Macam-Macam Tipe “Pengasuhan Helikopter”

Istilah pengasuhan helikopter atau helicopter parenting sebenarnya sudah sangat sering kudengar dari seminar-seminar parenting yang kuikuti bahkan sebelum menjadi orang tua. Yang kupahami selama ini tentang pengertian helicopter parenting hanyalah sebatas itu merupakan tipe pengasuhan orang tua yang berupa pengawasan terlalu ketat atas anaknya. Kemudian, jika ingin dibandingkan, tipe pengasuhan seperti ini tepat berkebalikan dengan tipe pengasuhan yang terlalu membebaskan anaknya. Namun, rupanya dari buku Simplicity Parenting karya Kim John Payne (yang kusinggung dalam tulisan sebelumnya di blog ini), ada pemahaman lebih luas yang kudapatkan.

Rupanya, yang termasuk dalam kategori “helicopter parenting” itu bukan hanya pengasuhan gaya militer dari orang tua yang sangat keras dalam mengawasi anak-anaknya. Menurut Payne, pemahaman tentang konsep helicopter parenting terkait erat dengan konsep base camp, yaitu peran orang tua yang mampu memberi rasa aman dan membangun kepercayaan penuh dalam hubungan dengan anaknya. Anak-anak yang merasa memiliki orang tuanya sebagai “base camp” yang aman dan nyaman akan makin percaya diri (seiring dengan pertambahan usianya) dalam petualangan hidupnya mengeksplorasi dunia ini.

Sesuai namanya, orang tua yang sukses berperan sebagai base camp berarti percaya sepenuhnya pada anak yang “terbang” meninggalkannya sesaat (untuk bertualang) dan tidak bergerak ke mana-mana, setia menunggu dan selalu hadir ketika sang anak kembali “mendarat”. Konsep yang sebaliknya adalah ketika kepercayaan gagal terbentuk dalam hubungan orang tua dan anak (orang tua tidak percaya/yakin pada anaknya dan begitu pula sebaliknya). Alih-alih menjadi base camp yang aman, orang tua ini ibarat “helikopter yang ikut terbang bersama sang anak”. Inilah yang penjelasan Payne tentang helicopter parenting. Selanjutnya, Payne menyebutkan beberapa macam tipe orang tua yang melakukan gaya helicopter parenting, yaitu sportcaster parents, corporate parents, little buddy parents, dan clown parents.

Tipe sportcaster parents adalah tipe orang tua yang hampir setiap saat membicarakan atau mengomentari apa pun yang dilakukan anak-anak mereka. Apa pun berarti mencakup apa saja yang sedang mereka sentuh, pakai, atau bahkan mereka pikirkan! Payne mengatakan seolah-olah mereka “menenggelamkan anak-anaknya dalam kata-kata”.

Tipe corporate parents adalah tipe orang tua yang seolah-olah memakai cara pandang perusahaan dalam melihat anak-anak mereka. Anak-anak dianggap sebagai benih-benih yang perlu dimaksimalkan pertumbuhannya sedini mungkin hingga nanti pun akan memberikan “hasil panen” yang maksimal pula. Menuju saatnya panen nanti, kehidupan sehari-hari mereka pun bagaikan “rapat-rapat persiapan” yang terus membuat anak berusaha antusias terhadap “kemasan” atau “profil” diri mereka dan kelebihannya dibandingkan dengan anak lain.

Tipe little buddy parents adalah tipe orang tua yang selalu memandang anak-anak mereka sedini mungkin sebagai sahabat terdekat yang pantas menjadi teman berbagi berbagai hal, termasuk segala pikiran dan kecemasan mereka. Mereka tidak melihat adanya batas atau perbedaan antara dunia orang dewasa dengan dunia anak-anak mereka. Mereka mengajak anak terlibat dalam segala keputusan orang dewasa dan menjadikan anak-anak mereka dewasa sebelum wakunya.

Tipe clown parents adalah tipe orang tua yang meyakini bahwa tugas mereka sebagai orang tua adalah menghibur, menyenangkan, atau memuaskan anak-anaknya sepanjang waktu, entah sampai kapan. Ada cinta yang besar di balik aksi orang tua tipe ini, tetapi jelas ada kelelahan. Tipe pengasuhan ini tidak hanya akan membuat sang orang tua merasa tidak pernah cukup baik berusaha, tetapi juga dapat menimbulkan kekecewaan pada anak-anak yang telah terbiasa mengharapkan hiburan atau kesenangan setiap harinya.

