Kelanjutan Cerita Ikhtiar Kehamilan: Ketika Soal Lama Datang Kembali

Duh. Baru pindah, sudah pergi lagi berbulan-bulan. Maaf ya blog baru…

Sebagai manusia yang kegiatannya tidak hanya bermeditasi di dalam rumah, tentu saja aku mengalami banyak hal selama tidak ‘muncul’ di blog ini sejak tiga bulan lalu. Kesibukan kuliah memang menjadi alasan pertama yang menghalangiku untuk berbagi cerita baru. Tapi itu bukan satu-satunya alasan. Alasan lain yang sepertinya lebih berperan besar adalah suasana hati. Suasana hatiku. Tsaah… *galau mode ON*

Kegundahgulanaan itu masih berhubungan dengan persoalan rencana kehamilan yang sudah kuceritakan secara runtut sebelumnya. Sebelumnya aku sudah bercerita detil masalah yang aku dan Hamdan alami dalam rangka berketurunan. Secara ringkas: hampir segala faktor masalah ada pada kami. Faktor dariku, ada. Faktor dari suami, ada juga. Bahkan ditambah dengan faktor kombinasi suami-istri (masalah ASA yang membuatku mengikuti terapi PLI sampai belasan kali itu loooh). Namun alhamdulillah, satu per satu masalah itu dapat diatasi seiring dengan berjalannya waktu dan usaha-usaha yang ditempuh. Karena anugerah inilah, aku dan Hamdan terus optimis. Tiap masalah baru selalu datang disertai dengan solusi (meski tentu tidak datang bersamaan saat itu juga)! Kami pun makin yakin bahwa rangkaian perjalanan ini memang nikmat yang khusus diturunkan untuk kami.

Tiga bulan yang lalu, aku datang berkonsultasi ke dsog baru dengan semangat. Masalah-masalahku yang pernah ada seperti kadar hormon dan ASA sudah teratasi dengan baik. Hamdan masih punya masalah saat terakhir kali memeriksakan diri, tapi menurut dsog sebelumnya, hal itu bisa diatasi melalui langkah inseminasi buatan. Karena itu, datanglah aku ke dsog baruku ini dengan berbekal segudang cerita dan satu rencana: kembali mencoba inseminasi buatan. Jika benar analisis androlog kami bahwa inseminasi pertama dulu gagal karena masalah ASA, maka seharusnya sekarang tidak ada masalah.

Seperti yang sudah kuceritakan sebelumnya dalam topik ASA dan terapi PLI, dokter-dokter masih memperdebatkan kebenaran hal ini sebagai faktor penyebab dan solusi dalam masalah infertilitas. Nah, dsog-ku yang baru ternyata termasuk yang tidak percaya atau membenarkan, meski ia juga tidak mengatakannya terang-terangan. Dengan sabar ia mendengarkan ceritaku dan tetap membaca hasil-hasil lab terkait masalah si level ASA, tapi tidak menyarankanku meneruskan terapi PLI. Ia hanya mengakui adanya pro dan kontra di kalangan dokter dan menyerahkan keputusan padaku. Terserah padaku, mau meneruskan atau tidak.

Pemeriksaan – Pemeriksaan Ulang

Langkah yang diambil oleh dsog baruku ini sebelum menyetujui pemikiranku untuk inseminasi adalah pemeriksaan HSG ulang terhadapku dan tentu saja, pemeriksaan terhadap suamiku. Karena saat itu Hamdan masih di laut, maka aku memeriksakan diri lebih dulu (ditemani adik perempuanku, dan alhamdulillah…tidak setraumatis saat pertama kali HSG dulu). Menurut sang dsog, pemeriksaan ulang ini perlu karena pemeriksaan HSGku yang pertama sudah lama sekali (hampir 4 tahun yang lalu) dan mengingat tahun lalu aku sempat mengalami usus buntu. Pemikiran beliau ini kuperoleh setelah panjang lebar menanyainya, karena sepertinya ia sangat berhati-hati bicara demi menjauhkanku dari kegelisahan yang tak perlu. Yah…dasar pasien tak tahu diuntung, aku malah cari masalah sendiri. Awalnya kan aku cukup optimis bahwa saluran telurku tak pernah bermasalah. Gara-gara bertanya itu, aku jadi stres memikirkan bagaimana masalah usus buntu ternyata bisa berdampak negatif terhadap tubaku! Errrgghh…

