Setelah rujuk …

Sesuai judul di atas, cerita yang akan kubagi di bawah ini adalah lanjutan dari tulisanku yang berjudul “Rujuk”, yaitu apa saja yang kami lakukan sejak memutuskan kembali ke dokter kandungan. Layaknya utang, aku sudah bertekad pasti menuliskan ceritanya … meskipun kejadiannya sudah lewat hitungan bulan atau bahkan tahun, haha … maaf yaah, tentu saja ini tak lain tak bukan karena ada begitu banyak hal yang terjadi dalam hidup kami (yang sepertinya tidak dapat kuceritakan semua sekaligus karena saking banyaknya).

Dalam tulisan sebelumnya, aku sudah bercerita bahwa dari pemeriksaan-pemeriksaan terakhir yang dilakukan (pada pertengahan tahun 2013), dokter menyimpulkan bahwa aku dan suamiku mengalami unexplained infertility, yang artinya kurang lebih: hanya Allah yang Tahu kenapa kami belum bisa berketurunan, karena seharusnya secara teori sih kondisi kami sudah baik-baik saja … hehehe. Hasil ini sebenarnya cukup mengejutkan bagi kami, mengingat selama 5 tahun lebih kami selalu ‘bertemu’ masalah baru. Kalau bukan aku, Hamdan yang bermasalah. Kalau tidak, dua-duanya sekaligus. Masalah yang satu selesai, muncul masalah berikutnya. Masalah berikutnya selesai, ada lagi masalah lainnya. Bahkan pernah pula setelah ‘menyelesaikan banyak masalah’, masalah pertama datang lagi! Hahahaa (ya sekarang bisa ketawa, dulu mah adanya nangis) …. betapa serunya perjalanan kami!

Jadii, berbekal analisis tentang unexplained infertility itu, dokter terbaru kami dengan santainya menyarankan untuk mencoba cara alami dulu selama beberapa bulan. Tidak ada terapi obat-obatan apapun, yang dia lakukan hanyalah membantu memonitor masa subur melalui USG. Haha … seandainya aku mendapat saran ini pada tahun-tahun sebelumnya, mungkin bulan depannya aku sudah meninggalkan dokter tersebut karena merasa jengkel. Bok … ngitung masa subur mah eike yakin udah cukup ahli, mengingat si siklus bulanan amat sangat teratur. Kalau ujung-ujungnya disuruh alami ya untuk apa ke dokter? Namun, yang terjadi kali ini tidak demikian. Dengan ringan aku dan Hamdan mengikuti saja saran sang dokter. Setiap bulan kami rajin mengunjunginya, kadang antre di klinik berjam-berjam hanya untuk diperiksa dan mengobrol selama 10 menit dengan si dokter! Apa yang membuat kami bisa santai-santai saja melakukannya? Jam terbang, kali ya …. saking udah kenyangnya dengan lika-liku ikhtiar berketurunan ini. Anggap saja kencan, dan anggap saja langkah ini sekadar menunaikan kewajiban berikhtiar, tanpa mengharapkan apapun.

Inseminasi, lagi

Setelah melewati beberapa siklus bulanan dan belum hamil juga, akhirnya sang dokter menawarkan pilihan langkah berikutnya: inseminasi buatan (lagi) atau operasi laparoskopi (lagi, juga). Hwah … pilihan yang sangat mudah, mengingat sampai saat itu aku masih ingat betul ketakutanku di ruang operasi ketika menjalani laparoskopi pada pertengahan tahun 2011.

Maka, pada tahun 2014, kami pun memutuskan untuk mencoba inseminasi lagi. Karena kami sudah pernah melakukannya juga pada tahun 2011, ini bukan inseminasi kami yang pertama, melainkan …. inseminasi yang kedua, ketiga, dan bahkan keempat! Yap, betul … Anda tidak salah baca. Hingga pertengahan tahun 2014, total inseminasi yang sudah pernah kami lakukan adalah 4 KALI. Puas, puas deh.

