Cerita tentang Adopsi Anak

Apakah adopsi anak merupakan hal yang familier bagimu? Di blog ini, beberapa kali aku menyebutkan bahwa aku dan suamiku mengadopsi anak. Ketika memperbarui blog setelah sekian lama, misalnya, aku menyampaikan bahwa kami baru dikaruniai bayi tak lama setelah mengangkat anak secara legal. Namun, entah bagaimana, butuh waktu yang lama untuk akhirnya dapat benar-benar mulai kutuliskan kisah lengkapnya (versi lisan sudah berhasil kubuat terlebih dahulu beberapa bulan yang lalu di dalam siniar “Yuk Recall”). Bismillah. Semoga saja ada manfaat yang dapat diambil dari kisah nyata ini.

Alasan Mengadopsi Anak

Sebelum menceritakan pengalaman tentang adopsi anak yang kami lakukan, izinkanlah aku menguraikan alasan mengapa kami mengadopsi anak. Mungkin apa yang akan kututurkan ini bukan cerita baru bagi teman-teman yang sudah lama mengikuti blog ini. Hal serupa mungkin juga dirasakan oleh teman-teman atau kerabat yang mengenal kami di dunia nyata.

Kalau tidak salah, kami termasuk sedikit lebih cepat menikah daripada teman-teman di sekitar kami. Namun, tahun demi tahun berlalu tanpa ada kabar kelahiran anak dari kami. Sebagai pecinta anak kecil, aku dan suamiku tentu tidak sepenuhnya merasa baik-baik saja.

Selain memeriksakan diri dan menjalani berbagai ikhtiar agar dapat berketurunan, kami juga cukup sering berbagi kisah kami di mana saja. Karena aku sangat senang bercerita dan tidak begitu pandai menyimpan kegelisahanku sendiri, sepertinya hampir semua orang yang mengenalku tahu tentang masalah infertilitas yang kami alami. Tulisan di blog ini pun menjadi salah satu jalan utama bagiku untuk bercerita.

Semangat yang jatuh bangun pun kami alami selama bertahun-tahun. Kami tidak pernah berhenti berikhtiar, kecuali satu kali: saat aku menemukan masalah lama yang muncul kembali (setelah sebelumnya sudah teratasi). Saat itu, kami sudah empat tahun menikah. Sudah bukan satu atau dua dokter, rumah sakit, atau bahkan beragam program yang kami coba. Saat merasa hampir-hampir depresi, aku mengalihkan perhatian ke hal lainnya (melanjutkan sekolah) dan memutuskan berhenti pergi ke dokter.

Meskipun berhenti menjalani program hamil, keinginan kami untuk memiliki anak tidak pernah hilang. Mungkin ini terkait erat dengan kedekatan kami dengan dunia anak, bahkan sejak kami belum menikah. Seperti yang pernah kuceritakan dalam tulisan sebelumnya tentang kehadiran anak, saking dekatnya dengan anak-anak, sebenarnya aku malah sering gelisah. Aku sibuk memikirkan banyaknya anak terlantar di dunia ini dan mempertanyakan banyaknya orang yang terus semangat menambah jumlah manusia di bumi. Sebelum menikah, kami juga sudah pernah diajak berpikir atau membayangkan kemungkinan jika tidak dikaruniai anak. Begitu suamiku (waktu itu masih calon) menjawab pertanyaan itu, aku makin yakin untuk berumah tangga dengannya.

“Masih banyak anak di dunia ini yang bisa kita urus,” jawabnya santai, tetapi lugas.

Entah bagaimana, sepertinya pemikiran itu sempat terlupakan di tengah kesibukan kami mengusahakan kehamilan. Nah … saat akhirnya kami menghentikan kesibukan itu, barulah aku teringat lagi pada pemikiran “banyaknya anak di dunia ini” yang pernah menghantuiku dahulu. Tiba-tiba saja datang momen yang memunculkan berbagai memori yang menuntun kami ke niat lama kami dahulu: mengasuh anak terlantar.

