Ikhtiar Kehamilan Tahun V : Kembali ke ObGyn

Kegelisahan Baru

Terakhir kali aku ke dsog (dokter spesialis obstetri dan ginekologi) adalah saat melakukan inseminasi buatan pada Mei 2011 lalu. Setelah mendapati tidak ada hasil dari langkah tersebut dan dokter androlog kami menduga level ASA-ku (Anti Sperm Antibody) yang masih tinggi adalah penyebabnya, kami pun berhenti ke obgyn dan fokus melanjutkan terapi PLI (Paternal Lecocyte Immunization).

Ketika beberapa bulan kemudian level ASA-ku sudah hampir normal dan telah terjadi pula peningkatan kualitas gerak sperma suamiku (Subhanallah!), sang androlog pun menyarankan agar kami mengusahakan kehamilan secara alami saja dulu (bukan inseminasi buatan) sambil tetap melanjutkan terapi PLI untuk pemeliharaan (frekuensinya lebih jarang dengan ketika bertujuan untuk menurunkan). Beliau bahkan ‘mengusir’ kami agar tidak bolak-balik konsultasi padanya ketika ingat bahwa Hamdan lebih banyak tidak bertemu denganku…hahaha.  “Gimana mau jadi kalo nggak ketemu?? Usaha dulu sana yang rajin, nanti kalau udah 4-5 bulan nggak jadi baru datang lagi!” katanya galak (galak bercanda loh, bukan betulan).

Maka kami pun menyambut tahun ke-5 perkawinan dengan langkah yang semakin ringan dan riang gembira. Sebenarnya seiring dengan berjalannya waktu, pikiran memang semakin tidak terbebani oleh masalah ‘ikhtiar berketurunan’. Dan sebenarnya tak perlu dokter juga kalau soal ‘rajin berusaha’, sih…pasangan suami istri masih muda begini, masa iya nggak rajin? Ups…ada anak di bawah umur di sini? Maksudnya rajin belajar di sekolah ya deek 😀

Akhir Februari 2012. Kira-kira sudah 4 bulan berlalu sejak androlog kami menyatakan peluang suami untuk menghamiliku (ehrm!) sudah cukup besar dan menganjurkan untuk berupaya hamil secara alami dulu. Namun selama itu, ia pun meminta kami tetap melakukan terapi PLI untuk penjagaan (bukan lagi penurunan) level ASA hingga setidaknya trimester pertama kehamilan terlewati. Karena itulah kami melakukan terapi PLI yang ke-13 pada bulan Februari itu.

Kegelisahan yang sudah lama sekali tak kukenal, timbul kembali di hari pelaksanaan PLI itu. Kami tidak bisa berkonsultasi dengan sang androlog karena ia sedang cuti. Lalu dokter dan suster jaga juga tidak bisa membantu memberikan saran yang berguna!

Bagaimana pun, kami tidak berniat melakukan terapi PLI seumur hidup. Terapi ini harus dihentikan, tapi mulai kapan dan bagaimana, tepatnya? Tidak adil jika pertanyaan ini hanya dijawab “Ya nanti, setelah hamil.” Lha, ini sudah berbulan-bulan sejak ASA normal tapi belum hamil, jadi sudah 3x kami melakukan PLI yang merupakan terapi ‘bonus’ (pemeliharaan, bukan untuk penurunan). Berpikir positif sih iya, tapi rasional juga dong. Bagaimanapun tidak ada yang memastikan aku akan segera hamil atau bahkan aku akan hamil atau tidak suatu saat nanti. Masa’ selama itu kami tetap harus lakukan si PLI itu? Kalo gratis sih masih mungkin-barangkali-agak-sedikit (Ini contoh bahasa Indonesia yang tidak baik, jangan ditiru!) bisa dipertimbangkan, deh..

