses yang hakiki itu. Namun ketika berusaha untuk menganalisis secara rinci bagaimana  tepatnya jalan itu, memperkirakan panjang dan batas-batasnya, kurasa saat itulah niat suci itu tercemar. Ada pamrih, berharap akan imbalan yang setimpal setelah melihat panjangnya jalan yang telah ditempuh. Padahal sebelum iseng mengukur si jarak dan membayangkan sang imbalan itu, perjalanan sudah terasa begitu nikmat. Lihatlah… betapa manusia itu tak pernah puas, tak pandai bersyukur dan gemar mendzhalimi dirinya sendiri.

Ikhtiar itu wajib, dan salah satu kegelisahanku adalah jika kami termasuk lalai dalam melaksanakan kewajiban ini. Namun, ketika kembali kubuka catatan perjalanan kami, kukenali rasa damai itu. Kami sudah menunaikan kewajiban ini, dan terasa kini tibalah saat terindah. Bukan saat untuk mengharap akan imbalan, melainkan saat untuk benar-benar mengikhlaskan segalanya, menghapus segala pamrih. Segala usaha, semua jerih payah itu…kami ikhlas, ya Allah. Bahwa hanya Engkaulah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, kami meyakininya. Maka dengan menyebut namaMu, kami mulai rencana terakhir ini: memutuskan untuk menikmati hidup pemberianMu, berbahagia sekarang juga tanpa menunggu apapun. Jadikanlah apapun kehendakMu yang terbaik bagi kami.

Salam berbagi,

Heidy

Cerita Ikhtiar Kehamilan : Tahun II-III

Tahun kedua pernikahan (2008-2009)

Satu-satunya ‘oleh-oleh’ yang kudapat dari kunjungan ke dokter kandungan sebelumnya adalah bagaimana memperkirakan tanggal masa subur. Jadi sebisa mungkin minta Hamdan menyesuaikan hari off-nya dengan masa suburku….(meskipun tak selalu bisa juga sih).

Nah, setelah ulangtahun pertama pernikahan dan aku belum hamil juga, datanglah aku kembali ke dsog (dokter spesialis obstetri dan ginekologi). Namun, bukan dokter yang sama dengan sebelumnya. Kali ini untuk pertamakalinya, aku ditangani oleh dsog laki-laki. Beberapa pemeriksaan pun mulai dilakukan (curhatan lebih lengkap pernah kutulis di Pemeriksaan Infertilitas 2, Pemeriksaan Infertilitas 3, dan Pemeriksaan Infertilitas 4) :

–           Cek hormon melalui pengambilan darah di hari ke-3 & 21(Ini berarti dihitung dari hari pertama menstruasi. Oya, fyi kalau ada yg perlu tahu juga, biaya cek hormon ini sekitar 800 ribu rupiah. Waktu itu aku periksa di Lab Makmal UI Salemba dengan membawa surat pengantar dari dsog-ku. )

–          Cek saluran telur (HSG) antara hari ke-9 s/d ke-12 (Biaya sekitar 900 ribu rupiah, aku periksa di RSIA Hermina Jatinegara. Sebaiknya membawa pembalut dan ditemani seseorang ya, periksanya…karena kadang terjadi rasa mual/pusing setelahnya)

–          Cek sperma suami setelah puasa berhubungan seksual minimal 3 hari dan maksimal 5 hari, dianjurkan pengambilan dilakukan sebelum pukul 10 pagi (kami melakukan pemeriksaan sperma ini di RSIA Herina Jatinegara juga)

Lalu kami mendapati bahwa beberapa hasil dari pemeriksaan-pemeriksaan di atas tidak bagus. Yang pertama, didapati bahwa kadar progesterone-ku rendah, sehingga ada dugaan bahwa sel telur yang kuhasilkan tidak pernah matang (bantet, kata si dokter!). Tapi alhamdulillah kalau soal saluran telur, aku nggak bermasalah. Sementara itu dari hasil tes sperma suami pun ditemukan bahwa dari tingginya jumlah spermanya (jadi dari segi jumlah amat sangat tak masalah, produktif banget ternyata dia!), morfologi (bentuk) sperma yang normal hanya sedikit, begitu pula dengan persentase yang bergerak cepat dan lurus..

Kembali ke sang dsog. Untuk mengobatiku, beliau berniat melakukan terapi obat penyubur. Tapi ada masalah besar: sejak beberapa tahun sebelumnya aku minum Medrol, sejenis steroid (meski dalam dosis yg sangaaat kecil) yang diresepkan oleh dokter hematolog-ku (dokter penyakit dalam sub spesialis darah) karena aku didiagnosa menderita anemia hemolisis (curhat lengkap ada di “Anemia Hemolisis vs Kemungkinan Anovulasi”). Masalahnya terletak pada BERTENTANGANNYA sifat obat penyubur dengan si steroid ini. Jadi kalau aku minum obat penyubur, si steroid harus berhenti. Tapi kalau si steroid berhenti, aku anemia. Padahal, kehamilan beresiko tinggi jika si ibu hamil anemia (bisa kehabisan darah saat melahirkan).

Lalu gimana, dong? Dsog-ku berkata: “Kamu umroh aja, deh!” Wah, aku senang dokterku mengingatkanku untuk berserah diri padaNya. Namun aku juga memahami sesuatu dari kata-katanya itu: tidak ada penyelesaian untuk masalahku melalui cara kedokteran barat! Sejak saat itu….aku berhenti ke dokter. Nggak cuma ke dsog, tapi juga ke hematolog. Aku merasa agak marah juga pada hematolog-ku, karna jika cara kerja steroid bertolak belakang dengan obat penyubur, berarti….steroid-lah yang membuatku tidak subur??

