Bercerita tentang Kehadiran Anak

Ibu mana yang kehabisan bahan jika diminta bercerita tentang anak? Yang jelas bukan aku. Bahan ceritaku bahkan sudah menggunung sebelum aku hamil, atau tepatnya sebelum pertama kali menjadi ibu, setelah mengadopsi anak pertamaku.

Sebenarnya, lebih jauh lagi sebelumnya, tepatnya sebelum menikah, duniaku cukup dekat dengan anak-anak. Sesuai dengan minatku pada dunia anak dan pendidikan, guru adalah profesi pilihan pertamaku setelah menjadi sarjana (walau bukan S.Pd). Murid-murid di beberapa lembaga pendidikan dan adik-adik asuh di beberapa komunitas pendidikan pun kuanggap sebagai anak-anak pertamaku.

Saking dekatnya dengan anak-anak, aku—menurutku, tetapi beberapa orang berpendapat sama—mungkin terlalu serius memikirkannya. Aku mengkhawatirkan anak-anak yang tidak mendapat cukup perhatian dan tidak tumbuh di tengah keluarga yang hangat. Perasaan gelisah terus tumbuh dan menuntunku pada pikiran: daripada tambahan manusia baru, sepertinya dunia lebih membutuhkan terpeliharanya alam beserta isinya (termasuk anak-anak terlantar). Melihat sejuta problema (yang disebabkan oleh manusia, yang sebagian besar di antaranya kurang bahagia semasa kecil) di atas bumi ini, aku heran mengapa masih banyak orang yang ingin beranak.

Pemikiranku tidak berubah saat merencanakan pernikahan. Justru hal yang memantapkan keputusanku untuk hidup bersama Hamdan adalah pendapatnya yang serupa denganku: berketurunan bukan alasan utama untuk menikah. Ia sama sekali tak kesulitan menjawab satu pertanyaan mamaku saat mengujinya (ya, dia menempuh “ujian proposal” berkali-kali sebelum kami menikah): “Gimana kalau enggak dikaruniai anak?”

Yang Nikah Bukan Karena Ingin Berketurunan

Siapa sangka, pertanyaan itu belakangan kami sadari begitu dalam artinya selama delapan tahun pertama pernikahan kami. Keherananku tentang keinginan umumnya manusia untuk memiliki anak langsung terjawab tak lama setelah aku menjadi seorang istri. Momen tepatnya adalah hari pertama menstruasiku setiap bulannya. Setiap momen itu datang, muncul perasaan aneh yang disertai dengan air mata. Beberapa bulan kemudian, barulah aku sadar. Ternyata aku menginginkan kehamilan.

Mengapa aku ingin hamil? Kenapa orang punya anak? Mendahului argumen yang disesuaikan dengan logika dan ilmu pengetahuan, kurasa sebenarnya kita tahu jawabannya. Sebagai manusia, aku ingin berketurunan. Sebagai perempuan, aku ingin hamil, melahirkan, dan menyusui. Tidak ada alasan khusus. Ya begitu saja: ingin karena ingin.

Mengakui keinginan itu adalah awal mula. Mengusahakan dan mencapainya adalah langkah selanjutnya yang ternyata dalam kasus kami memakan waktu hingga satu windu. Temuan demi temuan dalam memperjuangkan momongan ini kutuangkan dalam tulisan. Dahulu, kupublikasikan tulisanku di blog Multiply. Begitu lapak itu ditutup, kurangkum semua kisah itu di blog ini. Tak kuduga, blogku mendapat banyak kunjungan karena cerita-cerita tentang kondisi infertilitas kami. Kurasa jarang yang gemar menceritakan pengalaman yang kurang menyenangkan ini, tetapi banyak yang ingin tahu.

Tahun-Tahun Sebelum Ada Anak: Pacaran Halal

Tentu aku tidak senang dengan kondisiku (dan suami) yang sulit berketurunan. Namun, menyembunyikannya lebih merugikanku. Kepala dan dadaku penuh akan berbagai hal, termasuk ilmu dari belasan dokter yang kukunjungi dan berbagai komentar dari lingkunganku. Menuliskan semuanya sungguh meringankan bebanku.

Aku cukup rajin membagikan cerita perjalananku hingga tahun 2014. Setelah itu, teman-teman sesama pejuang yang setia berkunjung mungkin menyangka aku akhirnya bosan ketika lama tidak menemukan tulisan baru di sini. Kenyataannya tidak begitu. Aku malah sangat ingin menceritakan episode baru hidupku: menjadi ibu setelah mengadopsi anak (secara legal). Sepertinya ini jawaban Allah atas kekhawatiranku semasa gadis dulu tentang anak-anak terlantar. MasyaAllah.

Namun, keinginan itu tertunda beberapa tahun . Sebab pertamanya adalah aku menunggu anak angkatku cukup besar untuk benar-benar paham ketika aku meminta izinya sebelum menceritakan dirinya lebih banyak. Sebab kedua mungkin serupa dengan umumnya ibu di dunia: kehadiran anak di tengah-tengah kami (apalagi tak lama setelah mengadopsi si sulung, aku hamil dan melahirkan si bungsu) benar-benar menyibukkanku.

Hasil Doa Si Sulung, “Mau punya adik bayi dari perut Bunda,”

Kini, anak-anak makin besar dan aku kembali mendapat cukup waktu untuk menulis. Tulisanku mulai banyak lagi, tetapi sudah tidak “mengandung bawang” karena aku makin jarang menulis sambil menangis. Sepertinya salah satu sumber kebahagiaanku sama saja dengan kebanyakan orang: kehadiran anak.