Dokter, Klinik, dan Hati yang Memilih

Maka seperti yang sudah kusebutkan ketika mulai menulis rangkaian cerita Rencana Kehamilan ini, akhirnya aku dan Hamdan pun berpikir bahwa sudah tiba saatnya kami berkonsultasi kembali ke pangkuan dsog tercinta…ehm! Aku kembali ke dsog pada awal Maret 2012. Namun, bukan dsog yang sama yang kutemui. Sejak mengalami kegagalan inseminasi buatan pertama pada Juni 2011 lalu, aku sudah bertekad untuk benar-benar memilih dokter dan klinik secara jauh lebih teliti.

Awalnya aku terpikir untuk mendatangi dsog spesialis infertilitas terkenal yang sering ditemukan namanya oleh paman Google, berdasarkan referensi orang-orang yang sudah berhasil mengatasi masalah infertilitas dengannya. Terpikir, lalu sampai berusaha menghubungi klinik tempat beliau praktek untuk mendaftar. Hasilnyaaaa…..aku mendapat nomor antrian 28, dan ia praktek malam hari. Glek. Jam kalau gitu jam berapa aku akan selesai konsultasi nanti?

Hal itu membuatku tercenung, berpikir lagi. Sudah cukup banyak yang kami lewati dalam menghadapi persoalan berketurunan ini. Kedamaian hati dan ketenangan pikiran yang ada sekarang ini tidak sejak dulu kami miliki. Saat teringat lagi bagaimana dulu kerisauan hati melanda kami di tahun-tahun pertama, aku pun sadar bahwa ‘perjalanan batinl’ yang kutempuh bersama Hamdan pun sudah cukup jauh.

Pada tahap ini, dimana sepertinya segala masalah yang ada sudah diselesaikan satu per satu (mudah-mudahan saja tidak ada masalah baru dan masalah lama tidak pernah muncul kembali), aku sudah yakin bahwa ketenangan pikiran dan kedamaian hati itu berperan besar dalam menentukan kehamilan.

Aku merasa ada keraguan yang besar saat mendaftar ke dokter terkenal yang kusebut di atas tadi. Ya mungkin saja dia hebat. Tapi apa gunanya jika aku sendiri yang malah membuat diriku tidak sehat? Berjuang menembus jalan yang macet, mengantri sampai tengah malam….sungguh, aku benar-benar tidak yakin bisa tetap sehat lahir batin menghadapi semua itu.

Selain itu, berbagai cerita dari sana-sini seputar ‘keberhasilan’ hamil pun mengingatkan kami bahwa segalanya hanya terjadi atas kuasa Allah. Apapun masalahnya, semustahil apapun menurut logika manusia, tidak ada yang tidak mungkin bagiNya. Jadi intinya mau ikhtiar apapun juga, kalau Allah meridhoi itu terjadi, ya terjadi. Tidak ridho, ya tidak terjadi. Tapi aku pun yakin bahwa si ikhtiar sendiri tidak boleh ditinggalkan. Apalagi untukku sendiri, karena justru ikhtiar itulah yang semakin mendekatkanku padaNya.

Analoginya begini. Kita sedang di perjalanan menuju suatu tempat. Untuk mencapai tempat itu, ada beberapa jalan yang dapat dipilih untuk dilalui. Apakah jalan tersebut yang menentukan kita sampai atau tidak ke tempat tujuan? Tentu tidak. Bisa jadi mau lewat jalan manapun, kita tetap sampai. Atau lewat jalan manapun kita tetap tidak sampai (misal ada pohon jatuh, jalan putus, kecelakaan, dsb). Jadi segalanya hanya Tuhan kan, yang menentukan? Untuk apa pusing soal sampai-tidaknya sampai tujuan, lha soal mati kapan juga kita tidak tahu (udah pusing mikirin tujuan, eh taunya hari ini hari terakhir hidup, terus mau apa coba?). Sampai-tidaknya kita pada tujuan itu urusanNya, urusan kita ya cuma milih jalan terbaik menurut kita, lalu…jalan, deh!

Nah, inilah jalan terbaik menurutku: jalan yang mempermudahku dalam menjaga ketenangan pikiran dan kedamaian hati sehingga aku jauh dari tingkah laku yang buruk dan tidak diridhoiNya (Misalnyaa, jika aku kelelahan, kesal lalu jadi gampang marah dan hubungan malah jadi tidak harmonis dengan suami atau anggota keluarga lain atau orang-orang terkait).

