Menyederhanakan Pengasuhan

Sebelum menikah, salah satu hal yang paling membuatku khawatir adalah persoalan mengasuh dan mendidik anak. Jika dikaruniai anak, apakah kami dapat menjadi orang tua yang amanah? Akankah kami mampu mengasuh dan mendidik mereka dengan baik?

Bagaimana tepatnya pengasuhan dan pendidikan yang terbaik untuk anak? Apa saja yang harus disiapkan dan dilakukan? Jika menggunakan ukuran, seberapa besar dan banyak usaha yang harus dikeluarkan untuk dapat disebut cukup?

Rupanya, kegelisahan itu tidak berhenti hingga saat itu saja. Setelah akhirnya dianugerahi anak, tak jarang aku merasakan kekhawatiran dalam berbagai hal. Ada berbagai kecemasan, mulai dari asupan bayi yang baru lahir hingga rupa-rupa kebutuhan anak remaja, apakah yang kami berikan sudah cukup atau belum.

Derasnya arus informasi pada zaman ini turut “berperan” dalam menambah daftar panjang kekhawatiran. Media sosial, misalnya, yang sering kali menyebabkan ibu-ibu muda mengalami gejala fear of missing out (FOMO). Kurasa wajar, misalnya, setelah melihat anak lain yang memiliki beragam mainan atau mengikuti berbagai kursus, seorang ibu menginginkan hal yang sama untuk anaknya. Akhirnya, umumnya anak saat ini memiliki terlalu banyak barang, jadwal kegiatan, dan informasi. Tidak banyak orang tua yang sadar bahwa pilihan yang terlalu banyak ini justru dapat menyebabkan gangguan perilaku pada anak, termasuk aku.

Bagaimana solusinya? Kim John Payne, seorang konsultan pendidikan yang menulis buku Simplicity Parenting memberikan panduan “menyederhanakan pengasuhan”. Menurutnya, ada beberapa hal besar yang perlu disederhanakan, yaitu lingkungan rumah, kegiatan, dan informasi.

Hal pertama yang disarankan dalam menyederhanakan pengasuhan adalah lingkungan rumah karena ini merupakan hal paling konkret, mudah diukur dan terlihat perubahannya. Yang termasuk di dalamnya adalah mengurangi jumlah mainan, buku, atau berbagai jenis barang lainnya di dalam rumah. Lampu dan bunyi-bunyian pun termasuk di dalamnya, untuk mencegah stimulasi indra yang berlebihan.

Langkah berikutnya adalah menyederhanakan ritme dan rutinitas serta memasukkan waktu istirahat di dalam jadwal yang padat. Banyak sekali kegiatan beruntun tanpa istirahat jelas tidak sejalan dengan prinsip keseimbangan hidup. Sebagaimana hari-hari yang teratur melalui siang dan malam secara bergantian, kegiatan harian pun perlu diatur sedemikian rupa agar kesehatan terjaga. Memiliki jadwal kegiatan harian yang padat tanpa istirahat yang cukup akan sangat menganggu kesehatan fisik dan mental anak.

Hal terakhir yang tidak kalah penting untuk disederhanakan adalah arus informasi yang diterima anak. Ada “kelayakan usia” yang perlu kita ingat ketika memaparkan informasi pada anak. Seiring dengan perkembangan zaman yang makin memudahkan semua orang untuk mengakses sumber informasi, mungkin ini adalah tantangan yang besar bagi kebanyakan keluarga. Keluarga kami memilih cara yang paling sederhana, yakni meniadakan televisi di rumah dan belum memberikan ponsel atau gawai lainnya pada anak-anak.

Lebih Cepat Tidak Selalu Lebih Baik

Sejak kecil, cukup sering aku mendengar ungkapan “lebih cepat lebih baik” dalam berbagai konteks situasi. Yang paling banyak mungkin berkaitan dengan batas waktu kedatangan, janji bertemu, pengumpulan pekerjaan. Kalau sekolah dimulai pukul tujuh pagi, misalnya, tentu siswa yang baik adalah yang datang lebih cepat, yaitu sebelum jam tujuh. Begitu pula jika ada janji bertemu atau tenggat waktu pengumpulan tugas. Yang datang atau mengirimkannya jauh sebelum waktunya jelas merupakan orang-orang terbaik.

Mungkin karena memiliki pemahaman tersebut, aku merasa wajar ketika ungkapan “lebih cepat lebih baik” juga diterapkan dalam beragam konteks lainnya. Selesaikanlah studi sarjana dalam waktu empat tahun … tetapi lebih cepat lebih baik, misalnya (tentu ini bukan contoh pengalaman pribadi!). Beberapa contoh lain mencakup kecepatan dalam mempelajari berbagai hal, membaca buku atau sumber pustaka lainnya, memasak atau menyiapkan makanan, membersihkan rumah, dan sebagainya.

Selama bertahun-tahun, tak pernah sekali pun aku meragukan kebenaran ungkapan “lebih cepat lebih baik” dalam berbagai situasi. Mungkin ini juga karena aku dibesarkan oleh orang tua yang sangat produktif dan memiliki aneka rupa kesibukan. Aku begitu bangga dan mengidolakan kedua orang tuaku hingga tanpa sadar bercita-cita untuk meniru cara-cara hidup mereka.

Aku senang melakukan banyak hal sekaligus dalam satu waktu. Kuapresiasi diriku saat berhasil mewujudkan rencana multitasking-ku dan begitu pula sebaliknya: kusesali diriku sendiri ketika gagal. Tak jarang, kusalahkan diriku yang kurang cepat dalam mengerjakan salah satu hal sehingga waktu telah habis sebelum aku dapat lanjut mengerjakan “misi” lainnya.

Karena itulah, sering kali aku tak dapat memahami bagaimana orang-orang tertentu dapat menghabiskan banyak waktu untuk sebuah kegiatan. Mengapa seseorang harus sampai berbulan-bulan membaca sebuah buku yang bisa kulahap habis dalam dua hari? Mengapa ada yang betah sekali berjam-jam di dapur sementara aku berprinsip “maksimal tiga puluh menit” dalam menyiapkan makanan? Mengapa beberapa orang senang mengambil jalan memutar untuk mencapai satu tempat demi mendapatkan pemandangan indah?

Awalnya, aku tak menyadari bahwa ada yang tidak baik dari keyakinanku pada prinsip “lebih cepat lebih baik”. Lebih cepat itu diperlukan demi mendapat lebih banyak. Nah, apa sih, yang lebih baik daripada mampu melakukan lebih banyak hal? Bukankah pada akhirnya produktivitas yang tinggi menunjukkan prestasi hidup seseorang?

Keyakinanku itu baru tergoyahkan setelah aku terus menjalani peranku sebagai ibu. Dari pengalaman mengasuh dan belajar bersama anak-anakku, kutemukan apa yang lebih baik dari lebih cepat dan lebih banyak itu: setiap hal yang lebih pelan dan lama dikerjakan karena sungguh-sungguh. Rupanya kesungguhan hati itulah jalan menuju penghayatan akan hidup, ketakjuban akan anugerah kehidupan, dan keimanan kepada Sang Pemiliknya. Astaghfirullah.