Mengubah Cara Pandang Pengasuhan

Saat pertama kali menyandang status sebagai “orang tua” delapan tahun yang lalu, aku tidak hanya diliputi rasa sukacita. Sama besarnya dengan antusiasme itu, sebetulnya hari-hariku juga dipenuhi perasaan tegang dan waswas. Tak jarang, pertanyaan yang sama muncul berulang di benakku: akankah aku mampu mengasuh anakku dengan sebaik-baiknya?

Karena bukan seorang psikolog atau pakar pengasuhan anak, tentu rujukan pertamaku dalam hal menjadi orang tua adalah orang tuaku sendiri. Dengan sengaja, aku mengingat-ingat cara-cara pengasuhan mereka yang kualami untuk kuterapkan pada anak pertamaku (yang telah berumur tujuh tahun ketika kuadopsi). Itulah gaya pengasuhan terbaik yang kubanggakan sehingga kupikir tak ada yang perlu kuubah dari cara-cara orang tuaku.

Sebenarnya, jauh sebelum mengasuh anak, sedikit banyak aku juga telah menerapkan prinsip-prinsip pengasuhan orangtuaku ketika aku melakoni peran guru di sebuah sekolah dasar swasta. Berbeda dengan kebanyakan guru lain di sana yang selalu berlaku dan bertutur kata lemah lembut, aku cenderung bersikap keras. Menurutku, anak hanya belajar banyak dan akan berhasil jika didisplinkan sebaik mungkin. Sementara itu, pendidik yang bersikap lemah lembut kuyakini hanya akan menghasilkan anak-anak yang lemah.

Cara pandang itu mulai kupertanyakan sendiri ketika mengikuti kelas-kelas parenting di sekolah si sulung (ia sempat bersekolah hingga kelas 4 SD sebelum aku mengajaknya menjalani homeschooling). Sekolah yang mengusung prinsip ramah anak itu tidak hanya menunjukkan gaya komunikasi para guru yang ramah anak, tetapi juga terus membagikan ilmu-ilmu pengasuhan kepada para orang tua. Ada banyak hal baru yang kuperoleh di sana, termasuk di antaranya cara berkomunikasi kepada anak.

Apakah setelah itu gaya pengasuhanku langsung berubah? Sayangnya, masalah ini tidak seringan membalikkan telapak tangan. Meskipun tahu hal yang benar, aku merasa bahwa itu adalah hal ideal yang takkan bisa dilakukan sepenuhnya oleh sebagian orang. Aku, misalnya. Mungkin saja sebagian orang lainnya mampu melakukannya, tetapi aku atau orang-orang dengan karakter yang mirip denganku mungkin akan merasa itu cukup sulit.

Kemudian, pemahaman demi pemahaman baru tentang pengasuhan anak terus kudapatkan dari berbagai sumber: obrolan dengan sesama ibu, buku-buku, seminar, pelatihan, dan sebagainya. Namun, sumber ilmu terbesar ternyata justru anak-anakku sendiri. Masih jelas dalam ingatanku, momen kesadaran berikutnya datang setelah aku mendapat kesempatan mengasuh anak kandungku sendiri. Di depan mataku, aku melihat sendiri bagaimana bayi yang kemampuan geraknya masih sangat terbatas pun sudah memiliki kehendak. Sering kali, bayi-bayi justru lebih tahu apa-apa yang baik dan mereka butuhkan. Bagaimana bisa aku lupa bahwa pada hakikatnya, manusia adalah makhluk yang berkehendak dan berpikir?

Jelas tak pernah terpikir olehku sebelumnya untuk menanyakan perasaan dan pendapat anak dalam segala hal. Tentu ini masih berhubungan dengan keyakinan lamaku, yaitu bahwa pengasuhan terbaik murni bergantung pada orang tuanya dan bersifat satu arah. Jika orang tua tegas dan dapat mendisiplinkan anak, tentu anak akan berhasil. Kurasa kekakuan cara pandangku itulah yang sempat membuatku merasa seperti ada di medan perang setiap hari. Pernah ada masanya aku bangun setiap pagi dengan kelelahan karena merasa harus “berperang” dengan anakku.

Masa-masa itu sungguh tak akan pernah ingin kuulangi lagi, tetapi harus kusyukuri keberadaannya. Kurasa berkat pengalaman yang kurang menyenangkan itu pula, aku lebih menghargai masa kini, ketika gaya pengasuhanku sudah banyak berubah. Tak ada lagi sakit kepala di pagi hari karena keengganan menghadapi “perang” dengan anak.

Apakah ini berarti aku tidak lagi menerapkan disiplin kepada anak-anak? Apakah anak-anakku sebaik malaikat yang tak melakukan kesalahan sekali pun? Oh, tentu tidak begitu.

Aku hanya mengubah caraku dalam mendidik anak-anak: bersepakat dengan mereka dalam menerapkan aturan dan tidak perlu panik menghadapi setiap “kejutan”. Setelah diingat-ingat lagi, rupanya sebelumnya aku justru sempat melupakan salah satu petuah ibuku untuk urusan pengasuhan: “Siapa bilang kebaikan anak itu di tangan orang tuanya? Jangan sampai kita sombong. Itu kan terserah Allah. Kita hanya bisa berusaha dan mendoakan.”

Satu komentar di “Mengubah Cara Pandang Pengasuhan

Tinggalkan komentar