Kelahiran Anya

Dear Anya,

Hari ini perasaan Bunda campur aduk: antusias, senang, sedih, kangen, khawatir, dan sebagainya. Perasaan yang hampir sama juga muncul persis setahun yang lalu, ketika untuk pertama kalinya Anya menghirup langsung udara di planet ini. Wow. SETAHUN. Masya Allah. Bayi Bunda sudah setahun umurnya!

Tahun lalu, sebetulnya Bunda sama sekali tak menyangka Anya memilih tanggal ini untuk keluar dari rahim Bunda. Hari perkiraan lahir (HPL) Anya menurut dokter kandungan masih sekitar 10 hari lagi. Yaa memang siih, namanya juga perkiraan. Orang-orang juga bilang biasanya perkiraan itu bisa maju atau mundur sekitar 2 minggu. Namun tetap saja, Bunda merasa Anya belum benar-benar akan lahir. Apalagi Bunda sudah sering bertanya (baca: nawar agak maksa), “Nak, gimana kalau lahirnya hari Jumat?” Bunda membayangkan kalau Anya lahir Jumat sepertinya akan lebih enak untuk Ayah dan orang lain yang menjenguk. Kan besoknya Sabtu dan Minggu, hari libur .. hehehe.

Qadarullah, ternyata ketentuan Allah lain. Ternyata Anya punya pilihan sendiri: lahir pada hari Rabu, 9 Desember 2015. Pilihan yang ternyata jauh lebih baik daripada yang Bunda bayangkan.

Tidak seperti biasanya, Rabu itu Ayah di rumah. Kantornya libur, sesuai dengan keputusan Presiden berkaitan dengan pemilihan kepala daerah yang berlangsung di beberapa tempat. Nah, itu yang orang-orang tau. Sementara yang ada di pikiran Bunda: “Anyaaa! Keren amat siih, mau lahir aja Presiden sampai turun tangan!”

 

Pagi hari, Anya di dalam rahim masih aman tentram Bunda bawa olahraga jalan-jalan keliling komplek bersama Ayah dan Mbak Indri. Meskipun sejak beberapa hari sebelumnya Bunda sudah sering merasakan perut yang mengencang, tapi Bunda menganggap itu bukan kontraksi pertanda Anya akan segera lahir. Jadi, hari itu Bunda merencanakan akan beres-beres rumah dengan Ayah dan bermain bersama Mbak Indri, mumpung mereka libur. Bunda sudah berjanji mengajak Mbak Indri menggambari perut besar Bunda yang berisi Anya di dalamnya. Mbak Indri senang sekali. Membayangkannya sudah seru sekali!

 

Menjelang waktu Dzuhur, Bunda memanggil Mbak Indri untuk menyiapkan peralatannya (cat warna-warni khusus untuk wajah). Bunda juga bersiap-siap … tidur! Hahaha. Ya kan yang mau melukis Mbak Indri, tugas Bunda cuma berbaring, menyediakan perut sebagai ganti kertas atau kanvas. Namun sesaat sebelum naik ke tempat tidur, Bunda merasa sepertinya celana Bunda basah. Bunda pun ke kamar mandi dulu. Lho, ternyata Bunda sampai harus berganti pakaian. Namun Bunda santai saja, karena beberapa hari sebelumnya juga sepertinya sempat mengalami celana yang agak basah juga dan itu tidak apa-apa menurut Pak Dokter (pada Selasa malam).

 

Keluar kamar mandi, Ayah bertanya ada apa. Bunda menjawab dengan santai. Eh .. ternyata Ayah nggak santai. “Yaudah, ayo ke rumah sakit sekarang!” Bunda melongo, masih berusaha mencerna kata-katanya. Ayah menegaskan lagi bahwa kita harus segera berangkat. Bunda masih bingung, tapi tetap yakin belum perlu ke rumah sakit. Jadi Bunda tetap mengajak Mbak Indri melanjutkan rencana semula, melukis perut. Bunda siap-siap berbaring lagi, dan … lho! Kok celana Bunda sudah basah lagi? Ternyata ada cukup banyak air ketuban yang keluar. Kali ini, Bunda sudah perlu memakai pembalut.

 

Ayah kembali mengajak kita segera berangkat ke rumah sakit, sedangkan Bunda tetap berpikir itu belum saatnya. Kasihan Mbak Indri .. belum sempat melukis perut. Lagipula Bunda belum merasakan ada kontraksi yang signifikan. Oh ya, Bunda juga belum mengganti seprai … laluuu … belum apa lagi ya? Sepertinya masih banyak, deh …

 

Namun pikiran-pikiran itu akhirnya mau tidak mau dihentikan begitu Bunda merasa cairan yang keluar dari tubuh Bunda semakin banyak dan Ayah terus konsisten memperingatkan bahwa itu situasi yang genting. Mbak Indri juga tampak sudah tidak ingin menjalankan rencananya semula, malah ikut menyemangati agar kita segera berangkat ke rumah sakit.Baiklah. Akhirnya kita semua berganti pakaian, pamit pada bapak tukang sampah yang saat itu sedang membantu memangkas pohon mangga di depan rumah, dan cusss … berangkat!