Laparoskopi, lagi juga

Setelah berkali-kali mencoba inseminasi tetapi belum hamil juga, akhirnya kami pun menghadapi opsi terakhir: laparoskopi lagi. Sebenarnya, beberapa inseminasi yang telah kami coba itu setidaknya menghasilkan satu manfaat: mengulur waktu, menyiapkan mental kami untuk melakukan operasi lagi. Kami mantap memutuskan untuk mencoba laparoskopi lagi pada awal Agustus 2014, tiga tahun setelah laparoskopi yang pertama.

Meskipun judul operasinya sama, tetapi kami sangat berharap bahwa hasil yang diperoleh berbeda. Dulu, saat operasi pertama, laparoskopi kulakukan setelah kegagalan inseminasi pertama karena adanya dugaan kehamilan di luar kandungan (yang alhamdulillah tidak ditemukan, terbukti masalahku saat itu hanya usus buntu akut). Setelah operasi, sang obgyn sempat mengobrol dengan ibuku, berkata bahwa sebenarnya aku tidak mengalami masalah kesuburan apapun dan seharusnya bisa hamil kapan saja. Pernyataan inilah yang sempat membuatku ragu untuk melakukan laparoskopi kedua … untuk apa memeriksa ulang ‘isi tubuh’ yang sudah dinyatakan baik-baik saja?

Sedikit secercah harapan kudapatkan dari dsog terakhirku. Sejak aku berprogram di bawah bimbingannya, melalui USG ditemukan adanya kista dan miom yang sangaaaat kecil (kenapa ini tidak ditemukan pada laparoskopi pertama atau oleh obgyn sebelumnya, hanya Tuhan yang Tahu … mungkin saja waktu itu belum ada). Secara teori, seharusnya, kista dan miom sekecil itu tidak menghambat kehamilan. Ada banyak wanita di luar sana yang hamil-hamil saja, padahal punya kista atau miom yang jauh lebih besar. Nah, setelah inseminasi berkali-kali tetap gagal hamil, barulah sang dokter menyarankan agar kista dan miom yang itu diambil, karena … yah, namanya juga ikhtiar maksimal, siapa tahu meskipun ukurannya kecil, keduanya tetap punya peranan dalam menghalangi kehamilan.

Menghadapi laparoskopi kedua, aku lebih siap. Atau mungkin tepatnya: jauh lebih heboh. Hahahahaa. Cari literatur, tanya ke sana ke mari, sampai minta doa dari seluruh keluarga besar (kebetulan operasinya setelah lebaran). Yang paling kuwaspadai adalah masalah hipotermia-ku. Masih teringat dengan jelas, saat operasi pertama, hawa dingin menusuk hingga ke tulang sampai-sampai terbayang meninggal karena kedinginan di meja operasi, bahkan sebelum dibedah. Kalau diceritakan sih kayaknya lucu, yaa … tapi sungguh, saat mengalami sendiri dan mengingatnya sungguh-sungguh menyeramkan. Karena itulah, menjelang operasi kedua, persoalan itulah yang kubicarakan berkali-kali pada dokter-dokter dan perawat. Alhamdulillah, ternyata kekhawatiranku itu mendapat perhatian yang cukup, tidak dilupakan begitu saja. Pakdeku yang kebetulan merupakan seorang dokter spesialis anestesi menyarankan agar aku sudah dibuat ‘lupa’ sebelum masuk ke ruang operasi, dan itulah yang terjadi. Hal terakhir yang kuingat adalah cairan yang disuntikkan melalui infus tepat sebelum aku didorong masuk ke ruang operasi. Ketika sadar lagi, aku sudah berbaring di ruang pemulihan dengan selimut khusus (ada penghangatnya). Weiss … benar-benar pengalaman yang damai, aman dan nyaman …. jauh berbeda dari sebelumnya!