Anak terlantar sudah pasti ada (banyak, tepatnya) dan membutuhkan orang tua untuk menyayangi, mengurus, dan mendidik mereka. Sementara itu, ada kami (dan banyak pasangan suami istri lainnya, ternyata) yang membutuhkan anak untuk disayangi, diurus, dan dididik. Bukankah ini yang dinamakan jodoh? Sesederhana inilah alasan kami mengadopsi anak. Kami saling membutuhkan dan—alhamdulillah—berjodoh.

Bersama Anak Pertama Kami, yang Lahir dari Hati

Memilih Adopsi di Jalur Resmi

Setelah mantap ingin mengadopsi anak, kami merasa harus melakukannya dengan baik dan benar. Bukankah kami akan betul-betul menjadi keluarga seumur hidup? Niat itu pulalah yang mengantarkan kami pada pilihan adopsi secara legal. Kami yakin, dengan menempuh jalur resmi, hak setiap pihak akan lebih terjaga dan terlindungi. Pihak-pihak yang kumaksud di sini adalah kami sebagai orang tua angkat, sang orang tua kandung, dan sang anak angkat itu sendiri.

Sayang, informasi tentang adopsi legal di Indonesia pada waktu itu (sekitar tahun 2012) sangat sulit diperoleh. Belum ada artikel lengkap dan keren yang mengupas tuntas tata cara adopsi melalui jalur legal atau resmi seperti yang kini dapat ditemukan dengan mudah di situs ibupedia.com. Seandainya informasi selengkap itu sudah kami dapatkan sebelumnya, mungkin perjuangan kami menjalani proses pengangkatan anak melalui jalur resmi agak lebih ringan.

Siapa yang pernah berpikir bahwa adopsi legal berarti adopsi anak yang dinyatakan dengan surat pernyataan bermaterai atau yang melibatkan notaris? Nah, Bapak/Ibu/Mas/Mbak tidak sendiri. Tidak jarang aku juga mendengar pertanyaan atau dugaan seperti itu. Aku sendiri pun pernah berpikir demikian, jauh sebelum memulai proses adopsi secara legal.

Sayangnya, pemikiran tersebut agak jauh dari tepat. Adanya penandatanganan surat pernyataan dengan melibatkan notaris itu justru dapat menjadi petunjuk pertama bahwa sebuah adopsi anak yang dilakukan bersifat ilegal. Adopsi anak di jalur resmi tidak seperti itu. Prosedurnya jauh lebih panjang.

Mungkin karena itulah, tidak sedikit orang yang menghindari adopsi anak secara legal. Kebanyakan calon orang tua angkat merasa tidak cukup sabar dan tidak ingin pusing mengikuti tata cara yang rumit tersebut. Apakah aku dan suamiku berbeda?

Sebenarnya kami pun memiliki keengganan yang serupa. Siapa sih di dunia ini yang lebih memilih kerepotan dibandingkan kemudahan? Yang jelas bukan kami. Namun, kami mengambil sudut pandang yang berbeda. Alih-alih menjauhi keribetan sekarang, kami lebih ingin menghindari kerepotan di masa depan.

Bagaimana status anak angkat kami jika dikaitkan dengan urusan pernikahan atau warisan kelak? Bagaimana jika kami berdua tidak berumur panjang dan harus meninggalkannya seorang diri? Bagaimana hak-haknya di tengah keluarga besar kami? Hukum negara dapat menjamin semua itu. Karena itulah, demi ketenangan di masa depan, kami lebih memilih adopsi di jalur resmi.

Menjalani Proses Adopsi Legal

Apa saja yang harus dilakukan untuk mengikuti proses adopsi anak secara legal? Yang termudah adalah mendatangi kantor Dinas Sosial atau panti asuhan yang telah diakui oleh negara untuk melayani proses adopsi anak. Di DKI Jakarta, setahuku baru ada dua buah panti yang dapat menyelenggarakan proses adopsi anak, yaitu panti asuhan anak balita “Tunas Bangsa” milik pemerintah di Jakarta Timur dan panti asuhan swasta “Sayap Ibu” di Jakarta Selatan.

