Tentang Anak Membaca: Sebuah Kegelisahan

“Bunda bawa buku apa?” tanya si sulung setiap kali kami datang ke panti asuhan tempatnya tinggal tujuh tahun yang lalu.

“Banyak, nih,” jawabku sambil membongkar tas berisi buku yang kubawa. “Yuk, pilih … mana yang mau dibacakan dulu?”

Saat ia sibuk memilih, terlintas hal yang membuatku penasaran. “Katanya di panti juga ada perpus. Indri juga sering baca atau pinjam buku di sana?”

“Enggak … kan belom boleh. Mungkin bentar lagi.”

“Lho, kenapa?”

“Yang boleh cuma anak yang udah bisa baca.”

“Jadi anak-anak yang belum bisa baca, nggak ada yang lihat buku? Nggak dibacain sama ibu pengasuh?’

“Enggak. Indri pertama kali lihat buku ya yang dibawain Bunda.”

What??

Terbayang olehku buku-buku yang pernah kami sumbangkan bersama teman-teman kami. Waktu menyerahkannya, kami semua berharap buku-buku itu dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kegiatan literasi anak-anak yang tinggal di panti asuhan. Apa mungkin ada kesalahan dalam memahami harapan kami itu?

Sejak kapan ada aturan bahwa anak yang belum dapat membaca tidak boleh atau tidak perlu dikenalkan dengan buku? Bagaimana mereka dapat tertarik dengan kegiatan membaca kalau sama sekali tidak pernah diperkenalkan sebelumnya? Kebingunganku ini sedikit mereda ketika aku mendapat penjelasan bahwa pihak panti memang kekurangan pengasuh untuk mengawasi dan mendampingi anak-anak penghuni panti yang makin banyak jumlahnya. Daripada membiarkan buku-buku milik bersama itu rusak diperebutkan anak-anak balita, mereka tak punya pilihan selain membatasi aksesnya. Baiklah. Aku menjadi paham masalahnya, tetapi rasa sedih itu tetap ada.

Kegelisahan terkait masalah membaca buku ini sempat kulupakan setelah si sulung pulang ke rumah kami (sudah diadopsi secara legal). Si sulung yang sebelumnya hampir tak pernah melihat buku tampak senang dan puas membaca aneka buku di rumah kami karena aku dan suamiku sudah mengoleksi banyak buku anak sebelum kami memiliki anak. Maklum, kami memang pecinta buku.

Kemudian, aku hamil dan melahirkan anak kandung. Kebiasaanku, suamiku, dan si sulung membaca buku kapan saja dan di mana saja rupanya terekam dengan baik oleh si bayi. Berbeda dengan kakaknya yang baru mengenal buku di usia menjelang tujuh tahun, anak kedua kami ini sangat beruntung karena begitu akrab dengan aneka jenis buku di usia dininya. Buku selalu menjadi benda yang menarik baginya (kalau ada pilihan antara buku dan mainan, ia pasti memilih buku) dan dibacakan buku adalah kegiatan yang paling ditunggu-tunggunya hingga ia tiba-tiba saja dapat membaca sendiri pada usia lima tahun.

Keresahan lain baru muncul lagi ketika aku mengobrol dengan seorang tetangga. Entah bagaimana awalnya, aku menanyakan sekaligus menawarkan buku bacaan untuk anak-anaknya yang juga masih kecil-kecil. Sebagai kolektor buku, rasanya sayang memiliki begitu banyak buku, sementara pembacanya sangat sedikit alias kami-kami saja.

Namun, alangkah bingungnya aku ketika sang tetangga menjawab, “Oh kalau untuk baca, saya rekomendasikan bimbel B****, Mbak! Itu cepet banget lo, bisa baca. Kita nggak usah pusing-pusing ngajarin di rumah jauh-jauh hari. Anak saya nggak pernah dikenalin buku sebelumnya, masuk situ, diajarin, nggak lama kemudian langsung bisa, tuh!”

Aku melongo mendengar ucapan itu. Karena tidak yakin harus berkata apa, aku hanya menjawabnya dengan senyum yang dipaksakan. Akan tetapi, perasaan sedih seperti sebelumnya (saat tahu tentang akses anak-anak panti asuhan terhadap buku) kembali muncul dan terus membuatku gelisah, bahkan hingga hari ini.

Rupanya tidak semua orang memiliki pandangan yang sama dengan kami tentang membaca buku. Tanpa memandang golongan ekonomi pun, banyak orang yang tak menganggap penting hal ini. Tidak sedikit yang menganggap bahwa membaca hanya hanyalah keterampilan untuk sekadar membunyikan huruf. Maka, kegiatan membaca buku yang tidak jelas-jelas ditujukan khusus untuk memperlancar keterampilan ini pun dianggap tak ada gunanya oleh mereka.

