Halo, Apa Kabar?

Halo! Sudah lama waktu berlalu sejak terakhir kali aku mengisi blog ini. Sebenarnya niat untuk memelihara lapak ini selalu ada, tetapi entah kenapa, cukup sulit mengubahnya menjadi tekad hingga terwujud menjadi gerakan nyata … hehe.

Nah .. di bulan yang masih terhitung awal tahun ini, aku berharap dapat melawan kelembaman itu. Alhamdulillah sepertinya niat ini juga mendapat jalan dukungan dari komunitas Mamah Gajah Bercerita dan Mamah Gajah Ngeblog (komunitas alumni kampus zaman S1 yang berisi mamah atau calon mamah yang doyan menulis dan ngeblog). Cuss deh.

Apa kabar teman-teman yang budiman? Kami sekeluarga mendoakan agar semua dikaruniai kesehatan lahir maupun batin, yaa. Sejak pandemi Covid-19 terjadi, ini menjadi doa favoritku. Namun, sepertinya aku tidak sendiri kan yaa?

Omong-omong tentang pandemi, apa kegiatan teman-teman selama #dirumahsaja? Dari hasil ngobrol maupun nonton medsos, aku menyadari ada beberapa jenis kegiatan yang makin banyak dilakukan orang: berbisnis jarak jauh, berkebun, memasak, menonton drama Korea, atau ‘sekadar’ tenggelam dalam buku-buku. Dari yang tidak pernah melakukannya, atau tidak sesering itu, hingga sekarang menjadi ketagihan atau bahkan menjadi ahli dalam bidang tersebut … semua tampak seru.

Aku sendiri rasa-rasanya tidak banyak melakukan hal baru selain WFH alias bekerja jarak jauh (menulis dan mengajar) dan tidak terlalu menikmati cara baru ini (sungguh, bertemu manusia nyata ternyata tergolong kebutuhan penting bagiku!). Sempat ada kegiatan baru yang kucicipi seperti belajar bahasa asing baru dan mencoba mempelajari beberapa keterampilan baru lainnya, tetapi tidak bertahan lama juga karena alasan yang sama: aku kurang suka melakukannya secara daring. Sementara itu, kegiatanku bersama anak-anak nyaris tidak ada yang berubah selain menjadi jarang ke luar rumah karena jauh sebelum pandemi, mereka sudah bersekolahrumah alias homeschooling (HS). Dalam hal ini, aku dan Hamdan merasa beruntung karena tidak perlu mengalami drama school from home (SFH) yang kelihatannya jauh lebih merepotkan (semoga lain kali dapat kami ceritakan lebih lengkap mengenai HS vs SFH ini). Paling-paling yang agak berbeda adalah menu dan porsi masakan yang kubuat sehari-hari karena harus mempertimbangkan porsi dan selera Pak Hamdan yang kini lebih banyak melakukan WFH.

Nah. Sementara aku merasa tidak menjadi lebih luar biasa, aku melihat hal yang sebaliknya pada sang rekan hidup ini. Kondisi sejak pandemi ini justru seolah menjadi anugerah yang teramat dinikmatinya. Alasannya sebenarnya tidak mengejutkan karena ini sudah menjadi hobinya sejak lama: berkebun. Sebenarnya bukan hanya berkebun. Ia juga beternak ikan (lele, nila, gurame) serta lebih dalam mempelajari dan mempraktikkan sistem rumah ramah lingkungan secara menyeluruh, mulai dari pengelolaan sampah hingga penampungan air hujan.

Kalau dulu aku yang lebih bawel tentang pemilahan sampah, kini peran itu berpindah tangan: “Ini kok biji ditaro di kotak untuk komposter, sih? Dipisahin dong!” Eaaa …. sungguh tak pernah kuduga sebelumnya, hari seperti ini akan datang. Kalau dulu beliau yang bertanya padaku tentang teori pengelolaan sampah (mengingat aku menjadi editor buku pengelolaan sampah), sekarang dialah yang bolak-balik kutanyai karena sudah kenyang dengan asam garam kehidu … eh, maksudku, trial dan error menggunakan komposter anareob. Sebanyak-banyaknya ilmu teori yang dibagikan padaku oleh para ahli pengelolaan sampah yang menulis buku itu, ternyata tetap tidak mampu mengalahkan mahaguru bernama Pak Ham … eh, PENGALAMAN.