Harapan baru

Dari laparoskopi kedua ini, kami mendapat ‘oleh-oleh’ yang cukup menakjubkan (menurutku) atau menyeramkan (menurut Hamdan): sebuah video yang merekam seluruh tindakan pada bagian dalam tubuhku selama operasi berlangsung. Seru sekali (sekali lagi, menurutku, looh) bisa menyaksikan rekaman tindakan menyayat, mengikis, dan memotong yang dilakukan oleh dokterku. Mengingat semua itu dilakukan untuk ‘membuang’ penyakit, rasanya puassss sekali … (sementara itu, Hamdan menonton sambil bergidik, menahan rasa ngilu …. hahaha … ini kebalik nggak, sih, siapa yang harusnya merasa ngilu).

Pada kunjungan pertama ke dokter setelah operasi, aku sudah mendapat hasil pemeriksaan patologis: kista yang ditemukan adalah kista endometriosis. Selanjutnya, dokterku meresepkanku Tapros, yaitu terapi (dengan cara disuntik) untuk mengistirahatkan rahimku dari siklus bulanan. Terapi ini dilakukan 3 kali, sehingga diharapkan aku tidak mengalami menstruasi selama kurang lebih 3-4 bulan.

Oh, ya. Sebelum dan sesudah operasi, aku sempat bertemu dan mengobrol dengan beberapa suster yang kebetulan juga pernah melakukan operasi serupa. Mereka semua mendoakanku dan menyemangatiku dengan menceritakan kisah sukses mereka: hanya selang beberapa bulan setelah operasi, akhirnya mereka hamil! Masya Allah … yaa setelah kurang lebih tujuh tahun menikah, meskipun ini bukan pertama kalinya aku disemangati, bukan pertama kalinya berprogram hamil, bukan pertama kalinya dioperasi, mendengar kisah sukses seperti itu selalu menumbuhkan harapan baru. Alhamdulillah, meskipun kekecewaan demi kekecewaan juga sudah sangat sering kami lalui, ternyata kami masih diperkenankan memelihara harapan itu. Terima kasih, ya Allah

19 komentar di “Setelah rujuk …

  1. Tetap semangat ya mbak. 🙂
    Aku baru menikah sekitar 7 bulan sama suamiku, belum diberikan kepercayaan sama Allah untuk hamil sampai saat ini. Sering kepikiran dan jadi sedih, tapi tiap kali baca pengalaman pasangan yang usia pernikahan sudah lebih lama dari usia pernikahanku, dan mereka tetap semangat menjalani semua ikhtiar ini, aku pun jadi ikutan bersemangat juga. Thanks for sharing ya mbaaa 🙂

    Suka

  2. Terimakasih telah berbagi kisah Inspiratif-nya, Mungkin saya adalah salah satu yang mengalami hal yang sama dengan Anda.
    Yang pasti sebagai Ihsan yang lemah, kita hanya berusaha dan berikhtiar. Serta belajar Kata “IKHLAS”.

