Sehat Sebelum Sakit

Ketika komunitas Mamah Gajah Bercerita (MaGaTa) baru mengumumkan kata kunci sehat untuk tantangan menulis minggu ini, tak terpikir olehku untuk kembali mengisi blog dengan menggunakan tema tersebut. Pasalnya, tema itu rasanya sudah terlalu akrab dengan beberapa tulisanku tahun lalu. Yah, siapa sih, yang tidak dekat dengan tema kesehatan sepanjang masa pandemi? Di luar dugaan, rupanya justru tepat pada masa inilah, pikiran dan perasaanku kembali dihadapkan pada masalah yang meskipun berbeda, masih dalam satu tema besar ini.

Pengalamanku kali ini berawal dari keluhan mamaku pada hari Kamis dua minggu yang lalu tentang papaku. Mama menggunakan fitur group call untuk menelepon kami sekeluarga besar (keluargaku dan dua adikku) dan mengabari bahwa kondisi Papa tampak aneh. Beliau ke toilet lebih sering daripada biasanya, terlihat tidak nyaman, dan yang paling mengkhawatirkan: tekanan darahnya sangat tidak stabil. Karena Papa mengidap dementia dan sudah tidak dapat berkomunikasi efektif, sulit bagi kami untuk mengetahui persis keluhan fisiknya. Karena Mama begitu panik, suamiku yang sedang berada dalam perjalanan pulang dari kantor berinisiatif untuk segera mampir dan menawarkan bantuan.

Keesokan harinya, aku memesan layanan homecare tes PCR untuk Papa dan Mama. Kurasa aku melakukannya hanya sebagai bagian dari prosedur standar karena Papa sempat demam, tanpa benar-benar mencurigai infeksi virus Covid-19. Sepertinya pandemi yang telah berlangsung dua tahun dan vaksinasi yang telah kami lakukan berhasil membuatku tak terlalu cemas seperti yang kurasakan pada tahun 2020.

Hasil PCR keluar pada hari Sabtu pagi dan menyatakan bahwa orang tuaku positif terinfeksi Covid-19 … qadarullah. Selagi memikirkan bagaimana Mama dan Papa harus diopname (karena keduanya memiliki komorbid, kondisi Papa tidak stabil, dan Mama ingin terus bersama beliau), otomatis ingatanku juga melayang pada momen ketika suamiku mendatangi mereka sebelumnya.

“Mas pakai masker terus enggak, kemarin itu?” tanyaku pada Hamdan.

“Yaa sempat lepas, sih ….”

Jawaban itu seolah-olah langsung membunyikan alarm di dalam kepalaku. Tanpa membuang waktu lagi, aku segera memberlakukan prokes ketat di rumahku sendiri. Sudah banyak penyuluhan yang memberi informasi tentang bagaimana varian corona kali ini, omicron, ribuan kali lebih menular daripada varian-varian sebelumnya.

Meskipun menuruti permintaanku untuk menjaga jarak denganku dan anak-anak, Hamdan terlihat sangat santai dan rajin memamerkan bahwa tak ada gejala sakit apa pun yang ia rasakan hari itu dan esok harinya. Aku mengajaknya untuk tidak lengah dan mengingatkannya lagi tentang teori masa inkubasi virus. Kalau benar ia tertular, kupikir gejalanya baru akan muncul paling cepat hari Senin, lima hari setelah melakukan kontak erat dengan Papa.

Akhir pekan itu, tiba-tiba saja aku tidak sesantai biasanya. Sambil menjalankan tugas sebagai fasilitator kelas (daring, untungnya) yang tidak mungkin kubatalkan mendadak dan memantau perkembangan orang tuaku, aku sibuk melakukan berbagai hal lainnya: mulai dari menuntaskan aneka pekerjaan rumah tangga hingga menstok bahan makanan, vitamin, dan barang kebutuhan harian lainnya. Ada satu ungkapan yang seolah-olah terdengar terus di telingaku: “mumpung masih sehat”.

Pengalamanku sendiri sakit berkali-kali dalam beberapa tahun terakhir membuatku sadar betul bahwa kondisi sehat adalah kesempatan berharga yang tak boleh disia-siakan kecuali ingin merugi. Bukankah saat sedang terbaring sakit, kegiatan seperti memasak, menyapu, mencuci baju, atau bahkan sekadar berkomunikasi dan berbelanja online dapat terlihat begitu sulit dan mewah? Berkat ingatan itu, aku merasa amat beruntung. Seperti ajaran dalam agamaku, aku masih memiliki kesempatan berharga yang tak boleh disia-siakan.

Dari Amru bin Maimun bin Mahran: Sesungguhnya Nabi Muhammad Saw berkata kepada seorang pemuda dan menasehatinya, “Jagalah lima hal sebelum lima hal. (1) Mudamu sebelum datang masa tuamu, (2) sehatmu sebelum datang masa sakitmu, (3) waktu luangmu sebelum datang waktu sibukmu, (4) kayamu sebelum miskinmu, (5) hidupmu sebelum matimu.

NB:

Sesuai perkiraan, Hamdan sakit dan terkonfirmasi positif Covid-19 tepat pada hari Senin.

Kebiasaan Baru Sejak Pandemi

“Kalian udah biasa ya, di rumah. Kan udah lama HS?”

