Pagi ini sarapanku ditemani seorang teman di kantor, calon ayah, yang bertanya tentang tips-tips menyongsong hari-hari menjadi ayah baru. Yah, tentu saja mungkin pertanyaan itu lebih tepat jika dijawab suamiku. Namun berhubung sepertinya mereka belum saling kenal, kuceritakan saja pengalamanku ketika baru melahirkan sebagai gantinya.
Aku pun berceloteh panjang lebar hingga kira-kira setengah jam dengan penuh semangat, disertai banyak gelak tawa dan disela beberapa kali lamunan. Ternyata aku sedang bernostalgia mengenang suatu masa perjuangan yang tidak ringan. Ajaibnya, kini tak tersisa secuil pun amarah dan kesedihan saat mengingatnya. Masih ada beberapa tetes air mata, tapi bukan karena sedih karena keluarnya bersamaan dengan gelak tawa. Wuah. Aku sudah bisa menertawakan diriku sendiri! Masya Allah, alhamdulillaaah.
Hm. Mungkin salah satu pelajaran hidup yang harus kusampaikan kepada anak-anakku adalah mencatat dan merenungi momen-momen ketika aku sudah dapat menertawakan diri sendiri. Itulah penanda bahwa aku telah menerjang badai itu (walaupun hampir pasti akan berhadapan dengan badai lainnya karena samudera kehidupan mungkin masih luas), bahwa kini aku dalam keadaan selamat dan sehat, dan yang terpenting: bahwa aku telah memaafkan diri sendiri pada saat itu.
Kenapa memaafkan diri sendiri menjadi penting? Karena oh karena …. entah setinggi gunung apa dosaku karena perilaku yang buruk pada masa itu. Terutama dalam hal menjadi pemarah. Korban utamanya: anak sulungku. L
Tentu saja aku tidak pernah berniat menjadi pemarah, apalagi sampai membuat anak menjadi korbannya. Kurasa semua ibu atau orang tua pun demikian. Dengan catatan: mereka waras. Jadi kenapa dong, tetap marah-marah? Ya gampang sekali menjawabnya: karena aku tidak waras. Atau tepatnya, aku dan kebanyakan orang tua di dunia ini biasanya pernah tidak waras.
Apalagi seorang perempuan yang baru bersalin, merasakan kontraksi nonstop karena induksi, salah posisi saat melahirkan spontan yang mengakibatkan panjangnya robekan jalan lahir bayi, salah mengonsumsi obat antibiotik dan pereda nyeri (padahal sepertinya sama sekali tidak mengurangi sakit) hingga timbul reaksi alergi berupa gatal-gatal luar biasa di sekujur badan selama berbulan-bulan, dan berbayi alergi juga yang baru-ketahuan-setahun-kemudian-tetapi-sepanjang-tahun-memiliki-beragam-masalah-kesehatan-yang-tidak-sedikit. Nah. Berapa lama kau menahan napas membaca satu kalimatku yang tidak pendek tadi? Kalau masih berpikir bahwa seseorang tidak mungkin menjadi tidak waras hanya karena masalah itu, silakan coba sendiri salah satunyaaa saja, tidak perlu semua. Sambil menahan napas, ya.
Kurasa tidak terlalu penting menceritakan secara terperinci segala bentuk ketidakwarasanku pada masa-masa-berbayi-baru itu. Meskipun sudah berlalu, aku tidak ingin tulisanku ini dipenuhi aura negatif karena aku sudah memutuskan untuk hanya berbagi tulisan yang bernilai positif saja (jadi kalau pun menceritakan masalah, sudah ada solusi atau ada happy ending-nya). Selain itu, jumlah kejadiannya terlalu banyak. Oke, mungkin kalau satu-dua (atau tiga) bolehlah, ya:
- Selama beberapa bulan, aku melarang anak sulungku makan di dekatku dan adik bayinya karena takut bunyi denting sendok dan piringnya bisa membangunkan si bayi yang sudah kutidurkan dengan susah payah (padahal bayiku justru lebih lelap tidurnya kalau suasana di sekitarnya ramai).
- Aku mengusir si sulung jauh-jauh dari kasur saat aku sedang mengganti popok adiknya karena aku selalu membawa gayung berisi air (padahal dia sudah bukan balita, bisa mengontrol gerakan dengan baik, bahkan bisa mengepel lantai dan mencuci seprei kalau-kalau diperlukan).
- Aku marah karena kesalahan-kesalahan kecil anakku dan bertambah marah lagi kalau dia tidak memahami kemarahanku (padahal aku memang belum pernah menjelaskannya).
Nah. Sungguh sangat logis, bukan? Ha-ha.
Karena tidak mau meyakini bahwa itu bagian dari karakterku yang bisa dilestarikan selamanya, aku menganggap itu semua penyakit. Alhamdulillah, penyakit itu akhirnya sembuh. Obatnya adalah waktu. Yang menyembuhkan adalah Allah Swt., melalui pasiennya sendiri (aku), sang dokter (anak sulungku), serta tenaga-tenaga medis lainnya yang mendukung (suami, anak bayi, dan anggota keluarga lainnya).
Penyembuhan itu berawal dari beberapa terapi kejut dari sang ‘dokter’: tiba-tiba aku tersadar bahwa anak gadisku semakin menjauh dariku. Banyak ketidakjujuran yang ternyata sumbernya adalah ketakutannya kepadaku. Dokter manapun tidak akan bisa mengobati pasiennya jika pasiennya sendiri tidak mau (berusaha) sembuh. Maka, aku pun mulai mengerahkan segala upaya untuk memperbaiki hubungan dengan anak gadisku.