Aku sujud syukur setelah mendapati hasil foto tuba falopii-ku: kedua saluran tampak paten alias tidak ada sumbatan! Hasil yang sama dengan empat tahun lalu! Alhamdulillaah. Dengan demikian, tinggal menunggu Hamdan. Kecemasan kembali muncul ketika sang dokter menyatakan tidak setuju dengan pendapat dsog sebelumnya mengenai masalah gerak sperma yang dapat dibantu oleh inseminasi buatan. Menurutnya, suami dan istri harus memenuhi syarat untuk melakukan inseminasi buatan: keduanya subur! Lhooo, bingunglah aku jadinya. Kalo dua-duanya subur, buat apa inseminasi buatan, dok? Jawabannya: inseminasi buatan hanya membantu faktor-faktor penghambat yang terjadi melalui cara berhubungan biasa! Wheew…kepalaku seperti diudek-udek oleh info-info yang berbeda ini.

Kegelisahanku karena masalah Hamdan tidak berlangsung lama. Tahu dia juga sempat stres, aku terus menyemangatinya untuk bersama-sama terus mendalami keikhlasan kami. Apapun hasilnya, tidak masalah! Beberapa minggu berselang, Hamdan pun pulang dan memeriksakan diri. Kemudian dengan penuh kesiapan hati , aku pun menanyakan hasilnya pada suster lewat telepon.

“Benar itu atas nama …..?” Aku menyebutkan nama lengkap suamiku, bertanya ulang karena tak percaya ketika sang suster membacakan hasilnya. Suamiku tidak pernah punya masalah dalam hal jumlah sperma. Jumlahnya selalu luar biasa banyak. Yang menjadi masalahnya selama bertahun-tahun adalah pergerakan dan bentuk, yang sempat diperkirakan (lupa oleh siapa, saking banyaknya terapis kami) sebagai bawaan lahir karena dulu ia terlahir sebagai bayi prematur. Masalahnya ini pelan-pelan diatasi oleh berbagai terapi. Pelan-pelan. Bukan ces pleng. Nah, lama tak periksa, wajar kan aku dikagetkan oleh hasil yang jauh lebih baik? Subhanallah Alhamdulillah…

Kami pun mengunjungi sang dsog bersama-sama dengan riang. Sang dokter juga turut senang, karena berarti syarat kami untuk melaksanakan inseminasi buatan telah terpenuhi. Langkah berikutnya adalah persiapan. Pada pertemuan yang merupakan hari ke-3 siklus haidku itu, melalui usg transvaginal, ia melakukan pematauan terhadap sang pujaan hati, sel telurku. Tak lama kemudian, keriangan kami lenyap. Ada kista di salah satu ovariumku.

Padaku yang tak tahu apa-apa soal kista, sang dokter menjelaskan bahwa tampaknya kista yang ia temukan adalah jenis kista persisten (disebut demikian karena ia keras kepala tetap ada, padahal seharusnya setelah masa subur berlalu ia semakin kecil dan hilang pada masa menstruasi). Lalu ia meyakinkanku bahwa biasanya ia akan mengecil dengan sendirinya. Tidak perlu diapa-apakan, kecuali jika ia terus membesar.

Kami mengakhiri pertemuan dengan sang dokter kali itu dengan membuat janji untuk kembali sekitar empat hari kemudian. Aku melalui hari-hari itu dengan terus menenangkan diri melalui shalat, doa, meditasi. Kubayangkan kista itu semakin kecil.

(Bukan) Masalah Baru

Pada pertemuan berikutnya, hal pertama yang kutanyakan pada dokter tentu saja adalah tentang si kista. Ternyata ia masih ada, mengecil namun tidak signifikan. Dan yang baru kusadari: sang dokter tidak terlalu ambil pusing soal itu. Ia lebih memikirkan perihal sel telurku di ovarium satu lagi (yang bebas kista), yang ternyata ukurannya tidak berkembang banyak! Jadi baru pada saat itu aku memahami bahwa sebenarnya tak masalah kista ada di salah satu ovarium, asalkan sel telur di ovarium lainnya berkembang dengan baik! (Djeggaaar…..salah fokus dong gue waktu meditasiii??!!)

Pada kondisi normal, seharusnya terjadi perkembangan seperti ini.