Bapak Hamdan juga tidak sembarang berkebun. Emm … salah, salah. Sepertinya ungkapan ini kurang tepat. Bagaimana ya mengatakannya? Maksudku begini. Beliau mempelajari dan mempraktikkan berkebun sampai taraf … INGIN MEMBUAT HUTAN di pekarangan rumah. Baiklah. Ini hanya ungkapan kesotoyanku yang tidak tahu apa-apa tentang berkebun. Tentu saja ia juga menjelaskannya padaku sedikit-sedikit (atau mungkin sudah banyak, tapi yang terserap dalam otakku mungkin kurang dari sepuluh persen) dan aku cukup dapat (terpaksa) menerimanya karena semuanya terkait erat: permakultur, ketahanan pangan, keseimbangan alam, dan sebagainya. Yang kumaksud dengan ‘terpaksa’ di sini: kalau nggak setuju, ya jangan jadi bagian dari alam. *garuk tanah* *eh jangan, nanti kukunya kotor … garuk tembok aja* *eh jangan juga, nanti temboknya baret-baret … ya udah jongkok aja di pojokan*

Di satu sisi, tentu aku merasa bersyukur, bahagia, sekaligus bangga dengan paksu yang semakin berilmu dan banyak berkarya (Oh ya, sekilas iklan: Pak Hamdan membuka pre-order drum komposter anaerob buatannya sendiri loh, dengan bonus sekam kering, bioaktivator, dan pendampingan gratis sampai berhasil panen kompos dan pupuk cairnya. Harganya jauh lebih murah daripada yang kebanyakan komposter bermerek! Mungkin karena beliau masih rendah hat .. eh, malu-malu. Yang mau mulai ngompos juga, sila tinggalkan jejak atau hubungi kami yaa!). Apakah ada sisi lainnya? Tentuu! Namanya juga hidup, ye kaan, yang seperti koin dengan dua sisi.

Siapa sangka, ternyata produktivitas suami di rumah dapat memengaruhi rasa kepercayaan diriku. Apalagi di tahun kemarin, aku sempat syok mendapati kenyataan baru tentang kesehatanku (masih nggak jauh-jauh dari masalah reproduksi, semoga kapan-kapan bisa kutulis juga ya). Ada rasa minder, semacam ingin ikut perlombaan-siapa-yang-lebih-produktif tapi merasa tak mampu, merasa bersalah, tak bernilai, tak berdaya, tak berguna, lalu berujung pada depresi.

Itulah salah satu alasan kenapa “Semoga sehat LAHIR DAN BATIN” menjadi doa favoritku sekarang. Iya, betul, ancaman virus Covid-19 luar biasa pada keselamatan kita, terutama para lansia dan yang memiliki penyakit penyerta. Namun, dampak pandemi ini terhadap kesehatan mental kita juga ternyata tidak boleh diremehkan. Bukan mustahil, yang tadinya sehat-sehat saja fisiknya, menjadi tumbang karena tersiksa secara psikis (ini terjadi pada ibu kami, yang stres berat karena adik iparku sempat positif terinfeksi corona dan harus terisolasi dari siapapun termasuk anak batitanya, lalu kesehatannya terdampak secara serius). Jadi … mari jaga kesehatan fisik DAN mental kita. Mari tidak mengabaikan masalah kecil yang menggoyahkan kestabilan jiwa, baik yang kita alami sendiri, apalagi yang terjadi pada orang lain.

Alhamdulillah, insyaAllah, sekarang aku sudah baik-baik saja. Tahun 2020 ditutup dengan kesehatan yang makin membaik secara fisik maupun mental, berkat dukungan suami tercinta yang-walau-prestasinya-masih-bikin-ngiri-ternyata-masih-ngaku-ngiri-balik-ke-istrinya- serta keluarga dan teman-teman terdekat. Oh ya, salah satu sahabatku yang juga menceritakan masalahnya dengan kesehatan mental berkata bahwa sesi konsultasi dan terapi dengan psikolog melalui aplikasi penyedia jasa kesehatan hal*doc sangat menolongnya (ini bukan tulisan berbayar, yaa). Waktu mendengar kisahnya yang sukses teratasi berkat bantuan sang psikolog, aku menyesal karena opsi itu dulu tidak terpikir sama sekali olehku. Nah … siapa tahu di antara teman-teman ada yang mengalami masalah serupa, mungkin ini opsi ini dapat dicoba. Mudah-mudahan dapat terbantu juga.