Sementara itu suamiku mendapat kabar lebih baik dari dokternya (androlog), yang menyatakan dari analisa sperma yg didapat, kemungkinannya untuk menghamiliku (ehm) masih lumayan.

 

Tahun ketiga pernikahan (2009-2010)

Aku berhenti ke dokter dan beralih ke berbagai pengobatan alternatif.  Beberapa metode pengobatan yang kucoba adalah terapi jus herbal, urut tradisional, pijat tusuk jari, pijat refleksi, totok Cina, dan akupunktur.

Tak semua dari pengobatan-pengobatan itu yang bertahan lama. Aku langsung berhenti berkunjung jika menemukan terapis yang berkata dengan sombong, “Hamil ini, bulan depan!” dan Tuhan membuktikan perkataannya salah pada bulan berikutnya. Jangan mendahului Tuhan, ya Pak. Segala yang terjadi itu kuasaNya!

Salah satu yang bertahan lama (hingga kini) adalah pengobatan akupunktur dan totok Cina. Masing-masing terapisnya insyaAllah rendah hati. Tidak ada yang menjanjikan sesuatu yang muluk-muluk, hanya menjelaskan proses apa yang perlu kulalui.

Kata-kata si terapis totok misalnya begini, “Waah…pantes,  ini hormonnya rendah banget! Pernah jatuh, dulu?” Lalu ia pun mengobati kelainan hormonku itu dengan metode totoknya, tanpa ada banyak janji-janji tak penting. Ketika bulan depannya aku datang lagi, mengatakan belum hamil juga, ia hanya menyatakan, “Yah soal hamil nggak hamil itu kan kuasaNya, memang belum waktunya aja kali Bu…saya dulu juga 5 tahun nikah baru punya anak…” Nah, support yang begini ini yang lebih bisa kuterima! Betul pak, kita sih ikhtiar aja, soal hasil ya urusan Tuhan.

Sementara itu, ada yang menarik pula dengan metode akupunktur, yang membuatku sampai sekarang masih bertahan menjalaninya. Sebenarnya tujuan pengobatan akupunktur ini bukan untuk program kehamilan, melainkan kesehatan tubuh secara umum. Karena masalah pertamaku adalah si anemia hemolisis, maka itulah yang ditangani terlebih dulu. Prinsip dari akupunktur adalah menstimulus tubuhku agar bekerja sendiri, tidak bergantung pada obat yang masuk ke dalam tubuh. Jadi tak perlu khawatir soal efek samping, Kupikir ini bagus sekali, masuk akal dan cocok dengan keinginan & kebutuhan diriku yang sudah muak dengan obat-obatan.

Dengan akupunktur, hb-ku meningkat perlahan-lahan. Memang pelan, tapi pasti dan lebih stabil. Suamiku pun akhirnya ikut menjalani akupunktur dan ternyata beberapa bulan setelahnya mendapat hasil analisa semen yang lebih baik: morfologi spermanya normal! Menurut pendapat sang terapis, memang ada kemungkinan morfologi abnormal sperma itu dipengaruhi oleh satu sistem (maaf, aku lupa apa itu) tubuhnya yang kurang sempurna karena dulu suamiku terlahir prematur. Sayangnya soal kecepatan gerak, bisa ada begitu banyak faktor dan akupunktur mungkin tidak terlalu berpengaruh untuk menyembuhkannya (terapisnya jujur yaa!).

Tahun pertama hingga ketiga ini adalah tahun-tahun yang sungguh menantang bagi kami berdua sebagai suami istri. Sungguh tak mudah, apalagi ketika menerima kenyataan bahwa secara medis memang ada masalah yang membuat kami sulit untuk berketurunan, padahal sejak sebelum menikah sudah ada begitu banyak pembicaraan yang memikirkan berbagai kemungkinan seperti ini. Bukankah ini merupakan bukti bahwa proses berpikir dan proses merasakan itu memiliki jalannya masing-masing?

Pengalaman melewati tantangan-tantangan ini sungguh berharga. Proses pendewasaan diri masing-masing sebagai hambaNya dan sebagai pasangan yang berbagi hidup pun terjadi. Pada masa ini kami banyak berdialog tentang tujuan hidup, berkeluarga, kebahagiaan yang hakiki, arti cinta universal, lalu saling menguatkan dan membantu untuk kembali padaNya. Pada masa ini pula kami pertamakali belajar untuk benar-benar memperhatikan dan menjaga perasaan satu sama lain, berusaha mendahulukan untuk mengerti perasaan suami/istri di atas keinginan untuk dimengerti, dan sebagainya. Hal-hal seperti inilah yang lebih penting daripada meminta keturunan.

Daripada memikirkan soal belum adanya anak yang dititipi pada kami, kami memilih untuk berpuas-puas menikmati dan mensyukuri ‘masa pacaran’ kami. Apa jadinya dunia jika para pasangan yang punya anak terus mengeluh karena kerepotannya, sementara yang belum dikaruniai terus menangis? Dunia penuh dengan orang-orang yang tak tahu bersyukur, dong!

Jadi, apa kami mendapat ujian/cobaan yang sangat berat? Wah, kami sih lebih merasa bahwa yang kami peroleh adalah anugerah yang luar biasa…Subhanallah, Alhamdulillah..

Tulisan ini pun masih berlanjut ke Rencana Kehamilan: Tahun IV (Terapi PLI). Sekali lagi, terimakasih sudah sudi mampir dan membaca ya!

Salam,

Heidy