Sel telur yang tidak berkembang = tidak subur. Aku, Hamdan, dan bahkan sang dokter pun terbingung-bingung. Ini adalah masalahku dahuluuuuuuuuu kala, saat pertama kali melakukan pemeriksaan infertilitas. Masalah yang sempat membuat dokter pertamaku menyerah karena terapi hormon tidak dapat disarankan padaku yang dulu juga sedang mengonsumsi steroid yang cara kerjanya bertentangan, untuk masalah anemia hemolisisku. Masalah yang membuatku lari ke berbagai pengobatan alternatif. Masalah yang akhirnya diyakini selesai (entah oleh terapi yang mana) tiga tahun kemudian, dikonfirmasi oleh dokter yang melakukan operasi laparoskopi terhadapku tahun lalu. Masalah yang sudah kulupakan. Dan sekarang….muncul kembali tanpa memberi salam??

Otak dan hatiku mati rasa saat itu. Aku tak tahu sedang berpikir apa atau merasa apa secara tepat. Belakangan, perlahan aku tahu bahwa sedih itu ada, begitu pula dengan kecewa dan marah. Tapi aku tak tahu pada siapa rasa itu sebenarnya ditujukan. Tuhan? Memang apa hakku terhadap Tuhan? Dengan segala konsep ikhlas yang bukan baru saja kupelajari, aku tahu bahwa itu tidak benar. Dan jika saja pengetahuan itu mampu mengendalikan emosi, masalah selesai.

Mengetahui dan mengerti saja tidak cukup, tidak menjamin keberhasilan dalam menerapkannya. Inilah bukti betapa luar biasa sulitnya pelajaran berjudul IKHLAS. Mata kuliah Kalkulus 3, Mekanika, atau Termodinamika tidak ada apa-apanya dibandingkan ilmu yang satu ini. Jika saja masuk dalam tiap kurikulum pendidikan, kurasa boro-boro profesor….sarjana pun tidak akan banyak jumlahnya di muka bumi ini!

Kira-kira sebulan kemudian, perasaanku mulai jelas. Waktu itu aku sempat melakukan pemeriksaan ulang pada dokter lain ketika sekaligus melakukan pemeriksaan pap smear rutin tahunan. Temuannya tidak berbeda dengan dsog-ku. Ia pun menyarankanku untuk melanjutkan konsultasi dan mungkin mengambil langkah terapi hormon dengan dsog-ku. Dari emosi yang tak terbendung saat itu (air mataku mengalir terus tak bisa berhenti bahkan ketika sedang menyetir), aku pun memahami apa yang membuatku merasa begitu sakit : ketidakberdayaanku, ketidakmampuanku untuk memahami.

Sebelumnya, tiap masalah baru yang datang selalu mengajariku tentang hal baru. Dituntun pemikiran-pemikiran yang mengembara kesana kemari, aku pun lebih mudah mendalami keikhlasan yang diperlukan. Aku merasakan serunya perjalanan itu, meyakini langkah yang terus maju, meski tak tahu persis mana yang menjadi tujuan akhir.

Kali ini berbeda. Apa yang dihadapkan padaku sama sekali bukan hal baru. Masalah yang datang adalah masalah yang dulu sudah pernah menjumpaiku lalu mengucapkan salam perpisahan denganku. Bukankah wajar, jika aku terkejut dengan kemunculannya kembali? Demi apa kedatangannya kini? Pesan, hal, ilmu baru apa yang belum ia ajarkan padaku? Tepat di situ, egokulah yang berteriak. Tak terima.

Aku sungguh-sungguh kecewa, sedih, marah, dan …..yah, sebutkanlah segala emosi negatif yang mungkin ada di dunia ini, kurasa semua pun tercampur sempurna menjadi satu dalam hatiku. Hingga tinggal setitik tersisa dari gelap itu, aku paham apa yang terjadi : aku sungguh TIDAK IKHLAS.

Dan kemudian tahulah aku alasan kedatangan kembali si masalah lama: menggemblengku dalam bidang ilmu keikhlasan ini. Subhanallah. Baiklah. Bismillahirrahmannirrahiim. Mari lihat, berapa jumlah kredit mata kuliah yang satu ini dan nilai akhir apa yang kuperoleh nanti?

Salam belajar,

Heidy

Gambar diambil dari sana dan sini.

Cerita Ikhtiar Kehamilan : Tahun II-III

Tahun kedua pernikahan (2008-2009)

Satu-satunya ‘oleh-oleh’ yang kudapat dari kunjungan ke dokter kandungan sebelumnya adalah bagaimana memperkirakan tanggal masa subur. Jadi sebisa mungkin minta Hamdan menyesuaikan hari off-nya dengan masa suburku….(meskipun tak selalu bisa juga sih).