 

Sebelum ke rumah sakit, kita mampir ke rumah Eyang dulu. Mbak Indri ditinggal di sana, supaya ada temannya dan bisa bermain bebas. Kasihan kalau dibawa ke rumah sakit, mengingat Bunda sedang fokus mau melahirkan dan Ayah sibuk mendampingi.  Setelah menurunkan Mbak Indri, mobil kita langsung meluncur lagi ke rumah sakit. Di perjalanan, pakaian Bunda semakin basah … rasanya seperti mengompol tapi benar-benar tidak bisa ditahan. Lama-lama jok mobil di samping sopir, tempat kita duduk, sudah banjir oleh air ketuban.

 

Alhamdulillah, tidak sampai sejam sejak meninggalkan rumah, kita sudah sampai di rumah sakit. Padahal rumah kita di Bekasi dan rumah sakit yang dituju ada di Jakarta Pusat. Biasanya lama perjalanan pada hari kerja sih bisa mencapai 2 jam. Luar biasa! Siapa tadi yang memilih lahir pada hari libur nasional karena Pilkada? Cerdas!

 

Tiba di rumah sakit, kita langsung disambut satpam yang siap membantu dan membawakan kursi roda begitu melihat Bunda yang berperut super besar, baju basah kuyub dan sandal becek oleh air ketuban. Sebenarnya Bunda merasa masih sanggup berjalan, tapi mungkin kelihatannya agak horor ya, jalan dengan air ketuban terus-menerus mengalir? Jadi ya sudahlah, mari kita nurut saja naik kursi roda.

 

Di atas kursi roda, Bunda langsung didorong menuju kamar bersalin. Sudah tidak pakai mampir ke ruang observasi dulu. Hoo … ternyata ini memang kategorinya sudah darurat. Setelah diberi tahu suster, Bunda baru paham bahwa itu namanya sudah pecah ketuban, bukan lagi ketuban rembes … hehehe.

 

Sekitar jam 2 siang, bidan yang bertugas saat itu melakukan pengecekan dalam untuk mengukur pembukaan jalan lahir. Dari skala 1 sampai 10, ternyata saat itu Bunda baru sampai pembukaan 2, padahal rasa mulas sudah semakin sering. Berdasarkan hasil CTG yang sudah dilakukan sebelumnya, dokter menyarankan induksi (via telepon ke suster). Huaaah … Bunda kalut mendengarnya. Niatnya kan ingin melahirkan sealami mungkin. Kalau sampai pakai induksi, apa yang terjadi nanti? Bunda langsung teringat cerita-cerita yang pernah dibaca dan didengar bahwa seringkali walau sudah pakai induksi, pembukaan tetap tidak bertambah dan akhirnya tetap harus operasi. Apa salahnya operasi? Ya tidak ada salahnya siih, kalau kepepet … tapi ingat, bagi Bunda, operasi besar itu menakutkan … ya ruang operasinya, ya biusnya, ya risiko pendarahan yang lebih besar, dan lain sebagainya.

 

Selama beberapa jam seiring dengan mulas yang makin menjadi, Bunda sempat gigih menolak induksi. Bu bidan pun berkali-kali menegaskan bahwa pihak RS tidak akan bertanggung jawab kalau sampai terjadi apa-apa. Mendengar itu sambil mulas terus-terusan, hampir saja Bunda mengusirnya. Untung ada Ayah yang masih bisa berpikir jernih dan mengambil keputusan tegas: rela tidak rela, induksi harus dilakukan mengingat jarak waktu ketuban pecah hingga bayi lahir maksimal adalah 8 jam. Bagaimana pun, bayi lahir dengan selamat adalah harapan Bunda dan semua orang.

 

Jam 4 sore, induksi dimulai. Rasanya … wow! Mulas yang sebelumnya masih berjeda sedikit tiba-tiba menjadi nyaris tidak berjeda sama sekali. Bunda sempat merengek malu karena mengira Bunda pup terus-terusan tidak tertahankan. Eh .. ternyata itu bukan pup, melainkan darah yang ngocoooor. Rasanya seolah maut sudah dekat akan menjemput, tapi kok belum sampai juga (baca: kayak mau mati tapi nggak mati-mati) ya?

 

Dua jam yang seperti 2 abad kemudian, saat Maghrib, Bunda seperti melihat malaikat maut datang menghampiri. Ternyata bukan. Ternyata itu suster melakukan cek dalam lagi. Namun cepat sekali, tiba-tiba malaikat eh suster-suster lain susul-menyusul datang dan di antaranya ada yang mendorong boks bayi masuk ke dalam ruangan.

 

Setengah sadar Bunda bertanya, “udah pembukaan berapa?”

 

Jawaban suster terdengar seperti nyanyian (karena bernada dan melengking), “Sebentar lagiii, kita ketemu dedek bayi! Sudah pembukaan 9, Bu!”

