Melangkah untuk Hidup

Jika engkau temanku, apa reaksimu jika kuberitahu bahwa aku dan suamiku kini sama-sama tidak bekerja dan sama-sama menyandang status mahasiswa?

Sebagian teman kami merasa kaget, bingung, tak habis pikir atau bahkan tak percaya sama sekali sementara sebagian lainnya justru merasa semangat dan turut bergembira ketika aku bercerita bahwa Hamdan telah mengundurkan diri dari pekerjaannya sejak dua bulan yang lalu. Pekerjaannya selama tujuh tahun terakhir. Pekerjaan pertamanya sejak menjadi sarjana. Pekerjaan yang selama ini menjadi jalan utamanya untuk mencari nafkah dan berbagi rezeki.

Ketika aku  bercerita bahwa status mahasiswa kini menggantikan statusnya sebagai karyawan tetap di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang migas selama ini, ketidakpercayaan sebagian temanku terungkap dari pertanyaan mereka: “Serius, resign? Bukan izin atau cuti, gitu?” Dan kemudian semakin tak percaya ketika mendengar jawabanku. Lho…nanya apa nanya, nih? Apa seharusnya tak kujawab saja? Hihihi. Iya betul, sekali lagi serius, dua rius, tiga ribu rius kalau perlu: suamiku sudah mengundurkan diri dari pekerjaannya itu.

Lalu dari percakapan-percakapan yang berlanjut, aku pun tahu apa yang menjadi pandangan, pemikiran atau pertanyaan di benak siapapun yang kebingungan akan langkah kami ini. Sebagian bertanya-tanya tentang biaya hidup. Sebagian lagi menyatakan tak habis pikir akan keputusan kami untuk meninggalkan si ladang tempat bekerja yang tampak begitu subur.

Sejak menikah, tak pernah sekali pun terencana dalam pikiranku untuk hanya menggantungkan biaya hidup keluarga pada gaji bulanan dari pekerjaanku maupun suamiku. Menabung dan berinvestasi harus menjadi tujuan utama setelah berzakat dan bersedekah dari setiap pendapatan kami. Selancar-lancarnya dan sebesar-besarnya uang mengalir dari gaji-gaji itu, siapa yang bisa menjamin pekerjaan itu tetap ada sampai kapan pun (meski seandainya kami sendiri tidak memutuskan untuk berhenti)? Kami berpikir bahwa harus ada jenis-jenis penghasilan pasif, dan sebisanya suatu saat nanti itulah yang menjadi penghasilan utama. Maka kami pun segera membangun ‘pos’ sebanyak mungkin untuk disinggahi gaji-gaji bulanan itu. Jenis investasi yang kami pilih sangat beragam, mulai dari rumah, emas batangan, reksadana, saham pada beberapa bisnis kecil, hingga unit link dan tabungan rencana (dua yang terakhir kusebutkan sebetulnya tak lagi dianjurkan oleh para perencana keuangan, tapi apa boleh buat…kami sudah terlanjur memilikinya sejak dulu dan toh itu tidak menjadi prioritas). Kini, sebagian di antaranya telah dapat dimanfaatkan menjadi sumber biaya hidup kami.

Namun memang, sebesar-besarnya penghasilan bulanan kami selama ini, atau sepandai-pandainya kami  berhemat, menabung dan berinvestasi, ‘pensiun bekerja’ di usia kami masing-masing sekarang ini tetap belum dapat tergolong ke dalam kategori keputusan yang baik dan benar. Semua hasil tabungan dan investasi serta pendapatan pasif itu tidak direncanakan untuk menjadi satu-satunya sumber biaya hidup kami di usia semuda ini. Jadi, kami hanya mengambil sebagian di antaranya dan tidak memutuskan untuk pensiun. Yang menjadi keputusan kami adalah berhenti bekerja sementara untuk kurun waktu paling lama dua tahun, insyaAllah..aamiin.

Berhenti bekerja sementara dan kembali ke bangku universitas. Mengapa dan mengapa harus sekarang juga? Padahal, ketika lulus menjadi sarjana tujuh tahun yang lalu, sama sekali tak terbayang olehku akan melanjutkan sekolah lagi. Dan begitu pula dengan Hamdan. Ternyata kami sama-sama sudah merasakan bosannya sekolah waktu itu. Siapa sangka bahwa rasa bosan itu pun datang juga ketika bekerja? Hahaha. Yah, rasa bosan mungkin masih bisa disiasati. Namun bagaimana dengan rasa bosan yang kemudian berkembang menjadi malas dan tak bergairah? Saat itulah, aku merasakan adanya tanda bahaya. Sebuah tanda yang harus diwaspadai. Kali ini, tolong jangan buru-buru menganggapku berlebihan.

