Ada banyak hal yang kami pelajari terlebih dahulu sebelum pertama kali menawarkan pilihan sekolah rumah alias homeschooling (bukan sekolah di rumah atau school from home) kepada anak sulung kami empat tahun yang lalu. Salah satunya adalah masalah legalitas atas jalur pendidikan alternatif ini oleh negara. Apakah praktik ini diizinkan di Indonesia?
Kami pernah mendengar cerita beberapa teman bahwa homeschooling dilarang di negara tertentu. Dengan kata lain, kalau ada keluarga yang memilih tetap tidak menyekolahkan anak-anaknya di sana, mereka dianggap melakukan hal ilegal. Nah, bagaimana dengan sekolah rumah di Indonesia? Tentu saja kejelasan tentang ini penting kami ketahui sebelum memulainya. Kagak lucu pan kalo kite dipenjara gara-gara gak nyekolahin bocah.
Syukurlah, ternyata kami memang tidak perlu khawatir. Ada tiga jalur pendidikan yang diuraikan dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jalur pertama adalah pendidikan formal yang mencakup SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Jalur berikutnya adalah pendidikan nonformal yang meliputi kursus-kursus dan pendidikan kesetaraan. Jalur terakhir adalah pendidikan informal. Segala bentuk kegiatan belajar secara mandiri, termasuk pendidikan keluarga dan lingkungan, tergolong dalam jalur terakhir ini. Sampai di sini, jelaslah bahwa menerapkan homeschooling—yang merupakan pendidikan berbasis keluarga—tidak berarti melakukan tindak pidana kriminal. Alhamdulillah!
Kemudian, kami beranjak ke pertanyaan berikutnya: bagaimana tepatnya pendidikan berbasis keluarga diakui oleh negara? Kalau melihat kategori yang diuraikan di atas, sekolah rumah termasuk dalam jalur pendidikan informal. Mungkin ini bukan masalah bagi beberapa keluarga yang yakin selamanya tidak akan memerlukan ijazah tanda belajar untuk anak-anaknya. Namun, keluarga kami tidak termasuk di antaranya. Kami masih memandang sekolah formal sebagai salah satu opsi jalur pendidikan yang dapat dipilih di salah satu jenjangnya (misalnya SMA dan perguruan tinggi) serta terbuka pada kemungkinan kebutuhan anak-anak kelak akan ijazah yang mengakui pendidikan mereka.
Solusi dari kebutuhan tersebut adalah mengikuti program pendidikan kesetaraan yang merupakan bagian dari jalur pendidikan nonformal. Ada tiga program pendidikan kesetaraan di negara kita, yaitu Paket A yang setara dengan SD, Paket B yang setara dengan SMP, dan Paket C yang setara dengan SMA. Peserta yang mengikuti program pendidikan kesetaraan ini mendapat kesempatan untuk menjalani penilaian penyetaraan pendidikan dengan jalur pendidikan formal. Dengan demikian, pesekolah rumah (homeschooler) yang lulus ujian penyetaraan akan mendapatkan hak legal yang sama dengan pemegang ijazah SD/SMP/SMA.
Untuk mengikuti pendidikan kesetaraan, kita dapat mendaftar ke Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang menyelenggarakan program Paket A/B/C. Ada banyak PKBM yang dapat ditemukan di berbagai kota, tetapi tentu–sama halnya seperti pilihan sekolah–tidak semuanya cocok dengan kebutuhan kita. Biasanya ketidakcocokan yang mungkin muncul berkaitan dengan lokasi dan waktu belajar atau aturan dan biaya yang ditetapkan oleh PKBM tersebut. Ada PKBM yang mewajibkan sesi tatap muka langsung untuk belajar dengan tutor beberapa kali seminggu, sementara ada yang hanya meminta laporan kegiatan belajar mandiri. Ada PKBM yang mematok harga yang cukup tinggi untuk program-program kegiatan yang diadakannya, tetapi ada pula yang memberlakukan sistem subsidi silang atau tidak memungut biaya sama sekali.
PKBM mana yang paling baik atau program di PKBM mana yang bagus? Menurut kami, tidak ada jawaban mutlak untuk pertanyaan ini. Mengingat kebutuhan dan preferensi setiap keluarga berbeda, belum tentu yang sesuai dengan suatu keluarga juga cocok untuk keluarga lainnya. Karena itu, saran kami kepada teman-teman yang baru mau mendaftarkan anaknya ke PKBM adalah menuntaskan tugas pertama terlebih dahulu: merumuskan dan menyepakati visi dan misi pendidikan keluarga. Setelah itu, sila pilihlah PKBM yang paling sesuai dengan kebutuhan dan keinginan keluarga masing-masing. Semangat!