Di sana, kita dapat bertanya atau meminta petunjuk lebih lengkap kepada petugas panti tentang prosedur adopsi anak secara legal. Di Panti Tunas Bangsa, prosedur pelayanan adopsi anak juga tertera jelas di papan yang tergantung di dinding serta di brosur yang dapat diambil oleh para tamu. Aku tidak tahu bagaimana persisnya perolehan informasi di Panti Sayap Ibu atau di kantor Dinas Sosial, tetapi sepertinya kurang lebih sama.

Jangan membayangkan proses adopsi anak dapat langsung dimulai sesaat setelah kita berkunjung ke panti asuhan. Kami sendiri pertama kali datang ke panti sekitar tahun 2012. Petugas panti menyambut kami dengan ramah, sama ramahnya dengan sambutan mereka ke tiap pengunjung lain yang datang untuk berbagai keperluan. Saat bertanya tentang adopsi anak, kami diarahkan untuk berbicara dengan salah satu pegawai. Beliaulah yang menjelaskan informasi tentang adopsi ini secara lengkap. Obrolan yang agak panjang itu ditutup dengan pesan, “Yah … sekarang sering-sering aja dulu main ke sini,”

Siapa sangka, ternyata pesan penutup itu begitu penting. Tidak akan ada proses resmi yang dapat dimulai oleh calon orang tua asuh (COTA) mana pun sebelum wajah mereka diingat oleh para petugas panti. Untuk itu, tidak ada cara selain datang berkunjung sesering mungkin ke panti.

Setelah berbulan-bulan “menyetor wajah”, kami baru disodori buku absensi untuk mencatat kunjungan ke panti. Proses ini dinamakan tahap observasi. Sejak secara resmi memasuki tahap ini, kami datang ke panti kira-kira sebanyak tiga kali seminggu. Meskipun sudah memilih calon anak, kami belum diizinkan berinteraksi hanya dengan satu anak secara khusus di tahap ini.

Kami cukup menikmati proses observasi tersebut karena mengingatkan kami pada masa-masa kami menjadi relawan kegiatan anak sebelum menikah. Meskipun hanya boleh berinteraksi melalui jendela lebar yang terbuka dengan anak-anak di kamar besar mereka, kami dapat melakukan aneka rupa kegiatan seru: membacakan buku, mendongeng, ataupun memainkan berbagai tantangan. Hal yang terasa tidak menyenangkan (selain leher, pinggang, dan punggung yang sakit akibat terlalu sering dan lama berakrobat di jendela) adalah menunggu “lampu hijau” dari petugas panti untuk melanjutkan proses adopsi ke tahap berikutnya.

Kegiatan Favorit Saat Observasi: Membacakan Buku

Berbulan-bulan kemudian, setelah total kunjungan kami terhitung sangat banyak, barulah kami dipersilakan untuk memulai tahap sosialisasi. Di tahap ini, kami sudah boleh berinteraksi hanya dengan calon anak angkat kami. Tidak hanya bermain, kami juga dapat mengajaknya makan bersama, asalkan masih di dalam lingkungan panti. Ada ruangan khusus yang dapat digunakan oleh para COTA yang sedang melakukan proses sosialisasi ini agar tidak mengundang kecemburuan sosial di antara anak-anak panti lainnya (bagian ini sebetulnya membuat kami agak sedih).

Di tahap sosialisasi, jadwal khusus kunjungan tetap harus ditaati. Kami hanya dapat berkunjung selama satu jam mulai jam empat sore. Para COTA yang melakukan sosialisasi juga tidak boleh datang lebih dari satu kali setiap hari meskipun ada jadwal kunjungan pagi yang terbuka untuk pengunjung umum (non-COTA). Tentu aku memilih jadwal sore agar dapat berkunjung bersama suamiku (usai bekerja, biasanya ia sesegera mungkin menyusulku yang sudah tiba di panti lebih dahulu). Frekuensi kunjungan kami pun terus meningkat karena kami makin cepat rindu pada calon anak angkat kami.

