Hiburan Keluarga: Rekreasi

Pandemi Covid-19 memaksa banyak orang untuk lebih banyak di rumah saja. Walaupun mungkin kini tidak sedikit tempat wisata yang sudah dibuka kembali dengan menerapkan prosedur kesehatan yang ketat, kami sekeluarga masih belum berani untuk sering-sering berekreasi. Tamasya terakhir kami ke luar rumah adalah saat mencoba glamour camping di Pondok Rasamala, Bogor, pada bulan November tahun lalu. Agenda itu juga baru berhasil terlaksana setelah lama merencanakannya, bolak-balik mencermati beragam pilihan destinasi yang dianggap cukup terbuka dan aman, meneliti tanggal-tanggal yang berpotensi dimanfaatkan banyak orang untuk berlibur, serta beberapa kali melakukan penundaan demi memastikan setiap anggota keluarga cukup sehat dan bugar.

Glamping di Pondok Rasamala, Bogor

Sebenarnya, sebelum pandemi terjadi, kami sudah terbiasa menghindari bepergian di masa liburan. Kalau kebanyakan orang jalan-jalan saat long weekend atau libur lebaran, misalnya, kami melakukannya sebelum atau sesudah waktu tersebut. Kebetulan kami tidak terlalu gemar menyaksikan kerumunan manusia.

Kebiasaan ini sudah kami mulai sejak belum ada anak-anak. Selama lima tahun ketika masih berumah tangga jarak jauh (Hamdan di lepas pantai Balikpapan, aku di Bandung dan Jakarta), kami memilih berwisata pada hari kerja (tepatnya dalam kurun waktu sepuluh hari jatah libur Hamdan setelah dua puluh satu hari bekerja). Begitu memasuki akhir pekan, biasanya kami sudah dalam perjalanan pulang ke rumah (bebas macet karena melawan arus lalu lintas antarkota!).

Rekreasi Pertama Sebagai Suami Istri (Kampung Sampireun, 2007)
Kampung Sampireun, Garut, pada Hari Kerja

Setelah suamiku bekerja di Jakarta dan tidak lagi memiliki waktu libur yang berbeda dari karyawan pada umumnya, kami memanfaatkan jatah cuti tahunannya demi dapat melancong di luar akhir pekan atau hari libur nasional (sementara dua jenis hari libur ini konsisten kami manfaatkan sebagai kesempatan beristirahat di rumah saja). Frekuensinya memang menjadi lebih terbatas. Namun, kami tetap merasa kebijakan ini lebih baik daripada berdesak-desakan di tempat rekreasi.

Ada tambahan pertimbangan setelah ada anak-anak. Karena kami mengadopsi Indri saat ia sudah bersekolah, kami harus memikirkan waktu rekreasi yang tidak bentrok dengan kegiatan sekolah. Bolos sekolah bukan masalah bagi kami, tetapi tidak demikian halnya bagi si gadis cilik yang sangat menyukai sekolahnya. Biasanya perbedaan keinginan ini diatasi setelah melalui diskusi-diskusi panjang alias bujuk rayu sekuat tenaga (dilengkapi dengan foto-foto tempat tujuan wisata yang bikin ngiler).

Belitung, 2017 (Akhirnya Bolos Sekolah Tanpa Penyesalan)
Belitung, Pantai Pertama Anya (Selagi Masih Menyusu)

Rekreasi kembali menjadi lebih mudah kami laksanakan setelah Indri mulai homeschooling. Yah, sebenarnya ini memang salah satu alasan utamanya mau keluar dari sekolah: dapat lebih banyak jalan-jalan. Kami ingat sekali, tahun pertama Indri bersekolah rumah menjadi masa kami paling giat bepergian. Berbeda dengan istilahnya, “sekolah rumah” bukan berarti kami bersekolah di rumah, melainkan justru menjadikan sebanyak-banyaknya tempat di atas permukaan bumi ini sebagai sekolah.

Belajar di Kebun Kopi Sarongge
“Bersekolah” di Museum Sriwijaya, Palembang
Tadabur Alam di Labuan Bajo, NTT
Candi Tikus, Salah Satu Bagian Pelajaran Tentang Majapahit (East Java Road Trip, 2019)

Hwaah …. Rasanya rindu sekali pada berbagai kesempatan jalan-jalan sebelum masa pandemi. Tentu sepertinya bukan aku saja yang merasakannya. Semoga doa-doa yang terhimpun dari segala penjuru bumi agar pandemi ini berakhir segera dikabulkan Yang Mahakuasa. Sementara itu, mari kita pelihara semangat dan kreativitas dalam menyelenggarakan hiburan keluarga tanpa bepergian … hehehe.

Board Game, Salah Satu Andalan Rekreasi di Rumah
Piknik di Samping Rumah Asyik Juga

Itulah cara keluarga kami berekreasi. Bagaimana denganmu? Ceritakan juga, dong!

Mensyukuri Pandemi

Adakah yang langsung menganggap segala kebiasaan baru sejak pandemi ini menyenangkan? Kuacungi jempol bagi yang demikian. Sikapku sendiri jauh dari itu.