Nah, setelah ulangtahun pertama pernikahan dan aku belum hamil juga, datanglah aku kembali ke dsog (dokter spesialis obstetri dan ginekologi). Namun, bukan dokter yang sama dengan sebelumnya. Kali ini untuk pertamakalinya, aku ditangani oleh dsog laki-laki. Beberapa pemeriksaan pun mulai dilakukan (curhatan lebih lengkap pernah kutulis di Pemeriksaan Infertilitas 2, Pemeriksaan Infertilitas 3, dan Pemeriksaan Infertilitas 4) :

–           Cek hormon melalui pengambilan darah di hari ke-3 & 21(Ini berarti dihitung dari hari pertama menstruasi. Oya, fyi kalau ada yg perlu tahu juga, biaya cek hormon ini sekitar 800 ribu rupiah. Waktu itu aku periksa di Lab Makmal UI Salemba dengan membawa surat pengantar dari dsog-ku. )

–          Cek saluran telur (HSG) antara hari ke-9 s/d ke-12 (Biaya sekitar 900 ribu rupiah, aku periksa di RSIA Hermina Jatinegara. Sebaiknya membawa pembalut dan ditemani seseorang ya, periksanya…karena kadang terjadi rasa mual/pusing setelahnya)

–          Cek sperma suami setelah puasa berhubungan seksual minimal 3 hari dan maksimal 5 hari, dianjurkan pengambilan dilakukan sebelum pukul 10 pagi (kami melakukan pemeriksaan sperma ini di RSIA Herina Jatinegara juga)

Lalu kami mendapati bahwa beberapa hasil dari pemeriksaan-pemeriksaan di atas tidak bagus. Yang pertama, didapati bahwa kadar progesterone-ku rendah, sehingga ada dugaan bahwa sel telur yang kuhasilkan tidak pernah matang (bantet, kata si dokter!). Tapi alhamdulillah kalau soal saluran telur, aku nggak bermasalah. Sementara itu dari hasil tes sperma suami pun ditemukan bahwa dari tingginya jumlah spermanya (jadi dari segi jumlah amat sangat tak masalah, produktif banget ternyata dia!), morfologi (bentuk) sperma yang normal hanya sedikit, begitu pula dengan persentase yang bergerak cepat dan lurus..

Kembali ke sang dsog. Untuk mengobatiku, beliau berniat melakukan terapi obat penyubur. Tapi ada masalah besar: sejak beberapa tahun sebelumnya aku minum Medrol, sejenis steroid (meski dalam dosis yg sangaaat kecil) yang diresepkan oleh dokter hematolog-ku (dokter penyakit dalam sub spesialis darah) karena aku didiagnosa menderita anemia hemolisis (curhat lengkap ada di “Anemia Hemolisis vs Kemungkinan Anovulasi”). Masalahnya terletak pada BERTENTANGANNYA sifat obat penyubur dengan si steroid ini. Jadi kalau aku minum obat penyubur, si steroid harus berhenti. Tapi kalau si steroid berhenti, aku anemia. Padahal, kehamilan beresiko tinggi jika si ibu hamil anemia (bisa kehabisan darah saat melahirkan).

Lalu gimana, dong? Dsog-ku berkata: “Kamu umroh aja, deh!” Wah, aku senang dokterku mengingatkanku untuk berserah diri padaNya. Namun aku juga memahami sesuatu dari kata-katanya itu: tidak ada penyelesaian untuk masalahku melalui cara kedokteran barat! Sejak saat itu….aku berhenti ke dokter. Nggak cuma ke dsog, tapi juga ke hematolog. Aku merasa agak marah juga pada hematolog-ku, karna jika cara kerja steroid bertolak belakang dengan obat penyubur, berarti….steroid-lah yang membuatku tidak subur??

Sementara itu suamiku mendapat kabar lebih baik dari dokternya (androlog), yang menyatakan dari analisa sperma yg didapat, kemungkinannya untuk menghamiliku (ehm) masih lumayan.

 

Tahun ketiga pernikahan (2009-2010)

Aku berhenti ke dokter dan beralih ke berbagai pengobatan alternatif.  Beberapa metode pengobatan yang kucoba adalah terapi jus herbal, urut tradisional, pijat tusuk jari, pijat refleksi, totok Cina, dan akupunktur.

Tak semua dari pengobatan-pengobatan itu yang bertahan lama. Aku langsung berhenti berkunjung jika menemukan terapis yang berkata dengan sombong, “Hamil ini, bulan depan!” dan Tuhan membuktikan perkataannya salah pada bulan berikutnya. Jangan mendahului Tuhan, ya Pak. Segala yang terjadi itu kuasaNya!