Karena itulah, pertimbangan pertamaku sebelum memilih dokter adalah pemilihan klinik. Kupilih klinik yang lebih mudah terjangkau olehku sendiri (relatif lebih dekat, jarang macet, dsb), mengingat akan ada waktu-waktu Hamdan sedang di laut dan tidak bisa menemaniku. Setelah itu, baru memilih dokter.. Jadi pemilihan dokter tinggal difokuskan pada dokter-dokter yang berpraktek di RS yang sudah kupilih itu.

Saat memilih dokter dari daftar yang kulihat di website, aku pun masih dihadapkan pada beberapa pilihan. Ada 2 orang dokter yang namanya juga sudah terkenal untuk masalah infertilitas. Yang menarik, ada seorang dokter lain yang namanya memang belum kukenal dan jarang sekali disebut-sebut orang di internet, tapi dialah satu-satunya dokter di daftar itu yang memiliki gelar SpOg, (K)Fer di belakang namanya. Dari hasil baca-baca, aku tahu bahwa gelar (K)Fer itu berarti konsultan fertilitas. Nah lhoo…kenapa ya si dokter yang punya background pendidikan lebih lengkap ini malah kalah tenar dari 2 dokter tadi?

Kalau mau berprasangka buruk siih, aku sudah mikir sampai mana-mana soal dokter yang bergelar paling lengkap itu perihal kenapa pasiennya tidak banyak. Tapi aku memilih untuk tidak berpikir yang tidak-tidak. Ambil sisi positifnya saja: dokter yang memang memiliki bidang keahlian fertilitas berarti sesuai dengan keperluan kami, dan pasien yang tidak banyak berarti meminimalkan kelelahan mengantri dan semoga saja, memungkinkan waktu konsultasi yang lebih panjang. Hal yang terakhir disebut tentu amat sangat penting sekali buatku yang tidak mudah puas dan suka memberondong para dokter dengan segudang pertanyaan ini 😀

Maka dengan demikian, resmilah aku memilih dsog-ku yang ke-5, yaitu dokter yang bergelar SpOG, K(Fer) namun berpasien tidak banyak tadi (maaf belum berani ngumumin nama!). Ayo gunting pita, tepuk tangaaan! Lalu mohon turut amin-kan doa kami kali ini: semoga melalui dokter baru ini kami dapat membangun energi, semangat dan harapan baru pula, serta lebih dekat dengan berkah dan kebaikan dunia akhirat…

Terimakasih dan salam semangat!

Heidy

8 komentar di “Ikhtiar Kehamilan Tahun V : Kembali ke ObGyn

  1. “…ketenangan pikiran dan kedamaian hati itu berperan besar dalam menentukan kehamilan.” kl saya justru krn tdk berpikir akan hamil saya dpt anak ke-2. pdhl sebelum2nya ngga kepengen nambah lagi mengingat track record buruk “ayah”-nya 😛

    mungkin lepaskan beban ingin punya anak, tapi usaha “gencar” tetep gitu loh…insya allah..”jreng” kejutan dari ALLAH 😀

    gudlak!

    Suka

  2. Haii tigasebelas…

    Aku dulu jg ASA nya tinggi dan disuruh suntik PLI, tp suntikan itu ga membantu sama sekali dan prosesnya lama (disuntik per 3 minggu sekali), akhirnya aku untuk menghemat waktu, dokter nyuruh aku di infus GAMARAS , prosesnya infusnya cuma 4jam lalu stlh 1bln cek ASA lg Alhamdulillah langsung di level normal .. Fyi sblm Gamaras level ASA ku 1:1200 something lupa detil nya..

    Suka

    • Haii.. terima kasih sudah mampir dan membaca tulisanku ya, semoga ada manfaatnya.
      Oh aku malah baru tahu tuh ada solusi lain untuk ASA selain PLI … infus GAMARAS, ya.. makasih banyak yaa sudah berbagi info juga 🙂

      Suka

Tinggalkan komentar