Memanfaatkan Waktu yang Terbatas untuk Bermain Bersama di Ruang Sosialisasi

Sembari menjalani proses sosialisasi, kami juga menyiapkan berkas administrasi yang cukup banyak. Beberapa di antaranya yang tidak terlalu sederhana adalah syarat legalisasi semua dokumen. Masih kuingat, aku harus pergi ke Bandung dua kali demi melegalisasi buku nikah. Sungguh tak terbayang bagaimana perjuanganku dalam hal ini seandainya dahulu aku berdomisili di Papua dan menikah di sana.

Ada pula syarat lulus dari tes kejiwaan. Tes ini dilakukan di rumah sakit dengan dokter spesialis jiwa yang telah ditunjuk oleh panti. Sempat tebersit rasa khawatir karena kami tak paham seluk-beluk tes psikologi. Bagaimana kami tahu bahwa jiwa kami 100% sehat? Apakah ada kemungkinan kami menyimpan bakat sebagai penyiksa anak? Saat terpikir hal itu, aku merasa agak marah. Bukankah seharusnya tes ini dilakukan di awal proses demi menghemat energi dan menghindari rasa frustasi? Bagaimana nasib COTA yang gagal di tahap ini, padahal ia sudah sangat dekat dengan calon anak angkatnya?

Syukurlah, hasil tes psikologi itu memperkirakan bahwa aku dan suamiku diharapkan cukup mampu mengasuh anak (mungkin termasuk di antaranya, kami dianggap bukan psikopat). Proses adopsi pun dapat kami teruskan. Salah satu tahap penting adalah kunjungan pegawai panti ke rumah kami (setelah kami melampirkan data kekayaan yang salah satunya mencakup kepemilikan atas rumah tempat tinggal). Demi memastikan kesejahteraan sang calon anak angkat nanti, para petugas datang untuk melihat langsung bagaimana rumah dan lingkungan tempat tinggal kami. Tahap ini sangat kuingat bukan hanya karena kami mendadak sibuk mencari dan membeli sofa untuk ruang tamu (sebelumnya hanya ada area lesehan karena … siapa sih, yang mau mengunjungi kami selain anak-anak atau orang sebaya kami juga?), melainkan juga karena pertanda anak angkat kami akan segera “pulang”.

Memulai Pengasuhan Anak Adopsi

Putri angkat kami diperbolehkan pulang ke rumah kami mendekati akhir tahun 2014. Teringat olehku bahwa dua tahun telah berlalu sejak kami pertama kali berniat melakukan adopsi anak. Mungkin karena itulah momen ini begitu mengharukan. Pihak panti meminta kami membawa dua orang saksi, tetapi pada akhirnya hampir seluruh keluarga besar kami turut menghadiri acara itu. Acara berlangsung cukup cepat meskipun diadakan untuk beberapa anak angkat sekaligus. Selain putri kami, ada tiga anak lain yang juga pulang ke rumah orang tua barunya hari itu.

Acara Serah Terima Anak Angkat Kami dari Panti Asuhan

Tentu saja proses pengangkatan anak kami belum dapat disebut selesai. Secara resmi, kami disebut memasuki masa pengasuhan sementara. Beberapa bulan kemudian (aku lupa tepatnya, tetapi lebih dari enam bulan), petugas panti bersama petugas Dinas Sosial kembali datang untuk memeriksa perkembangan anak kami. Kami harus melaporkan segala kegiatan yang ia lakukan sejak tinggal bersama kami, termasuk rutinitas harian dan asupan wajibnya. Hobi orang tua baru dalam mendokumentasikan anaknya setiap jam pun mendapat penyaluran yang tepat.

Setelah dinyatakan lulus dari penilaian petugas, kami menunggu hasil sidang tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak (PIPA). Setahuku, waktu itu tim PIPA terdiri atas perwakilan dari Kementrian Sosial, Dinas Sosial, dan pegawai panti. Sidang itu digelar tanpa kehadiran COTA. Hasilnya dapat berupa penerbitan ataupun penangguhan rekomendasi untuk mengikuti sidang penetapan hak pengangkatan anak di pengadilan negeri.

