Saat Seorang Suami Sakit

Kemarin sebelum memulai kuliah, dosenku menyampaikan informasi tentang alasan ketidakhadiran salah seorang peserta kuliah yang tidak sejurusan denganku. Ternyata suaminya terkena serangan jantung, untuk yang kedua kalinya. “Terakhir masuk ICU, sudah keluar, eh…serangan lagi,” kata Bu dosen meneruskan cerita yang diperolehnya.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Perasaanku ikut tak keruan mendengar cerita itu. Tak terbayang bagaimana rasanya jika aku yang berada di posisi sang istri. Tentu lebih dari sedih. Kalut, kurasa. Ah, sudahlah, aku sungguh tak sanggup meneruskan membayangkannya.

Seorang suami. Sebelum ijab kabul dilakukan, laki-laki itu tidak termasuk anggota keluarga. Namun setelahnya, tidak saja ia masuk dalam lingkaran keluarga, ia bahkan menjadi yang terdekat, yang –seharusnya– nyaris tak terpisahkan denganmu. Bahkan jika yang dijalani adalah rumahtangga jarak jauh sepertiku. Seandainya terpisah jarak hingga setengah keliling bumi pun, seorang suami tetap yang terdekat, orang nomor satu bagi istrinya.

Aku jadi teringat saat Hamdan divonis terserang flu AH1N1 dan ‘dipenjara’ tanpa boleh menerima seorang tamu pun di sebuah kamar isolasi rumah sakit khusus penyakit infeksi pada tahun 2009 dulu. Biarpun itu samasekali bukan penyakit gawat (baca: penyakit ecek-ecek yang dibesar-besarkan oleh media), rasanya duniaku terguncang hebat. Betapapun jauhnya jarak geografis yang pernah memisahkan raga kami, rasanya ternyata masih jauh lebih enak daripada ‘pemisahan’ saat itu. Padahal ia bukannya tergeletak di kamar ICU dalam keadaan tak sadar. Sama sekali tak ada apa-apanya dibandingkan apa yang terjadi pada suami teman kuliahku saat ini!

Namun kurasa karena pengalaman itulah, aku jadi selalu ikut sedih sekali setiap kali mendengar berita semacam “suami si A sakit!”. Meski mungkin tak tahu persis bagaimana perasaan sang istri, aku dapat membayangkan betapa beratnya ujian itu. Cobaan yang mungkin tak cukup kuat kuhadapi jika terjadi padaku sendiri.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Dari surat Al Baqarah ayat 156, aku memahami bahwa kata-kata yang artinya “sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jualah kami kembali” itu adalah ucapan terbaik saat seseorang ditimpa suatu musibah. Musibah yang dimaksud di sini tidak hanya meninggal dunianya seseorang. Kesehatan kita. Kecerdasan kita. Kekayaan kita. Semua adalah milik-Nya, titipan-Nya untuk kita. Dan ketika semua atau salah satu di antaranya diambil kembali, apa yang dapat kita lakukan?

Yaa Rabb, janganlah berikan kami ujian yang tak sanggup kami menanggungnya. Karuniailah kekuatan, kesabaran, ketabahan, ketegaran bersamaan dengan ujian yang Engkau hadapkan pada saudara kami. Jadikanlah sakit sang suami sebagai penghapus dosa-dosa mereka, penambah keimanan dan ketaqwaan mereka kepadaMu serta perekat cinta, kasih sayang dan kemesraan di antara mereka. Berikanlah kesembuhan dan anugerahkanlah nikmat yang Engkau ridhoi, hilangkanlah segala penyakit dan kesusahan mereka. Aamiin…

Salam,

Heidy

Tinggalkan komentar