Dua tahun terakhir ini, aku menghabiskan cukup banyak waktu dengan teman-teman kuliah yang mempunyai latar belakang dan kehidupan masing-masing yang unik. Ada seorang ibu muda, seumur denganku, yang mempunyai dua anak laki-laki dengan jarak sangat rapat. Ada seorang bapak dengan enam anak. Ada dua orang perempuan yang lebih tua dariku yang belum menikah. Ada seorang laki-laki muda yang berencana menikah dalam waktu dekat. Lalu yang termuda, perempuan, beda usianya kira-kira tujuh tahun denganku. Pokoknya, asyik sekali kalau kami saling berbagi cerita.
Bagiku, salah satu yang menyenangkan dari berkumpul dengan orang-orang yang kisah hidupnya beraneka rupa adalah aku dapat belajar banyak hal dan melihat suatu hal dari sudut-sudut pandang yang berbeda. Dari teman seusiaku yang sudah beranak dua itu, misalnya. Kemiripan pengalaman dan perasaan kami terhadap pengalaman tersebut benar-benar seperti bumi dan langit (dengan kata lain ya nggak mirip sama sekali…hahhaha). Aku, sampai tahun keenam pernikahanku saat ini, belum pernah hamil sama sekali. Sementara itu, ia, di tahun pertamanya menikah, sudah langsung hamil dan kemudian punya seorang anak laki-laki yang sangat lucu. Kemudian di saat ia berniat melakukan KB, ternyata Tuhan sudah menganugerahinya dengan kehamilan berikutnya, yang membuatnya sangat shock. Oh, ya. Sebenarnya ada satu hal yang benar-benar mirip: kami berdua pernah mengalami uring-uringan yang luar biasa karena masalah kami masing-masing itu. 😀
Aku menceritakan suka dukaku menjalankan ikhtiar agar dapat hamil, sedangkan ia bercerita tentang suka dukanya mempunyai dua anak laki-laki yang jarak umurnya sangat dekat dan betapa ia merindukan momen-momen berduaan saja dengan suami. Seiring dengan semakin banyaknya kisah yang kami pertukarkan, aku semakin merasa diingatkan untuk bersyukur. Aku punya apa yang ia inginkan dan aku dapat melakukan apa yang tidak dapat ia lakukan: momen-momen pacaran dengan suami yang sering sekali dan sudah tak terhitung jumlahnnya. Acara menonton bioskop, jalan-jalan, hingga pergi ke luar kota dapat dilakukan sespontan mungkin tanpa banyak memikirkan dan mempersiapkan macam-macam hal. Namun, begitu pula sebaliknya. Tentu saja temanku itu punya dan dapat melakukan banyak hal yang tak kupunya dan tak dapat kulakukan.
Jadi, siapa yang lebih beruntung, hidup siapa yang lebih enak? Jawabannya jelas. Tidak ada yang lebih beruntung dan hidup lebih enak, seperti juga tidak ada yang lebih sial dan hidupnya lebih tidak enak. Semua orang punya rezekinya masing-masing, dialami dan dirasakan secara berbeda, tetapi tentu saja memperoleh keadilan yang sama.
Namun, ada satu hal yang kemudian kuyakini: keberuntungan dan hidup enak itu ternyata bisa diatur! Bagaimana? Kembali lagi ke pertanyaan di atas tentang siapa yang lebih beruntung dan siapa yang hidupnya lebih enak. Dengan kehidupan masing-masing, aku dan temanku itu bisa sama-sama beruntung, bisa sama-sama sial, atau salah satu dari kami lebih beruntung daripada yang lain. Kami jelas sama-sama sial dan memiliki hidup yang sangat tidak enak ketika terus menerus iri pada rezeki yang lain dan menggerutu atas apa yang kami sendiri peroleh. Sebaliknya, tentu, kami adalah orang-orang yang sangat beruntung ketika memutuskan untuk belajar dari kehidupan satu sama lain dan sungguh-sungguh mensyukuri apa yang dianugerahkan pada kami masing-masing.
Segala puji bagi Tuhan yang Maha Memberi Rezeki, Tuhan yang Maha Adil. Alhamdulillah…
Salam berbagi,
Heidy