Salah satu dukungan penting yang kuterima berasal dari si adik bayi. Yep … bayi yang sepertinya belum bisa ngapa-ngapain itu. Dengan caranya sendiri, seorang manusia mungil yang masih dalam kondisi fitrahnya itu mengajarkan kepadaku hal terpenting tentang manusia: bahwa setiap manusia pasti memiliki kehendaknya masing-masing. Sederhana, ya? Bayangkan. Hal semudah itu tidak pernah kusadari sama sekali sebelum aku melahirkan bayiku sendiri.
Qadarullah, aku dikaruniai anak angkat sebelum memiliki anak kandung. Setelah melalui perjuangan panjang termasuk prosedur adopsi anak yang luamaaaa bin ribet dan pengalaman mengikuti segala macam pelatihan parenting, tahun pertamaku menjadi ibu dipenuhi dengan rasa kepercayaan diri yang selangit (“Katanya tidak ada sekolah menjadi orang tua? Ho-ho. Kami sih beda doong … bersekolah dulu sebelum punya anak.”). Sekarang aku mengerti kenapa setan dilaknat ‘hanya’ karena keangkuhannya. Betapa ternyata sombong adalah dosa mahabesar. Jadi, silakan ibu-ibu beranak satu yang merasa anaknya lebih hebat daripada yang lain, semoga bisa segera sadar dan menoyor kepala sendiri, ya. Setidaknya sebelum dilaknat ibu-ibu lain 😀
Kalau diingat-ingat lagi, betapa banyak kemudahan yang kuperoleh saat pertama kali menjadi ibu dulu. Dapet anak langsung gede. Sudah bisa membersihkan najisnya sendiri, mengendarai sepeda roda dua, bahkan memanjat pohon. Tidak perlu waktu lama untuk bisa tidur sendiri di kamarnya. Cepat menangkap pelajaran. Pokoknya tidak ada masalah sama sekali dalam berbagai aspek tumbuh kembang: motorik kasar, halus, kognitif sosial.
Syukurlah, Allah Maha Baik kepadaku. Keangkuhan itu runtuh dalam sekali libas oleh sosok mungil yang keluar dari rahimku sendiri: bayiku yang kalau menangis ngamuk bisa terdengar sampai 3 rumah tetangga sebelah, yang sampai 8 bulan tak bisa ditenangkan siapapun selain emak bapaknya kalau rewel dan juaraaaaang sekali tersenyum, yang tak mau menyusu banyak padahal gentongnya bengkak sepenuh-penuhnya hingga isinya harus didonorkan, yang bisa muntah berkali-kali karena entah apa (sampai sekarang masih misteri), yang belum bisa merangkak sampai berusia setahun dan belum dapat berbicara sampai sekarang (17 bulan) itu. Dari si bayi, aku baru paham bahwa benar, tidak ada sekolah untuk orang tua. Segala pelatihan parenting itu tidak akan ada artinya jika kita gagal pada langkah pertama menjadi orang tua: melihat anak bukan sebagai prajurit atau robot yang idealnya tunduk patuh dan taat pada orang tuanya, melainkan berupaya memahaminya sebagai manusia seutuhnya, yang diciptakan untuk bebas memiliki kehendaknya sendiri.
Ketika hamil, aku sering bersyukur atas keberuntungan Anya karena ia sudah mempunyai kakak begitu lahir. Aku juga bersyukur dan pernah mengatakan bahwa Indri, anak sulungku, mempersiapkan aku dan Hamdan untuk menjadi orang tua bagi anak kandung kami. Ternyata rasa syukur itu belum lengkap. Ini pelengkapnya: betapa beruntungnya Indri karena akhirnya aku melahirkan Anya, karena aku dapat memahami bagaimana naluri alamiah seorang ibu hingga aku pun (berusaha) menyempurnakan kasih sayangku kepadanya.
Terakhir, mohon izinkan aku menyampaikan hal ini. Tidak semua orang di dunia ini ditakdirkan menjadi orang tua dari 2 anak (atau lebih). Tidak banyak orang yang melakukan adopsi anak. Belum tentu juga setiap orang yang mengangkat anak kemudian juga mempunyai anak kandung. Bahkan, tidak sedikit pula pasangan yang belum/tidak dikaruniai anak, baik itu karena pilihan sendiri maupun karena di luar kuasanya. Sama seperti setiap anak itu berbeda, setiap orang tua (atau calon orang tua, atau pasangan suami istri) pun berbeda. Perjalanan setiap orang pasti berbeda. Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menggurui. Tidak juga mengatakan bahwa setiap orang harus mencicipi pengalaman yang sama persis denganku (lah, begimane caranye? Emang gue yang bilang “Kun Fayakun”?)
Mohon maaf jika ada kata-kataku yang kurang berkenan di hati siapa pun yang membaca cerita ini. Aku hanya ingin berbagi caraku ‘membaca hikmah’ pengalaman hidup kami. Aku yakin, tidak semua orang tua angkat sebodoh diriku, sampai-sampai harus berpikir dan belajar keras untuk menyayangi anaknya secara alamiah, misalnya. Atau, bahkan bisa jadi orang-orang terbaik di muka bumi ini ditakdirkan untuk memaksimalkan segala potensi dan memenuhi tujuan penciptaannya dengan cara tidak mempunyai anak sama sekali. Siapa yang tahu? Wallahualam.