Penetapan Hak Pengangkatan Anak

Alhamdulillah, kami langsung mendapatkan rekomendasi untuk mengikuti sidang penetapan hak pengangkatan anak. Karena seumur hidup sepertinya belum pernah mengikuti sidang di pengadilan, aku merasa sedikit tegang. Lucunya, petugas panti yang biasanya lebih berwibawa di depan kami juga terlihat jelas ketegangannya. Beliau sibuk memberikan “kisi-kisi” pertanyaan sidang dan beberapa kali mengingatkan kami untuk menguasainya. Ini tak ubahnya seperti kegelisahan dosen pembimbing sebelum melepas anak-anak bimbingannya mengikuti sidang dan bertemu dosen penguji. 😀

Seperti apa pertanyaannya? Tenang … masih lebih mudah daripada ulangan-ulangan anak sekolah dasar, kok. Hal pertama yang ditanyakan adalah data-data penting seperti nama lengkap dan tanggal lahir anak (karena sidang hanya mungkin dilakukan untuk satu anak dalam sekali waktu, tentu ini tidak sesulit mengingat nama-nama menteri atau tahun-tahun peristiwa penting dalam sejarah). Pertanyaan berikutnya meliputi alasan kami mengangkat anak, pekerjaan kami sebagai COTA, dan rencana pengasuhan anak jika kedua orang tua bekerja. Sepertinya semua ini pasti ditanyakan pada COTA mana pun.

Namun, ada hal yang sepertinya hanya mereka tanyakan pada kami: rencana pengasuhan atas dua anak yang berbeda status. Pasalnya, aku datang ke pengadilan dengan perut yang sangat buncit. Sangat jelas terlihat bahwa aku sedang hamil tua. Kurasa pikiran hakim pun setali tiga uang dengan siapa saja yang mengetahui aku mengandung tak lama setelah mengasuh (calon) anak angkat. Mengingat posisi dan perannya saat itu, tentu kami harus ikhlas seandainya ia mengajukan pertanyaan yang sering kutemukan seperti, “Berhasil, ya, pancingan anak angkatnya?”

Bukankah tugas hakim dalam kasus ini adalah memberikan putusan yang adil demi kebaikan dan keselamatan sang anak angkat? Kurasa sangat wajar jika ia khawatir dan berhati-hati. Bukankah kurang bijaksana memercayakan seorang anak kepada suami istri yang sekadar “memancing” dalam rangka iseng-iseng berhadiah?

Walaupun kami mendengar beberapa “bocoran” informasi tentang tidak adanya COTA yang gagal mendapatkan pengesahan dari pengadilan, kami tetap merasa amat lega ketika akhirnya kami dinyatakan “lulus” dari sidang tersebut. Akhirnya kami sah ditetapkan sebagai orang tua angkat anak kami. Sungguh, jika ini dibaratkan sebagai penantian kelahiran, kurasa “kehamilan” pertama ini jauh lebih berat dan menguras air mata daripada kehamilan kedua, saat aku dikaruniai calon anak kandung (cerita lengkap tentang ini kubagikan di tulisan lain, ya).

Kelegaan Seusai Sidang Penetapan Pengangkatan Anak di Pengadilan Negeri

Apakah cerita kami tentang adopsi anak berakhir di sini? Proses pengangkatan anak secara legal yang kami lakukan memang sudah selesai lebih dari lima tahun yang lalu. Akan tetapi, sebagaimana halnya proses semua anak—terlepas ia anak adopsi atau bukan—bersama orang tuanya di dunia ini, proses kami bertiga pun akan berlangsung seumur hidup. Ada banyak cerita yang sama saja dengan cerita bersama anak yang bukan anak angkat, tetapi tidak sedikit pula cerita unik yang berkaitan erat dengan pengalaman anak kami ini sebagai anak adopsi. Silakan ikuti blog ini jika penasaran dengan kisahnya.

Oh, ya. Bagaimana denganmu, wahai pembaca yang budiman? Apakah ada cerita seputar adopsi anak berdasarkan pengalaman sendiri atau orang-orang di sekitarmu? Jangan lupa tinggalkan komentar di sini, ya!

Salam,

Heidy Kaeni