“Stress banget SFH karena pandemi. Hebat kalian selama ini,

Pada awal masa pandemi Covid-19, ungkapan-ungkapan dari beberapa temanku itu membuatku terbengong-bengong. Kubayangkan mesin di kepalaku bekerja keras mencernanya. Kurasa otakku macet karena hampir tiada kecocokan antara informasi yang masuk dengan arsip memoriku selain satu kata: homeschooling (HS).

Untuk menyetarakan pemahaman, aku bertanya balik. Kucari tahu bagaimana tepatnya pelaksanaan school from home (SFH). Kudengarkan kisah tentang bagaimana repotnya mendampingi anak dalam menerima pelajaran dan mengerjakan tugas-tugas secara daring. Bagi banyak ibu, pelajaran anak menjadi pekerjaan tambahan selain urusan rumah yang makin merepotkan (memasak lebih banyak dan mengepel lebih sering karena suami dan anak-anaknya seharian di rumah).

Aku tertegun setelah menyimak curhatan dari beberapa temanku itu. Ada rasa takjub karena membayangkan tingginya produktivitas para ibu yang mengalaminya. Ada pula rasa bingung … karena semuanya agak jauh dari keseharianku.

“Yang hebat itu teman-teman yang SFH, bukan kami yang HS,” Biasanya ini tanggapanku terhadap ujaran di atas.

Ya, HS tidak sama dengan SFH. Berbeda dengan sangkaan beberapa teman tadi, kami sekeluarga tidak biasa di rumah saja karena HS. Justru sejak si sulung berhenti bersekolah, kami lebih sering bepergian daripada sebelumnya. Hampir setiap hari kami belajar di lingkungan yang berbeda (sebelum pandemi terjadi). Namun, pekerjaan rumah tangga harus sudah tuntas sebelumnya. Aku dan Hamdan menganggapnya sebagai bagian dari kurikulum pendidikan dan menjadikannya “mata pelajaran utama”. Sedapat mungkin kami menerapkan ajaran lama: rumah nggak beres, nggak pergi. Walhasil, seluruh keluarga otomatis bahu membahu demi dapat berangkat secepatnya.

Belajar dengan gawai atau komputer baru dikenal anak pertama kami saat mengikuti ujian Paket A tahun lalu, bersamaan dengan diterapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sejak itu pula, segala pertemuan fisik di semua komunitasnya ditiadakan. Ia mulai mengikuti kelas-kelas daring, tetapi yang bersifat insidental dan maksimal diselenggarakan dua kali seminggu.

salah satu cara belajar anak-anak kami

Karena itulah, sepertinya kebiasaan kami sejak pandemi tidak sama dengan teman-teman yang melakukan SFH. Tidak ada kerepotan mempersiapkan pelajaran daring setiap pagi. Tidak ada kepusingan menerjemahkan penjelasan guru kepada anak. Tidak ada kehebohan memenuhi tenggat penyerahan pekerjaan rumah (PR) atau mendampingi ujian daring.

Tambahan pekerjaan rumah yang menjadi tanggung jawabku seorang diri juga tidak ada. Ada yang mengotori lantai? Silakan bersihkan. Kalian butuh camilan? Silakan bikin. Kegiatan-kegiatan belajar seperti ini tidak pernah berubah. Karena urusan rumah dipikul bersama, aku sebagai ibu tidak kerepotan walau tidak mempekerjakan pembantu.

si bungsu dan pekerjaan favoritnya

Tentu saja, kami juga memiliki kebiasaan baru dalam bentuk yang berbeda. Di awal masa pandemi, anak-anak bermain di taman sebelah rumah (hamparan rumput dengan pepohonan, bukan taman dengan aneka alat permainan) selama berjam-jam, baik pagi maupun sore. Mungkin ini semacam “aksi balas dendam” mereka karena kami hampir tidak pernah lagi bepergian ke luar kompleks perumahan.

acara olahraga sore anak-anak

Mulanya, mereka masih bermain bersama anak lain. Tidak jarang terlihat masker yang lepas dan jarak yang tak terjaga. Dibutuhkan energi ekstra untuk berulang kali mengingatkan mereka tentang prosedur kesehatan. Mengawasi anak di ruang terbuka mungkin tidak seberat mendampingi anak SFH, tetapi aku tetap tidak sanggup melakukannya berjam-jam.

Syukurlah, hal itu perlahan berubah. Dengan makin bervariasinya kegiatan mereka di dalam rumah (memelihara hewan, memasak, dan menulis), anak-anak kami tidak lagi menghabiskan waktu berjam-jam di luar. Selain itu, sepertinya kami bukan satu-satunya orang tua yang melarang anak-anaknya untuk berkumpul. Tak ada lagi anak lain yang mengajak anakku bermain bersama. Kini anak-anak harus puas bermain di luar sendiri-sendiri.

hobi baru duo bocah: membuat kue

Kebiasaan baruku yang tersisa sekarang hanya menyerukan pesan pengingat “Semprot-semprot, pakai masker!” (sebelum pergi) dan “Semprot-semprot, cuci tangan-kaki, mandi!” (setelah pulang). Bagaimana denganmu? Apa pun itu, semoga makin terasa ringan, ya.