Dapat terlihat bahwa keempat macam tipe orang tua di atas memiliki gaya pengasuhan yang sangat berbeda. Meskipun demikian, ternyata semua gaya pengasuhan ini masih termasuk ke dalam kategori helicopter parenting, yaitu ketika orang tua tidak mengambil peran sebagai base camp yang mampu sepenuhnya memberi kepercayaan dan rasa aman pada anak.

Menyederhanakan Pengasuhan

Sebelum menikah, salah satu hal yang paling membuatku khawatir adalah persoalan mengasuh dan mendidik anak. Jika dikaruniai anak, apakah kami dapat menjadi orang tua yang amanah? Akankah kami mampu mengasuh dan mendidik mereka dengan baik?

Bagaimana tepatnya pengasuhan dan pendidikan yang terbaik untuk anak? Apa saja yang harus disiapkan dan dilakukan? Jika menggunakan ukuran, seberapa besar dan banyak usaha yang harus dikeluarkan untuk dapat disebut cukup?

Rupanya, kegelisahan itu tidak berhenti hingga saat itu saja. Setelah akhirnya dianugerahi anak, tak jarang aku merasakan kekhawatiran dalam berbagai hal. Ada berbagai kecemasan, mulai dari asupan bayi yang baru lahir hingga rupa-rupa kebutuhan anak remaja, apakah yang kami berikan sudah cukup atau belum.

Derasnya arus informasi pada zaman ini turut “berperan” dalam menambah daftar panjang kekhawatiran. Media sosial, misalnya, yang sering kali menyebabkan ibu-ibu muda mengalami gejala fear of missing out (FOMO). Kurasa wajar, misalnya, setelah melihat anak lain yang memiliki beragam mainan atau mengikuti berbagai kursus, seorang ibu menginginkan hal yang sama untuk anaknya. Akhirnya, umumnya anak saat ini memiliki terlalu banyak barang, jadwal kegiatan, dan informasi. Tidak banyak orang tua yang sadar bahwa pilihan yang terlalu banyak ini justru dapat menyebabkan gangguan perilaku pada anak, termasuk aku.

Bagaimana solusinya? Kim John Payne, seorang konsultan pendidikan yang menulis buku Simplicity Parenting memberikan panduan “menyederhanakan pengasuhan”. Menurutnya, ada beberapa hal besar yang perlu disederhanakan, yaitu lingkungan rumah, kegiatan, dan informasi.

Hal pertama yang disarankan dalam menyederhanakan pengasuhan adalah lingkungan rumah karena ini merupakan hal paling konkret, mudah diukur dan terlihat perubahannya. Yang termasuk di dalamnya adalah mengurangi jumlah mainan, buku, atau berbagai jenis barang lainnya di dalam rumah. Lampu dan bunyi-bunyian pun termasuk di dalamnya, untuk mencegah stimulasi indra yang berlebihan.

Langkah berikutnya adalah menyederhanakan ritme dan rutinitas serta memasukkan waktu istirahat di dalam jadwal yang padat. Banyak sekali kegiatan beruntun tanpa istirahat jelas tidak sejalan dengan prinsip keseimbangan hidup. Sebagaimana hari-hari yang teratur melalui siang dan malam secara bergantian, kegiatan harian pun perlu diatur sedemikian rupa agar kesehatan terjaga. Memiliki jadwal kegiatan harian yang padat tanpa istirahat yang cukup akan sangat menganggu kesehatan fisik dan mental anak.

Hal terakhir yang tidak kalah penting untuk disederhanakan adalah arus informasi yang diterima anak. Ada “kelayakan usia” yang perlu kita ingat ketika memaparkan informasi pada anak. Seiring dengan perkembangan zaman yang makin memudahkan semua orang untuk mengakses sumber informasi, mungkin ini adalah tantangan yang besar bagi kebanyakan keluarga. Keluarga kami memilih cara yang paling sederhana, yakni meniadakan televisi di rumah dan belum memberikan ponsel atau gawai lainnya pada anak-anak.