Formasi Lengkap Keluarga Kecil Kami Sekarang

Di Balik Ibu Berkarya

             

“Aaaah …. alhamdulillaaah!”

Aku berseru girang melihat tangkapan layar yang dikirimkan temanku. Kulihat nama dan judul karyaku tertera dalam tabel “PENULIS TERPILIH SAYEMBARA BAHAN BACAAN LITERASI 2021” yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi hari ini, 31 Mei 2021.

Nama dan Judul Karyaku dalam Pengumuman Hasil Sayembara Gerakan Literasi Nasional 2021 (No.32)

Aku menghambur dan memeluk Hamdan. Begitu tahu apa yang membuatku begitu gembira, senyumnya merekah. Kurasakan raut wajahnya yang seolah-olah menyiratkan kalimat, “Kan … apa kubilang …”

Aku meringis malu. Masih kuingat jelas keluh kesah yang kusampaikan padanya bulan lalu. Saat itu, naskahku tersingkir dalam sebuah proses penerbitan buku anak setelah sempat lolos seleksi di tahap awal.

Selain Allah, suamikulah yang paling banyak kucurhati. Alasannya sederhana saja: setelah Tuhan, dialah yang paling tahu seluk beluk perjuanganku dalam menerbitkan buku. Saat aku merasa rendah diri karena tulisanku yang tak terpilih, ia meyakinkanku bahwa rezekiku ada di tempat lain.  

Sebenarnya, menulis mungkin tidak pernah menjadi perkara yang sulit bagiku. Alih-alih bakat, sepertinya kegiatan ini lebih tepat kusebut sebagai kebutuhan. Demi mengosongkan beban pikiran secara berkala, aku butuh menulis. Kalau lama tidak melakukannya, kurasa kepalaku seperti akan meledak karena kepenuhan. Karena itulah, aku rajin menulis.

Saat menulis, aku bersemangat. Selesai menulis, aku merasa lega dan bahagia. Hmm … kalau diibaratkan, kurasa ini seperti—maaf—pergi ke toilet … hahahaha.   

Namun, menulis buku fiksi—terutama buku anak—untuk diterbitkan benar-benar bukan proses yang singkat dan mudah. Urusannya lebih dari sekadar menumpahkan isi pikiran dan merapikannya. Kerja sama dengan pihak-pihak lain seperti editor dan ilustrator pun biasanya membutuhkan waktu dan energi yang tidak sedikit.    

Buku fiksi soloku yang pertama terbit pada tahun 2008, beberapa bulan setelah aku menikah. Karya itu adalah hasil tulisanku kira-kira setahun sebelumnya, ketika pekerjaanku belum terlalu menyita waktu dan aku belum berkeluarga. Setelah situasinya berbeda, kusadari bahwa ternyata tak mudah bagiku untuk melakukannya lagi.

Tentu saja, aku tetap menulis. Dalam tahun-tahun perjuangan untuk berketurunan, aku sering menceritakan pengalamanku di blog keluarga ini. Suamiku mendukung kegiatan ini dua ribu persen. Sepertinya ia mengkhawatirkanku kesehatan mentalku kalau tak kutumpahkan semua suka duka yang kami alami ke dalam tulisan.

Sebenarnya, kegiatan pribadiku yang didukung oleh suamiku bukan hanya menulis. Sebagai kepala keluarga, ia bertanggung jawab atas segala biaya rumah tangga. Namun, ia juga mengharapkanku bekerja. Ia tidak memintaku membantunya, tetapi ingin memastikan aku tetap berkarya di luar peranku sebagai istri.

Mungkin karena terbiasa mendapat dukungan itu, aku tak mengalami kegalauan terkait “hilangnya jati diri” setelah menjadi ibu. Meskipun memilih untuk tidak bekerja penuh waktu agar dapat lebih banyak bersama anak-anak, aku tidak merasa tersiksa. Aku tahu bahwa aku bebas, bahkan diharapkan, untuk terus berkarya dalam bentuk apa pun.

Selama menjadi ibu menyusui, aku masih berkesempatan berangkat ke kampus dan mengajar dua atau tiga kali seminggu. Ibu dan bapak mertuaku menjadi pendukung utama lainnya (selain suami yang mempekerjakan pembantu rumah tangga untuk meringankan pekerjaan rumah mertuaku) dalam menyukseskan misi ini. Kemudian, seiring dengan makin besarnya anak-anak kami, aku mulai dapat menerima pekerjaan-pekerjaan lepas favoritku: menulis dan menyunting naskah.

Akhirnya, tekadku untuk kembali menelurkan buku solo muncul setelah anak bungsuku melepas status balitanya. Baik ia maupun kakaknya yang makin mandiri dalam berbagai hal sangat memudahkanku dalam mencari kesempatan untuk menulis. Ayah mereka pun menunjukkan dukungannya dalam berbagai wujud. Kala aku panik karena tenggat yang makin dekat, misalnya, beliaulah yang mengambil alih tugas menyiapkan makanan. Pernah pula ia pergi bertiga saja dengan anak-anak kami saat aku harus berapat seharian pada akhir pekan.

Kuintip lagi namaku dalam pengumuman tadi siang. Di balik namaku yang tercantum di sana, terbaca olehku nama banyak orang terkasih di sekelilingku. Tanpa mereka, prestasi ini mustahil tercapai. 💗💗💗