Apakah benar demikian? Apakah kegiatan membaca buku memang hanya untuk segelintir orang, seperti halnya aneka rupa hobi lainnya? Apakah membaca buku bukan bagian penting dari pendidikan anak? Bagaimana menurutmu?

Membaca Banyak Buku Tanpa Membelinya

Belum dikaruniai anak selama tujuh tahun setelah menikah dulu tidak menghalangi aku dan Hamdan untuk membaca dan mengoleksi buku-buku anak. Kami memang pecinta buku sejak dulu. Dengan mudah, anak-anak kami pun tertular hobi ini.

Memasuki usia kelima, Anya mulai kehabisan judul baru yang dapat dibacanya dari koleksi buku anak kami (yang belum mencapai ribuan). Meskipun dia tidak keberatan membaca satu buku berulang-ulang, kami merasa tidak tega. Namun, di saat yang bersamaan, kami juga pusing jika harus membeli lemari lagi. Seluruh dinding di rumah sudah penuh!

Untunglah, ada solusi dari Pustakalana, sebuah perpustakaan anak di Bandung. Sebenarnya, perpustakaan ini memiliki sejarah yang erat dengan kami karena Hamdan merupakan salah satu pendirinya pada tahun 2005 sekaligus koordinator utamanya selama beberapa waktu sebelum sibuk menjadi kuli korporat … hahaha. Aku pun beberapa kali menjadi relawan di sana.

Pak Hamdan semasa menjadi koordinator utama Pustakalana

Sejak diasuh oleh sahabat kami Chica pada tahun 2015, Pustakalana terus melebarkan sayapnya. Chica berhasil membangun tim yang kompak dalam menjalankan program-program Pustakalana. Tidak hanya menyediakan akses ke ribuan buku bermutu, Pustakalana juga mengadakan program-program menarik untuk semua kalangan umur.

Markas fisik Pustakalana saat ini di Selaras Guest House

Bagaimana Pustakalana mendukung kami dalam menyediakan tambahan bacaan bagi anak-anak kami? Bukankah lokasinya di Bandung, sementara kami berdomisili di Jabodetabek dan kita dianjurkan tidak bepergian selama pandemi? Kabar baiknya, Pustakalana juga menawarkan program Grab and Go!

Berkat program ini, kami yang tidak tinggal terlalu dekat dengan markas fisik Pustakalana dapat turut menikmati koleksi buku-bukunya secara berkala. Caranya mudah. Setelah mendaftar menjadi anggota Pustakalana, kita dapat mengisi form Grab and Go setiap kali ingin meminjam buku. Dalam form tersebut, kita dapat menginformasikan usia anak yang akan membaca serta jenis buku yang ingin dipinjam. Bahkan, kita juga dapat menyatakan buku-buku yang tidak ingin kita pinjam (contoh: serial tertentu, jika kita sudah memiliki koleksinya).

Sejauh ini, sistem Pustakalana Grab and Go ini cocok bagi kami. Karena mulai tahun ini aku menggunakan tema bulanan untuk kegiatan Anya, pilihan bacaannya setiap bulannya pun disesuaikan. Berikut buku-buku bertema “anggota tubuh” yang dipinjam Anya bulan lalu.

Saat buku pinjaman datang, kami sangat gembira. Aku senang sekali mendapat paket yang dibungkus aman, tetapi tetap menerapkan prinsip minim sampah. Tidak ada pembungkus yang kubuang. Semua kusimpan dan kupakai lagi ketika mengembalikannya.

Di luar dugaan, Anya senang dengan konsep meminjam buku ini. Karena tahu waktunya terbatas untuk dapat membaca buku-buku itu, ia lebih menghargai ‘kesempatan sempit’ yang dimilikinya. Setelah paket pertama dikembalikan, ia pun tampak antusias menanti-nanti pinjaman berikutnya.

Sedikit tips demi pertukaran buku yang lancar: jangan mengembalikan buku di batas waktu pengembaliannya. Peminjaman berikutnya tidak dapat dilakukan jika paket sebelumnya belum dikembalikan. Jika batasnya tanggal 9, misalnya (dan kita ingin meminjam buku baru pada tanggal 10), sebaiknya buku-buku itu kita kembalikan pada tanggal 2 (seminggu lebih cepat).

Kekurangan dari program ini adalah … kenapa kami terlambat memanfaatkannya? Sungguh disesalkan! Hahahaa. Andai dilakukan sejak dulu, mungkin kami tidak pernah pusing menambah lemari. Berkat Pustakalana, membaca banyak buku berkualitas tanpa membelinya ternyata tidak mustahil! Bagaimana dengan teman-teman? Ada yang rutin meminjam buku perpustakaan juga?

Salam,

Heidy