Bagiku, pekerjaan mengajar yang kini harus kulakukan secara daring terasa sangat menantang. Tidak mudah menemukan pengganti kegiatan-kegiatan langsung di dalam kelas yang kuanggap seru. Rasanya pun kurang nyaman saat harus berbicara tanpa melihat langsung mata dan bahasa tubuh peserta kelas.

Kegiatan-kegiatan lain pun sama beratnya. Setelah menulis atau menyunting berlembar-lembar tulisan di komputer, tetap menatap layar untuk berdiskusi maupun mengikuti pelatihan sungguh melelahkan bagiku. Selain mata dan pundak yang pegal, kepala juga lebih sering sakit.

Aku yakin, bukan hanya aku yang merasakan semua ketidaknyamanan itu. Bukankah kini hampir semua penduduk kota (atau pingiran kota) familier dengan school from home (SFH) maupun work from home (WFH)? Bukankah tidak sedikit orang yang mengalami berbagai cobaan baru sejak pandemi Covid-19? Apakah semuanya mengeluh?

Di lingkungan terdekatku, yang kusaksikan justru kebahagiaan. Suamiku yang menjalani WFH tampak menikmati keseharian barunya. Sekarang ia tidak perlu meninggalkan rumah pagi-pagi dan berdesakan di dalam bus berjam-jam demi mencapai kantornya.  Sarapan buah tak pernah terlewat. Menu makan siang dan malamnya pun lebih menyehatkan. Terlebih lagi, berkat WFH, ia berkesempatan menekuni minatnya yang terpendam bertahun-tahun selama sibuk bekerja di kantor: berkebun.

Lahan sempit yang kami miliki bukan penghalang baginya untuk memelihara beragam tanaman. Karena mengutamakan tanaman pangan, dampak positifnya pada dapur jelas terasa. Kami makin jarang berbelanja sayur karena sering mendapat pasokan hasil panen dari kebun sendiri.

Tampilan Depan Rumah Sejak Pandemi

Selain berkebun, Hamdan juga beternak ikan. Ia juga lebih serius memimpin kami sekeluarga dalam menjalankan sistem rumah ramah lingkungan secara menyeluruh. Penampungan air hujan dan pengelolaan sampah rumah tangga terus disempurnakan. Selain memanen kompos dari biopori dan komposter anaerob, kami juga memiliki berbotol-botol ecoenzyme dari sisa kulit buah untuk mengepel, membersihkan dapur dan toilet, hingga merawat kulit. Hampir semua kebutuhan harian kami pun terpenuhi tanpa harus berbelanja rutin ke toko swalayan.

Salah Satu Area Kerja Baru Pak Hamdan

Namun, semua prestasi suamiku itu justru sempat makin mengguncang kepercayaan diriku. Apakah dia sama sekali tidak kesal karena pandemi ini? Betapa beruntungnya, hobinya cocok dengan kondisi ini! Bagaimana denganku yang jauh berbeda?

“Beruntung nggak beruntung itu tergantung penafsiran masing-masing,” kata Hamdan dalam salah satu sesi pillow talk kami.

Malam itu, aku baru tahu bahwa ia juga mencicipi perasaan tertekan itu. Rasa muak masih sesekali menghinggapinya. WFH tidak selalu mudah. Tidak ada perjalanan ke kantor, tetapi banyak pekerjaan yang makin tidak mengenal waktu. Rapat dapat berlangsung terus hingga tengah malam atau akhir pekan. Lupakan tambahan imbalan, tentunya. Di masa pandemi ini, tidak terkena PHK saja sudah menjadi rezeki besar.

Namun, apa yang diperoleh dari meratapi suatu ketidaknyamanan? Air mata atau gerutuan tidak akan mendatangkan hujan emas. Kesadaran penuh akan hal inilah yang kurasa membuat sikap Hamdan menjadi jauh berbeda denganku.

Karena tidak ada yang dapat diubahnya terkait dengan pekerjaan di kantor, ia mencari “pekerjaan sampingan” yang disukainya. Mewujudkannya juga tidak sepenuhnya mudah. Namun, berbagai kompromi dilakukan demi menyukseskannya. Lahan yang sempit diakalinya, begitu pula dengan jadwal rapatnya yang padat.

Tak Ada Lahan, Atap Pun Jadi

Belajar dari suamiku, aku pun berusaha bangkit dari keterpurukanku sendiri. Lebih teliti lagi kuperhatikan beragam peluang dari pandemi ini. Banyak di antaranya yang sebenarnya bukan hal baru, tetapi tak kuanggap sebagai nikmat yang wajib disyukuri. Ada ritme keseharian yang makin teratur. Ada kesehatan yang lebih awet berkat kedisiplinan terkait asupan, kebiasaan, dan segala prosedur kesehatan. Ada beragam keterampilan yang terus bertambah berkat kelas-kelas daring.

Mengapa aku tidak melihat semua itu? Sepertinya aku terlalu sibuk menatap satu ruangan yang telah kutinggalkan hingga tak menyadari bahwa kakiku telah melangkah ke ruangan lain yang tak kalah indahnya. Astaghfirullaah.