Lebih Cepat Tidak Selalu Lebih Baik

Sejak kecil, cukup sering aku mendengar ungkapan “lebih cepat lebih baik” dalam berbagai konteks situasi. Yang paling banyak mungkin berkaitan dengan batas waktu kedatangan, janji bertemu, pengumpulan pekerjaan. Kalau sekolah dimulai pukul tujuh pagi, misalnya, tentu siswa yang baik adalah yang datang lebih cepat, yaitu sebelum jam tujuh. Begitu pula jika ada janji bertemu atau tenggat waktu pengumpulan tugas. Yang datang atau mengirimkannya jauh sebelum waktunya jelas merupakan orang-orang terbaik.

Mungkin karena memiliki pemahaman tersebut, aku merasa wajar ketika ungkapan “lebih cepat lebih baik” juga diterapkan dalam beragam konteks lainnya. Selesaikanlah studi sarjana dalam waktu empat tahun … tetapi lebih cepat lebih baik, misalnya (tentu ini bukan contoh pengalaman pribadi!). Beberapa contoh lain mencakup kecepatan dalam mempelajari berbagai hal, membaca buku atau sumber pustaka lainnya, memasak atau menyiapkan makanan, membersihkan rumah, dan sebagainya.

Selama bertahun-tahun, tak pernah sekali pun aku meragukan kebenaran ungkapan “lebih cepat lebih baik” dalam berbagai situasi. Mungkin ini juga karena aku dibesarkan oleh orang tua yang sangat produktif dan memiliki aneka rupa kesibukan. Aku begitu bangga dan mengidolakan kedua orang tuaku hingga tanpa sadar bercita-cita untuk meniru cara-cara hidup mereka.

Aku senang melakukan banyak hal sekaligus dalam satu waktu. Kuapresiasi diriku saat berhasil mewujudkan rencana multitasking-ku dan begitu pula sebaliknya: kusesali diriku sendiri ketika gagal. Tak jarang, kusalahkan diriku yang kurang cepat dalam mengerjakan salah satu hal sehingga waktu telah habis sebelum aku dapat lanjut mengerjakan “misi” lainnya.

Karena itulah, sering kali aku tak dapat memahami bagaimana orang-orang tertentu dapat menghabiskan banyak waktu untuk sebuah kegiatan. Mengapa seseorang harus sampai berbulan-bulan membaca sebuah buku yang bisa kulahap habis dalam dua hari? Mengapa ada yang betah sekali berjam-jam di dapur sementara aku berprinsip “maksimal tiga puluh menit” dalam menyiapkan makanan? Mengapa beberapa orang senang mengambil jalan memutar untuk mencapai satu tempat demi mendapatkan pemandangan indah?

Awalnya, aku tak menyadari bahwa ada yang tidak baik dari keyakinanku pada prinsip “lebih cepat lebih baik”. Lebih cepat itu diperlukan demi mendapat lebih banyak. Nah, apa sih, yang lebih baik daripada mampu melakukan lebih banyak hal? Bukankah pada akhirnya produktivitas yang tinggi menunjukkan prestasi hidup seseorang?

Keyakinanku itu baru tergoyahkan setelah aku terus menjalani peranku sebagai ibu. Dari pengalaman mengasuh dan belajar bersama anak-anakku, kutemukan apa yang lebih baik dari lebih cepat dan lebih banyak itu: setiap hal yang lebih pelan dan lama dikerjakan karena sungguh-sungguh. Rupanya kesungguhan hati itulah jalan menuju penghayatan akan hidup, ketakjuban akan anugerah kehidupan, dan keimanan kepada Sang Pemiliknya. Astaghfirullah.

Tinggalkan komentar