Apa yang menjadi tujuan hidup kita? Apa yang terpenting dalam hidup ini? Jika jawabanmu adalah uang, maka maaf, berarti kita memang berbeda pandangan. Kami tak memungkiri bahwa uang itu penting dan sangat kita butuhkan untuk dapat hidup sekarang ini. Namun, kami pun sadar bahwa bukan itu yang terpenting. Mohon maafkan kami jika ini menyinggung perasaan siapapun yang sedang mengalami kesulitan dalam keuangan. Dengan membayangkannya, aku pun mengerti bahwa kesulitan itu pasti sangat menyiksa. Nah, sekarang tolong bayangkanlah keadaan sebaliknya: hidup bergelimang harta tetapi tidak membawa berkah. Semakin banyak memperoleh uang, semakin terjerat dalam maksiat dan menemukan bahwa semua harta itu tidak berhasil mendatangkan kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan dalam hidup. Bukankah ini pun sama menyedihkannya?

Sesungguhnya, aku sudah lama merasa khawatir. Sementara aku ‘murtad’ dari bidang pendidikan terakhirku lalu berbahagia menikmati tiap pekerjaan yang kupilih sesuka hati, Hamdan hampir tidak pernah merasakan gairah itu saat bekerja. Ia murni bekerja untuk mencari sesuap nasi (dan beberapa gram emas…hahaha). Dari belakang layar, ia mendukungku yang memilih pekerjaan tanpa pertimbangan besaran gaji. Karena itu, kukatakan keliru jika orang menyebut pilihanku mengabaikan latar belakang pendidikanku dan menjadi seorang guru adalah sebuah pengorbanan dariku. Sungguh, pengorbanan yang sebenarnya datang dari suamiku. Sekilas, orang lain mungkin hanya mengetahui status Hamdan sebagai pekerja bergaji dollar di perusahaan migas asing. Hanya sedikit yang paham bahwa dengan itu, ia tidak berfoya-foya. Ia berbagi rezeki pada sesama dan menjamin kesejahteraan istrinya yang menjadi guru. Lalu pada masa liburnya setiap bulan, ia meridhoiku yang menghabiskan sebagian hari untuk mengajar sehingga tidak bisa selalu berada di rumah dan tidak bisa menemaninya sepanjang waktu. Aku tidak berperan sebagai ibu rumah tangga penuh waktu, pun tidak memilih pekerjaan yang menyumbangkan banyak pemasukan untuk keuangan rumah tangga. Atas jasa siapa hal itu jika bukan suamiku sendiri? Maka bukankah wajar jika aku  pun menjadi orang nomor satu yang mendukung keinginan suamiku untuk segera berhenti dari pekerjaannya demi menemukan kembali gairah hidupnya? Sebelum kegelisahannya semakin mengendap, sebelum kedamaian dalam hatinya menjauh, sebelum ketidakbahagiaannya menyebar….sebelum segalanya terlambat: mati selagi hidup.

Jadi, apa tujuan hidupmu? Tujuan kami adalah hidup. Hidup untuk hidup. Untuk hidup yang berarti tidak ‘mati’ padahal masih bernyawa: yang tidak bergairah saat melangkah, tidak bersemangat saat bicara, tidak bersinar mata saat memandang dunia. Untuk hidup yang seperti itu, kami rela kau sebut nekat. Ah, tapi tentu saja kami tak sependapat dalam hal itu. Kami bukan hilang akal atau putus harap hingga cocok dengan kata nekat itu. Ini adalah langkah kecil kami yang justru mengandung sejuta harapan dan berdasar pada satu keyakinan mendalam:  hanya Allah SWT, yang kepunyaanNya-lah segala yang ada di langit dan bumi, yang Maha Memberikan kesejahteraan, yang Maha Menjamin keselamatan dan keamanan, yang Maha Melindungi, yang Maha Meluaskan rezeki, yang Memberikan kehidupan. Bukan perusahaan pemberi kerja manapun. Bismillahirrahmaanirrahiim.

Salam semangat!

Heidy (+ Hamdan)