Pendidikan untuk Anak

Salah satu anugerah dari Sang Mahabaik yang kami rasakan adalah diberikan-Nya kami waktu yang cukup banyak untuk mempersiapkan diri menjadi orang tua. Tujuh tahun tanpa kehadiran anak bukan waktu yang sebentar, bukan? Selama waktu tersebut, kami mendapat banyak kesempatan untuk terus belajar tentang mendidik anak.

Ada begitu banyak sumber belajar bagi kami. Salah satu di antaranya adalah beberapa pengalamanku menjadi guru, mengajar anak mulai dari tingkat playgroup (kelompok bermain) hingga pelajar SMA. Aku pernah mengajar di rumah (privat), di lembaga pendidikan nonformal, hingga di sekolah formal. Namun, ada sumber belajar yang tak kalah penting, jumlahnya lebih banyak, tetapi sering terlupakan: pengalaman orang-orang di sekitar kami sebagai orang tua. Begitu banyak teman kami yang telah lebih dahulu dikaruniai anak. Dari pengalaman mereka sebagai orang tua baru, kami menemukan banyak pelajaran berharga terkait pendidikan untuk anak.

Bagaimana mendidik anak untuk bersyukur atas kehidupannya dan mencintai Sang Maha Pencipta? Bagaimana mendidiknya agar mampu bertanggung jawab atas semua tindakannya? Bagaimana mendidiknya menjadi pribadi yang welas asih, menyayangi alam semesta dan seisinya? Bagaimana mendidiknya untuk terus semangat berjuang dan pantang menyerah sepanjang hidupnya? Pendidikan atas nilai-nilai terpenting dalam hidup ini ternyata tidak dapat diserahkan begitu saja ke sekolah mana pun. Tidak peduli seberapa mahal atau kerennya, tidak akan ada sekolah yang perannya mampu mengalahkan orang tua dalam mendidik seorang anak.

Pemahaman itulah yang kemudian terus kami bawa hingga akhirnya kami juga merasakan menjadi orang tua setelah mengadopsi seorang anak secara legal. Dengan keyakinan bahwa pendidikan pertama dan terutama terletak di tangan orang tua, kami sangat serius memilih sekolah untuk anak angkat kami bahkan sebelum ia benar-benar bersama kami (kurang lebih sama seperti ibu hamil yang sudah mengecek calon sekolah anaknya kelak). Apa yang kami inginkan? Yang kami harapkan sederhana saja: sekolah yang mampu mendukung peran orang tua sebagai pendidik utama bagi anak.

Tidak sulit mengetahui apakah suatu sekolah memenuhi kriteria itu. Kita cukup mengunjungi suatu sekolah dan melakukan observasi di sana. Apakah nilai-nilai yang dipegang teguh di sekolah itu sejalan dengan yang kami yakini? Apakah ada kebijakan di sekolah tersebut yang bertentangan dengan kebijakan-kebijakan kami di rumah?

Berbekal hasil observasi tersebut, kami pun mantap mendaftarkan anak sulung kami ke sebuah sekolah swasta yang hanya berjarak tiga ratus meter dari rumah kami. Kami senang dan puas karena merasa keberadaan sekolah tersebut benar-benar mendukung peran kami sebagai orang tua. Sebagai orang tua baru, kami mendapat banyak ilmu dari kelas-kelas parenting yang wajib diikuti setiap orang tua murid di sana secara berkala. Anak kami pun tampak bahagia bersekolah di sana.

Dengan pengalaman yang terdengar begitu menyenangkan seperti itu, orang-orang di sekitar kami pun keheranan ketika akhirnya kami menarik keluar anak kami dari sekolah tersebut beberapa tahun kemudian dan memulai homeschooling. Kami pernah bercerita tentang ini di podcast keluarga kami, “Yuk Recall”. Aku pun sempat menuliskannya di blog ini beberapa minggu yang lalu.

Keyakinan kami bahwa pendidikan anak yang utama ada di tangan orang tua jelas tidak berubah. Hal yang berbeda hanya terletak pada “pihak pendukung”nya. Bagi kami, pilihan melakukan homeschooling saat ini ternyata lebih mendukung peran kami sebagai pendidik utama anak daripada sekolah mana pun.

Pilihan itu tidak menunjukkan keyakinan kami bahwa homeschooling secara umum lebih baik daripada bersekolah. Kebetulan saja jalur pendidikan homeschooling lebih sesuai dengan situasi keluarga kami. Aku senang dan berpengalaman mengajar, tidak bekerja penuh waktu di kantor, serta mendapat berbagai kemudahan lainnya. Situasi ini tentu tidak sama dengan setiap keluarga lainnya sehingga keputusan terkait pendidikan untuk anak pun berbeda dengan keluarga kami. Bagaimanapun, pastilah itu jalan yang terbaik karena telah dipertimbangkan sedemikian rupa, dipilih secara cermat oleh sang pendidik utama: orang tua.