Jadi, bagaimana kabarmu sejak pandemi? Ceritakan juga, dong.

Salam,

Heidy

Libur telah tiba

Bagiku, punya blog itu mungkin bisa diibaratkan seperti punya rumah kedua, ketiga, atau seterusnya. Meskipun bukan rumah utama yang dihuni setiap hari, rumah-rumah itu juga tetap berfungsi sebagai tempat ‘peristirahatan’. Macam vila-vila di daerah wisata gitu, deh. Haha… gaya kan, ngayalnya.

Nah. Jadi, ibaratnya vila pribadi, blog-blogku tentu menjadi prioritas untuk dikunjungi saat libur tiba. Kalau beruntung, aku bisa berkunjung seminggu sekali. Lebih sering dari itu berarti istimewa. Kalau agak sibuk, harap maklum jika tak berkunjung selama sebulan. Lebih dari itu, dapat diperkirakan bukan sibuk lagi namanya, melainkan sibuk amit-amit.

Sudah hampir setengah tahun sejak terakhir kali aku mengunjungi dan membenahi isi ‘rumah keluarga’ ini. Jangan tanya bagaimana rindunya. Berulang kali muncul keinginan untuk melarikan diri dari segala kesibukanku dan meluncur ke sini. Kalau orang lain, mungkin itu benar-benar terjadi. Oh, ya. Beberapa cerita tentang kesibukanku selama tak mengunjungi blog ini sudah kuceritakan di ‘rumah’ku yang lainnya. Intinya dapat kusingkat dalam satu kata (weits, jago nggak tuh): TESIS.

Masa sih tak boleh, berkunjung ke tempat peristirahatan sejenak di tengah-tengah pengerjaan tesis? Tentu saja tak ada yang melarang. Tak ada, selain diriku sendiri, setelah mempertimbangkan masak-masak beberapa hal. Satu, ‘vila’ ini terlalu nyaman untuk beristirahat. Yang rencana awalnya hanya ingin istirahat sejenak bisa-bisa jadi dua jenak, tiga jenak, dan seterusnya. Dua, aku sangat mengenal diriku sendiri, yang susah dihentikan kalau sudah keasyikan. Apa kabar si tesis jika aku keasyikan main di vila, tidak pulang-pulang? Ya kabar baik…. baik-baik tak tersentuh lagi, maksudnya.

Gambar

apalagi kalau tempat istirahatnya yang macam begini … *super ngayal* *dadah2 ke tesis*

Maka, kubulatkanlah tekad, menahan sekuat-kuatnya nafsu untuk berlibur ke sini. Kujadikan agenda ‘mengunjungi rumah peristirahatan’ sebagai hadiah yang bisa diambil saat libur tiba. Dan itu berarti sekarang, saat sang tesis tidak hanya sudah selesai, tetapi juga telah diterima sebagai syarat kelulusan sekolah formalku yang terakhir. Alhamdulillah. Dengan kata lain: yeaayy… libur telah tiba!!

Ini bukan pertama kalinya aku lama tidak menengok-nengok blog kesayangan ini. Lalu, seperti yang pernah kusampaikan juga sebelumnya setelah lama tak berkunjung, aku sungguh takjub dan terharu karena blog ini selalu kedatangan tamu, baik kenalan lama maupun baru, meskipun si empunya rumah lama tak pulang-pulang. Terima kasih banyak untuk teman-teman semua dan mohon maaf atas keterlambatanku merespon semua komentar yang masuk, ya.

Khusus kepada teman-teman berbagi kami untuk persoalan infertilitas, mari lanjutkan perjuangan dengan semangat dan tentunya disertai doa yang tak pernah putus. Semoga Tuhan menetapkan yang terbaik bagi kita. Aamiin

Oh, ya. Sekadar meluruskan apa yang pernah kutulis di sini, aku dan Hamdan tidak berhenti berikhtiar. Hanya saja, setelah melalui beberapa pengalaman, alhamdulillah, bertambah banyak pula pelajaran yang diambil hingga kami dapat lebih selektif dalam menentukan cara-cara atau jalan yang ditempuh. In sya Allah kami ingin segera menceritakan hal ini satu per satu.

Salam,

Heidy

Gambar bukan koleksi pribadi, diambil dari sini. Makasih, lho 😀