Salah satu yang bertahan lama (hingga kini) adalah pengobatan akupunktur dan totok Cina. Masing-masing terapisnya insyaAllah rendah hati. Tidak ada yang menjanjikan sesuatu yang muluk-muluk, hanya menjelaskan proses apa yang perlu kulalui.

Kata-kata si terapis totok misalnya begini, “Waah…pantes,  ini hormonnya rendah banget! Pernah jatuh, dulu?” Lalu ia pun mengobati kelainan hormonku itu dengan metode totoknya, tanpa ada banyak janji-janji tak penting. Ketika bulan depannya aku datang lagi, mengatakan belum hamil juga, ia hanya menyatakan, “Yah soal hamil nggak hamil itu kan kuasaNya, memang belum waktunya aja kali Bu…saya dulu juga 5 tahun nikah baru punya anak…” Nah, support yang begini ini yang lebih bisa kuterima! Betul pak, kita sih ikhtiar aja, soal hasil ya urusan Tuhan.

Sementara itu, ada yang menarik pula dengan metode akupunktur, yang membuatku sampai sekarang masih bertahan menjalaninya. Sebenarnya tujuan pengobatan akupunktur ini bukan untuk program kehamilan, melainkan kesehatan tubuh secara umum. Karena masalah pertamaku adalah si anemia hemolisis, maka itulah yang ditangani terlebih dulu. Prinsip dari akupunktur adalah menstimulus tubuhku agar bekerja sendiri, tidak bergantung pada obat yang masuk ke dalam tubuh. Jadi tak perlu khawatir soal efek samping, Kupikir ini bagus sekali, masuk akal dan cocok dengan keinginan & kebutuhan diriku yang sudah muak dengan obat-obatan.

Dengan akupunktur, hb-ku meningkat perlahan-lahan. Memang pelan, tapi pasti dan lebih stabil. Suamiku pun akhirnya ikut menjalani akupunktur dan ternyata beberapa bulan setelahnya mendapat hasil analisa semen yang lebih baik: morfologi spermanya normal! Menurut pendapat sang terapis, memang ada kemungkinan morfologi abnormal sperma itu dipengaruhi oleh satu sistem (maaf, aku lupa apa itu) tubuhnya yang kurang sempurna karena dulu suamiku terlahir prematur. Sayangnya soal kecepatan gerak, bisa ada begitu banyak faktor dan akupunktur mungkin tidak terlalu berpengaruh untuk menyembuhkannya (terapisnya jujur yaa!).

Tahun pertama hingga ketiga ini adalah tahun-tahun yang sungguh menantang bagi kami berdua sebagai suami istri. Sungguh tak mudah, apalagi ketika menerima kenyataan bahwa secara medis memang ada masalah yang membuat kami sulit untuk berketurunan, padahal sejak sebelum menikah sudah ada begitu banyak pembicaraan yang memikirkan berbagai kemungkinan seperti ini. Bukankah ini merupakan bukti bahwa proses berpikir dan proses merasakan itu memiliki jalannya masing-masing?

Pengalaman melewati tantangan-tantangan ini sungguh berharga. Proses pendewasaan diri masing-masing sebagai hambaNya dan sebagai pasangan yang berbagi hidup pun terjadi. Pada masa ini kami banyak berdialog tentang tujuan hidup, berkeluarga, kebahagiaan yang hakiki, arti cinta universal, lalu saling menguatkan dan membantu untuk kembali padaNya. Pada masa ini pula kami pertamakali belajar untuk benar-benar memperhatikan dan menjaga perasaan satu sama lain, berusaha mendahulukan untuk mengerti perasaan suami/istri di atas keinginan untuk dimengerti, dan sebagainya. Hal-hal seperti inilah yang lebih penting daripada meminta keturunan.

Daripada memikirkan soal belum adanya anak yang dititipi pada kami, kami memilih untuk berpuas-puas menikmati dan mensyukuri ‘masa pacaran’ kami. Apa jadinya dunia jika para pasangan yang punya anak terus mengeluh karena kerepotannya, sementara yang belum dikaruniai terus menangis? Dunia penuh dengan orang-orang yang tak tahu bersyukur, dong!

Jadi, apa kami mendapat ujian/cobaan yang sangat berat? Wah, kami sih lebih merasa bahwa yang kami peroleh adalah anugerah yang luar biasa…Subhanallah, Alhamdulillah..

Tulisan ini pun masih berlanjut ke Rencana Kehamilan: Tahun IV (Terapi PLI). Sekali lagi, terimakasih sudah sudi mampir dan membaca ya!

Salam,

Heidy