 

Oh! Betapa girang bukan kepalang Bunda mendengarnya. Ternyata Bunda nggak jadi meninggal hari itu, hehe. Alhamdulillaaah … terima kasih ya Alloh, atas kesempatan kedua yang Engkau berikan!

 

Tak sampai setengah jam, jalan lahir terbuka sempurna dan Bunda dipersilakan mengedan oleh Pak Dokter yang baik. Akhirnya! Izin itu looh yang ditunggu-tunggu sejak tadi! Bunda pun langsung medapat tenaga dan semangat ala 17 Agustus 1945.

 

Bismillah … satu … dua! Atas izin Allah, hanya dengan bantuan dua kali dorongan dari Bunda, seorang bayi perempuan dengan berat 3,57 kg dan panjang 48 cm berhasil meluncur keluar sendiri dengan mulus dari rahim Bunda. Luar biasa. Subhanallah, Alhamdulillah, Allahuakbar.

 

Dear Anya, itulah cerita kelahiranmu yang baru sempat Bunda tuliskan sekarang, menjadi kado ulang tahun pertamamu. Maafkan Bunda yang dulu tidak langsung sanggup menuangkan kisah istimewa ini, ya. Maklum, jangankan laptop, memegang HP pun waktu itu Bunda hampir tidak sempat …. hingga berbulan-bulan kemudian, demi berbulan madu denganmu 🙂

 

Hiranya Ilsanara Muttaqin … sekali lagi, selamat datang, sayang. Engkaulah keajaiban yang Bunda dan Ayah nanti-nantikan selama 8 tahun, yang kembali menyadarkan kami akan kebesaran Allah Swt. Engkaulah anak kandung pertama Bunda dan Ayah yang menyebabkan putri pertama kami terlahir kembali menjadi seorang kakak. Engkaulah yang membuat Bunda dan Ayah semakin giat belajar menjadi pribadi yang lebih baik dan orang tua yang semakin bijaksana. Jadilah  seperti doa kami yang tersemat dalam namamu … sosok seperti emas yang berkepribadian kuat, mulia dan bahagia dunia akhirat, selalu dalam lindungan Allah Swt untuk beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Aamiin YRA.

 

 

 

9 Desember 2016

Bunda (+Ayah)

11 komentar di “Kelahiran Anya

  1. Mbak Heidy…! Seperti biasa selalu suka dengan gaya bercerita Mbak Heidy *menjura*
    Aku langsung terasa seperti menyaksikan proses kelahiran itu sendiri. Apalagi di bagian “malaikat maut”-nya sukses bikin ngakak di tengah-tengah ketegangan x)))
    Untuk Anya tersayang, selamat bersyukur di usia yang pertama. Maafkan Tante Citta yang belum sempat bertemu dan bermain denganmu *hiks, tante macam apa*
    Untuk Mbak Heidy, Mas Hamdan, dan Indri, selamat menjadi tauladan yang baik untuk Anya.
    Salam rindu untuk semua ❤

    Suka

    • Citta! Terima kasih banyak … ahaha syukurlah kalau masih enak dibaca, karena nulisnya terburu-buru dan banyak yang dipotong sebenarnya, hihi. Aamiin untuk doa-doanya, terima kasih .. peluk cium jauh dari Anya dan Indri untuk Tante Citta yang masih ditunggu-tunggu kedatangannya!

      Suka

  2. Hallo Heidy,
    Percaya nggak sih kamu kalo saya menangis begitu membaca updatean kamu.
    Bukan hanya karena nama bayimu yang sama seperti nama ku, tapi juga karena aku bahagia kamu.. blog kamu.. yang menginspirasi aku.. yang membantu aku..
    owh God, kita nggak pernah ketemu, bahkan akupun mampir di blog kamu hanya untuk mencuri curi ilmu dari pengalaman kamu, mencuri harapan dan doa dari kehidupan kamu untuk aku letakan di hidupku.
    Aku sudah buka,baca,belajar, bahkan menjadikan tulisan kamu ini seagai panduan selama 2th.
    Heidy.. you r wonderful.
    Doakan saya mengalami keajaiban yang sama ya…
    I wanna a have a baby too

    Disukai oleh 1 orang

    • OMG … hallo Anyaaaa ….
      Maafkan akuuu yang sudah terlalu lama menelantarkan blog ini sehingga komentar dan apresiasi yang berharga ini terlewat begitu sajaa … hiks.
      Salam kenal, ya, Anya yang bukan anakku … hehe. Terima kasih banyak sudah membaca tulisanku dan meninggalkan jejak di sini. Kudoakan keajaiban yang kamu harapkan juga … tetap semangat! Sekali lagi, terima kasih banyak. Semoga kelak ketika putriku sudah mengerti aku bisa bercerita tentangmu juga 🙂

      Suka

  3. Ping balik: Bercerita tentang Kehadiran Anak – BERBAGI HIDUP

Tinggalkan komentar