Keluarga Sebagai Pusat Pendidikan

Sebelum menjadi pesekolah rumah (homeschoolers) empat tahun yang lalu, anak sulung kami bersekolah di SD yang berjarak hanya tiga ratus meter dari rumah kami. Ia menghabiskan waktu selama sembilan jam setiap hari di sekolah dengan gembira. Namun, hari berlalu begitu saja karena ia lebih banyak bermain dan bersenang-senang dalam kurun waktu tersebut. Tidak banyak tugas ataupun ujian yang membebani mereka.

Meskipun demikian, seasyik apa pun kegiatannya, energinya tetap terkuras di penghujung hari. Jangankan anak-anak … bukankah orang dewasa juga lelah jika menghabiskan waktu terlalu lama di luar? Setiba di rumah, biasanya yang diinginkan hanyalah segera beristirahat.

Sementara itu, sebagai orang tua yang ingin menunaikan tugas pengasuhan sebaik-baiknya, aku dan Hamdan sering dihinggapi rasa bersalah karena terpisah hampir seharian dari anak. Apa saja yang ia lakukan hari ini? Bagaimana perkembangannya dalam berbagai hal? Apakah ada yang perlu dibantu? Semua pertanyaan ini selalu memenuhi benak ketika kami kembali bertemu dengannya pada sore atau malam hari.

Apa hasilnya jika segala kegelisahan itu tersampaikan pada anak yang sudah kelelahan berkegiatan di luar seharian tanpa kami? Komunikasi yang tercipta justru sering memicu berbagai kesalahpahaman. Rasa sayang dan peduli yang terbungkus dalam tiap pertanyaan kami diterjemahkan anak sebagai bentuk ketidakpercayaan padanya. Keharmonisan hubungan orang tua dan anak pun tercederai. Kurangnya sikap saling hormat dan percaya menyebabkan rumah tidak lagi menjadi tempat ternyaman untuk pulang dan beristirahat.

Akhirnya, tempat nomor satu dalam hati anak kami adalah sekolah, bukan rumahnya sendiri. Panutan utamanya bukan orang tua, melainkan guru sekolah (sebenarnya ini juga berkaitan dengan sejarah kelekatannya dengan kami karena ia baru diadopsi setelah berusia tujuh tahun, tetapi kubahas dalam tulisan lain saja, ya). Meskipun guru mungkin tidak akan mengajarkan hal yang buruk, hal ini agak jauh dari harapan kami.

Setiap keluarga memiliki nilai-nilai khas dan prinsip unik yang dipegang teguh atau diprioritaskan. Ki Hajar Dewantara pun berpandangan serupa dalam tulisannya yang berjudul “Pengaruh Keluarga terhadap Hidup Tumbuhnya Budi Pekerti”. Dalam tulisan tersebut, beliau menyatakan, “Keadaan tiap keluarga bermacam-macam dan masing-masing berpengaruh pada jiwa anak. Bekasnya akan terus nampak atau tersimpan di dalam jiwanya.”

Nah … apa yang terjadi jika orang tua tidak lagi memiliki pengaruh terbesar bagi anak? Apa yang terjadi jika ia lebih mendengarkan sosok-sosok lain yang lebih berpengaruh besar dalam kehidupannya? Bukankah nilai-nilai yang diutamakan oleh orang tua tersebut akan sulit diwariskan ke anak-anaknya?

Ini sempat kami alami setelah beberapa tahun si sulung bersekolah. Nilai-nilai yang kami prioritaskan menjadi tidak gampang ditanamkan. Ketika ada perbedaan nilai antara orang tua dan guru sekolah, sang gurulah yang dimenangkan. Urusan sekolah juga sering menggeser hal-hal yang tampak kecil, padahal penting dalam pembangunan karakter. Karena kelelahan setelah pulang sekolah, misalnya, ia tak segan mengabaikan kelengkapan gizi makanannya dan kewajibannya untuk turut membersihkan rumah. Rumah dan sekolah sering gagal diseimbangkannya karena seperti yang kusebutkan di atas, posisi sekolah di hatinya telanjur jauh di atas rumah dan keluarga.

Sikap anak yang mendewakan sekolah juga menjadi masalah besar bagi kami yang memandang sekolah sebagai tempat mempelajari teori dari kehidupan nyata. Pelajaran PPKn, misalnya, memuat teori tentang kemandirian, tanggung jawab, dan sikap mulia lainnya. Keberhasilan anak mempelajarinya mungkin diukur guru dari jawabannya terhadap soal-soal tertulis tentang itu. Namun, apakah nilai 100 yang didapatnya otomatis menunjukkan bahwa ia telah sempurna mengembangkan sikap-sikap tersebut?

Inilah salah satu alasan yang kami sampaikan ke pihak sekolah saat akan memulai homeschooling beberapa tahun yang lalu. “Terima kasih atas kesempatan simulasi bagi anak kami selama beberapa tahun ini. Sekarang, kami izin pamit dan menariknya kembali ke tengah keluarga agar ia dapat memulai pembelajaran nyatanya.”

“Sepertiga hasil pendidikan disumbang oleh atmosfer rumah tangga, yakni ide-ide yang memancar dari kepribadian kedua orang tuanya, yang mereka jadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari.”

Charlotte Mason