Sayuran dari Pekarangan Kami

Kami harus berterima kasih pada pandemi. Di samping berbagai kesulitan dan kesedihan yang disebabkannya, tak dapat dipungkiri bahwa ada banyak nikmat yang terasa oleh kami sekeluarga. Salah satunya–seperti yang sudah pernah kuceritakan sebelumnya–adalah bertambahnya kesempatan Hamdan untuk bekerja sambil menekuni hobinya: berkebun di rumah.

Aku mendukung tekad beliau untuk “menghijaukan” sebagian area di rumah mungil kami. Namun, kuajukan satu syarat: utamakan tanaman pangan. Aku tidak membenci tanaman hias, tetapi agak enggan memenuhi rumah/pekarangan kami yang sempit dengan kebutuhan tersier itu. Bukankah pada masa pandemi yang serba mengkhawatirkan ini, kita seharusnya mengutamakan kebutuhan primer?

Syukurlah, dalam hal ini pendapat kami tak berseberangan. Hasilnya pun terlihat tak lama sejak suamiku mulai giat berkebun. Beberapa kali kami menunda berbelanja sayur karena masih banyak sayur yang dapat dipanen dari pekarangan kami, mulai dari tanaman yang dapat dilalap (bayam brazil, daun mint, kemangi, bunga telang, bunga kenikir) hingga bahan sayur tumisan (daun gedi, daun ubi, ketumpang air, daun jinten, daun sambung nyawa, daun caya, binahong, rumput israel, daun ginseng jawa) dan dan sayur sop (daun bawang, kelor, katuk, handeleum). 

Sebenarnya, aku agak ragu pada awalnya untuk mengolah sebagian dari bahan-bahan makanan yang masih kurang familier bagiku ini. Mohon maklum, perbendaharaanku tentang aneka jenis tanaman maupun makanan memang terbilang sangat minim. Namun, berkat suamiku yang “maju terus pantang mundur” dalam mempromosikan variasi hasil kebun mungilnya (yang tetap diupayakannya menyerupai hutan alami berkat ilmu permakultur yang ditekuninya), lama kelamaan aku mulai berani mencoba-coba untuk berkreasi. Beberapa di antaranya bahkan kini telah menjadi menu andalan saat belum sempat berbelanja. Misalnya saja “Sup Ketelor” (singkatan dari Sup Kelor-Telor), “Tumis Ketumpang Air Cah Ayam”, dan “Sup Ayam Daun Ubi”. Karena anak-anak suka, beranilah aku menyebutnya sebagai menu andalan.  

Bagaimana denganmu? Ada yang sudah pernah mencoba berkreasi di dapur dengan tanaman dari pekarangan sendiri juga? Ceritakan juga, dong!

Sekilas Cerita Mengompos

Sejak kecil, aku terbiasa membedakan antara sampah basah (mudah terurai) dan sampah kering (sulit terurai). Meskipun ibuku bukan insinyur teknik lingkungan, entah sejak kapan beliau anti terhadap sampah yang dicampur. Jangan harap aku tahu tentang gas metana dari sampah basah yang terperangkap dalam plastik. Yang kutahu, Mama histeris jika tempat sampah selain yang ada di dapur berbau busuk.

Kebiasaan Mama terbawa hingga aku mengurus rumah sendiri. Berkat persahabatan dengan teman-teman alumni teknik lingkungan dan para aktivis lingkungan, pengetahuanku bertambah. Aku menjadi tahu bahwa tidak perlu lahan luas untuk membuang sampah mudah terurai. Ternyata kita dapat membuat lubang biopori yang tampilannya imut-imut tanpa cangkul maupun tenaga kuli.  

Namun, kusadari bahwa harus ada banyak lubang biopori untuk menampung semua sampah dapur. Sungguh pusing memikirkannya karena tidak seperti Mama, aku tinggal di “rumah Barbie”. Enam buah lubang biopori terasa maksimal di pekarangan rumah mini kami. Hamdan pun mengebor permukaan bersemen demi menambahnya.  

Lubang Biopori di Permukaan Bersemen

Seiring dengan bertambahnya anggota keluarga, konsumsi kami bertambah. Sembilan lubang biopori tidak cukup untuk sampah dapur kami. Suamiku mengusulkan pemakaian drum komposter, tetapi tidak langsung kuterima karena ogah repot. 🤪

Hamdan maju terus pantang mundur. Pada awal-awal percobaannya, bau menyengat tercium tiap kali komposter dibuka. Ia bereksperimen berbulan-bulan, tetapi tidak juga berhasil. Ketidaknyamanan itu baru berakhir setelah ia berkonsultasi dengan seorang teman yang lebih berpengalaman. Berikut rahasianya.

  1. Membuat bioaktivator
    • Bioaktivator dapat dibuat dari fermentasi 400–500 ml air cucian beras dengan 2–3 sendok gula. Proses fermentasi ini memakan waktu dua minggu. Hasilnya disemprotkan ke sampah hijau yang akan dimasukkan ke komposter untuk mempercepat penguraian.
  2. Menyeimbangkan sampah cokelat dan hijau
    • Sampah hijau dapat berupa kulit buah, sayur, ampas kopi, dan sisa makanan (sebaiknya dicincang agar lebih cepat terurai). Sementara itu, sampah cokelat didapat dari daun kering, kardus, ranting, atau sekam bakar. Dua jenis sampah ini dimasukkan ke komposter dengan perbandingan 1:1.
  3. Menggunakan starter
    • Kompos padat hasil pengomposan sebelumnya dapat dijadikan starter untuk mempercepat pengomposan. Cukup masukkan dua sekop tanah dan semprotkan air cucian beras hingga tampak lembab.
  4. Mengaduk komposter secara berkala
    • Komposter perlu diaduk tiap minggu atau tiap memasukkan sampah. Mikroba mulai bekerja pada minggu pertama sehingga suhu di dalam komposter naik menjadi sekitar 40°C. Kompos cair dihasilkan pada minggu kedua.
  5. Memanen kompos
    • Kompos siap dipanen jika sudah kehitaman dan sama sekali tidak berbau sampah sekitar tujuh minggu setelah sampah terakhir dimasukkan. Gunakan ayakan untuk memisahkan bagian yang kasar. Bagian halus dapat dimanfaatkan sebagai pupuk, sedangkan yang kasar dapat dicampurkan kembali ke komposter sebagai starter.

Pemakaian drum komposter di samping lubang biopori tidak hanya menyelesaikan masalah sampah dapur kami. Selain kompos padat (seperti yang dapat dipanen juga dari biopori), kami juga memperoleh air lindi. Pupuk cair ini tidak hanya dapat dipakai untuk menyuburkan tanaman sendiri, tetapi juga layak dijual.

Mengompos dengan Drum Komposter

Beberapa bulan setelah sukses mengatasi masalah drum komposter, Hamdan mulai membuat komposter sendiri dan menjualnya dengan harga yang sangat terjangkau. Ia juga menawarkan pendampingan gratis bagi tiap pelanggan. Dengan senang hati kudukung “pekerjaan” barunya ini. Tambahan uang jajan tentu bukan motivasi kami. Itu bonus. Yang jauh membahagiakan adalah bertambahnya keluarga yang mengompos dan turut mengurangi masalah sampah (60% dari sampah perkotaan merupakan sampah mudah terurai!), masalah bersama kita semua. Yuk, siapa yang belum mengompos dan mau memulai? 😁

Orderan Komposter Pak Hamdan (Bonus Bioaktivator dan Sekam)