Menyiapkan Santapan Sahur dan Berbuka

Sejak beberapa bulan lalu sebelum si sulung “pindah” ke pondok pesantren, berkali-kali aku bertanya-tanya, tantangan-tantangan baru apa saja yang harus kutaklukkan karena ketidakhadirannya. Apakah ini saatnya untuk lebih serius mengajari si bungsu segala keterampilan dapur, seperti yang kulakukan bertahun-tahun lalu dengan kakaknya? Akankah aku kembali membutuhkan waktu lebih lama di dapur? Berapa lama tepatnya waktu yang kuperlukan untuk bersiap-siap sebelum sahur dan berbuka? Pertanyaan-pertanyaan itu datang silih berganti tanpa pernah kudapatkan jawabannya sebelum sekarang, saat akhirnya aku benar-benar mengalami Ramadan tanpa gadis remajaku.

Satu hal yang membuatku takjub sebenarnya kutemukan tepat begitu kami kembali ke rumah setelah mengantar Indri ke pesantren. Anya, si bungsu, tersenyum cerah menyapaku di pagi hari dengan penampilan yang rapi jali: tampak segar setelah wudu dan salat Subuh, sudah menyisir rambutnya, hingga memakai pelembab kulit. Kemudian, dengan ceria dan penuh semangat, ia bergegas menuju dapur untuk mencuci piring. Fenomena ini tak hanya terlihat selama 1-2 hari, tetapi berminggu-minggu hingga sekarang. Adegan bocah kecil yang masih butuh waktu cukup lama untuk “menempel” ke kasurnya atau ke tubuhku di pagi hari selama ini seolah-olah hanyalah khayalanku belaka.

Ramadan pun tiba. Meskipun baru dua hari berlalu, aku tetap terkagum-kagum dan sangat bersyukur pada semangat dan kegigihan Anya untuk bangun sahur dan berpuasa hingga Maghrib. Entah bagaimana, ia menemukan cara sendiri untuk memelihara tekadnya agar jauh lebih baik daripada Ramadan tahun lalu. MashaaAllah Tabarakallah.

“Anya, nanti bantu Bunda siapin makanan untuk buka, ya.”

Begitulah kira-kira bunyi ajakanku padanya di sore hari tadi. Coba tebak, bagaimana respons Anya?

“HOREE!”

Kata itulah yang keluar dari mulutnya, dilengkapi dengan wajah sumringah dan mata yang berbinar-binar.

“Emm … Kayaknya kita belum perlu masak lagi, ya, masih banyak makanan di kulkas … Jadi, ya, nyiapin aja, ya,” tambahku, dalam usaha memperjelas ajakanku sebelumnya, khawatir Anya membangun ekspektasi yang terlalu tinggi dan bayangan yang jauh berbeda dari rencanaku “menyiapkan makanan”.

“OKE!”

Oke. Sahutannya masih sangat lantang dan riang. Mata berbinar dan wajah berserinya juga tak hilang. Semoga benar, ia memang tak salah paham.

Benar saja, sore ini Anya bergerak ke sana ke mari dengan penuh sukacita menanggapi apa pun permintaanku, mulai dari mengambilkan sendok sampai membuat segelas lemon madu hangat untuk setiap anggota rumah. Tak hanya itu, ia juga tampak  sungguh-sungguh dan menikmati sekali perannya dalam “menyiapkan hidangan berbuka” kali ini.

Bagi keluarga kami, menu sahur dan berbuka bertugas menyapa pencernaan yang baru akan “dibangunkan” dari berjam-jam tidurnya. Air lemon madu hangat dan aneka buah yang biasanya hanya disantap saat sarapan pun berubah menjadi menu andalan untuk sahur dan berbuka di rumah kami. Tak peduli apa pun menu makan berat setelahnya, “paket pertama” ini diusahakan menjadi prioritas.

Sore ini, ada tiga cangkir kecil lemon madu hangat, tiga buah pisang yang sudah dibilas bersih, serta satu mangkuk berisi sembilan butir kurma di meja makan. Hatiku menghangat seketika begitu melihat hidangan yang disiapkan gadis kecilku itu. Air lemon madu, pisang, ataupun kurma mungkin cukup sederhana, tidak sulit untuk disiapkan sendiri oleh anak berusia delapan tahun. Namun, di baliknya, ada rasa cinta yang besar yang membuatku dan ayahnya tak sanggup menahan senyum (dan hasrat untuk memotret).

Tinggalkan komentar