Rasa Damai dalam Proses Pengasuhan

Entah dari mana aku harus mulai menjelaskan jika ditanya atau diminta untuk berbagi tentang pendidikan Waldorf yang kupelajari dan kugunakan. Sebenarnya, nama “Waldorf” di dunia pengasuhan dan pendidikan anak pertama kali kukenal bersamaan dengan awal mula saat aku menjadi seorang ibu. Namun, waktu itu aku hanya sekadar mengenal dan menganggapnya sebagai salah satu cara dalam pendidikan yang sepertinya kurang cocok dengan kepribadianku.

Meskipun demikian, rasa penasaranku yang besar mendorongku untuk terus mencari tahu lebih banyak tentang pendidikan Waldorf. Aku pun rajin mendatangi berbagai seminar dan kegiatan kelompok belajarnya. Filosofinya yang begitu dalam dan kompleks sering kali membuatku bingung dan pusing. Namun, entah mengapa aku malah makin ketagihan dan menolak untuk berhenti. Lambat laun, kusadari bahwa setiap “acara belajar bersama” yang kuikuti itu selalu meninggalkan kesan yang kurang lebih serupa dan saling mendukung: aku merasa kembali diingatkan, disadarkan, tercerahkan, bahkan juga sekaligus mendapatkan semacam ketenangan atau kedamaian di hati.

Perasaan ini agak berbeda dengan ketika aku mengikuti beberapa pelatihan orang tua atau pendidikan (bukan pendidikan Waldorf) sebelumnya, yang sering kali meninggalkan rasa bersalah, khawatir, cemas, atau takut yang cukup besar. Alih-alih mulus langsung mengubah gaya pengasuhan, kadang-kadang aku malah merasa stres karena tahu selama ini telah melakukan kesalahan. Aku juga menyadari ada banyak kesalahan pengasuhan anak yang telah kulakukan setelah belajar tentang pendidikan Waldorf, tetapi bukan stres yang menghampiriku. Perasaan paling besar yang mendesakku adalah kesadaran untuk melambatkan ritme. Dengan demikian, tidak panik termasuk di dalamnya.

Yang segera kuperbaiki setelah mendapatkan “pengingat” untuk memaksimalkan proses pendidikan dan melindungi tumbuh kembang anak-anakku adalah justru mengurangi kegiatan dan melambatkan ritme harian kami. Kulakukan apa yang memang ada dalam batas-batas kemampuanku. Misi nomor satuku bukanlah memastikan anak menyelesaikan target-target kegiatan tertentu, melainkan memastikan diriku sendiri sanggup mendampingi seluruh proses belajar mereka–seperti apa pun bentuknya–dengan sabar.

Baru sekarang benar-benar kupahami mengapa nasihat untuk bersabar dan “Jangan marah!” ditegaskan berkali-kali dalam agamaku: karena ini adalah bagian dari iman kepada Sang Maha Penguasa Hidup. Manusia hanya berkehendak dan berusaha, tetapi Tuhanlah yang menentukan hasilnya. Jadi, untuk apa panik dan marah-marah ketika itu tidak menjamin keberhasilan pendidikan, tetapi pasti merusak hubungan dengan anak?

Astaghfirullah. Maafkan Bunda ya, anak-anak, untuk setiap “butir nasi yang telah menjadi bubur”. Semoga kita masih diberikan cukup waktu untuk diisi dengan lebih banyak kenangan pengasuhan yang baik dan indah. Semoga Allah rida dengan usaha Bunda untuk sekonsisten mungkin memelihara kedamaian dan ketenangan hati dalam memainkan peran sebagai salah satu “malaikat penjaga” kalian di dunia ini. Aamiin.

Tinggalkan komentar