    Suka

  3. Dear mbak Heidy,
    Salam kenal saya prima, dan ketika saya baca blog anda saya merasakan Dejavu, semua yg Anda jalani dan diagnosa nya pun mirip dgn saya. Tahun ini adalah tahun ketiga kami menikah dan sudah ada lebih dari tiga klinik kami hampiri. Pada tahun pertama di klinik yg pertama Saya juga didiagnosa harus terapi PLI, karena ASA saya di angka 1 juta; kedua tertinggi dalam kasus ASA Dan juga banyak pantangan yg harus saya hindari; yg paling susah itu serpihan tubuh manusia; apalgi kalo harus ada acara keluarga; kebayang khan brp banyak serpihan mrk terkena ke saya; kalau udah begitu saya hanya bisa Bismillah ajah dech :)). Terapi kami juga lebih dari 13x seingat kami dan itu tmsk harus tetap suntik maintenance nya. Sembari masih terapi ASA kami pindah ke klinik kedua; karena info2 orang2 dan dari internet ada seorang dokter kandungan yg seorang professor dan banyak yg berhasil hamil dengan Beliau. Di klinik kedua di tahun kedua pernikahan inilah kami baru tahu dan diminta pengecekan menyeluruh dari Hsg, cek sperma, cek darah, dan yg lain2nya. Dari situ kami baru tahu bahwa katanya di saluran ujung kiri tuba falopi saya ada sedikit perlengketan dan penguncupan, sedangkan saluran kanannya lancar; rahim saya juga berbentuk miring kata Mereka, dan saluran vagina saya ada banyak gerinjalan, (daging mengeras dikit) dan itu mungkin di masa remaja saya sempat keputihan tapi tdk cepat diobati. Kata Prof untuk mengurangi hal2 yg tdk diinginkan lebuh baik mengurangi makan bahan2 kedelai tmsk tahu dan tempe ( and it’s my fav food actually) jadilah saya menguranginya. Adapun di klinik ini lah dua kali saya inseminasi dan dua kali pula saya gagal, padahal sudah di jamin oleh pihak lab andrologi disana; kayaknya bisa berhasil dgn Angka ASA di 500, karena sebelumnya ada pasien yg berhasil; sampai dengan utk menekan ASA saya, sempat di resepkan sama si Prof apa itu saya lupa namanya; infusan yg isinya ada bahan injeksi utk setiap suntik ASA dan diberikan pada hari haid ke tujuh ( kalo gak salah karena saya lupa dan nama obat infusnya pun saya lupa) dan selama 5 jam.saya di ruangan klinik itu di infus dari siang sd magrib dgn tujuan menetralisir ASA saya untuk inseminasi saya dan ditolak pada hari keduabelas haid oleh dokter kandungan di klinik itu (dan bukan si prof yah; yg periksa karena dia kebetulan bukan jadwalnya ada jadi kayak anggota team dia) katanya telor saya kecil jadi harus ditunda, yg akhirnya bkn saya nangis karena there goes my 3 million rupiah ( iyes itu infus harganya 3 juta lebih), dan sempat sebal sama si dokter. Pada akhirmya setelah saya tenang, suami saya membujuk utk lebih legowo dan mencoba lagi, hingga akhirnya setuju yah tadi itu dua kali berturut2 utk inseminasi di klinik itu dan blm berjodoh Aka gagal, karena ternyata menstruasi nya keluar. Lalu sepuluh bulan saya vakum dan baru aktif lagi ke dokter kandungan sekitar tiga bulanan ini, memutuskan pindah ke RS yg agak terkenal, dan saya vakum terapi ASA; hal ini karena suami saya melihat betapa tertekannya saya, begitu banyak yg harus saya hadapin; apalagi semua test2 yg dilakukan dan inseminasi yg saya lakukan menimbulkan dampak rasa sakit; blm lagi tangisan2 karena ternyata gagal. Di Inseminasi yg ketiga ini, kebetulan saya baru 6 hari pasca inseminasi jadi saya bedrest lagi, di RS ini saya ditangani oleh seorang dr. SpOG(K) dan semua hasil2 lab saya dimentahkan sama Beliau, dalam artian hasil ToRch,mikrokuretase sd ASA saya dimentahkan dan gak dilihat; yg cukup anehnya pas saya tanya ttg ASA kata Beliau, gak perlu. Pusing? Sdh pasti, tapi suami saya kekeuh si kekeuh sama ini dokter, jadi yg kali ini lebih kurang persiapannya dibanding dua inseminasi yg pertama; yg kali ini lebih banyak project Bismillah, ikhtiar dan doa nya; saya tidak lagi fokus mengamati hasil2 test saya; lebih banyak go ahead nya ajah. Satu yg saya perhatikan setelah saya saya merasakan tiga kali inseminasi dari dua dokter; dan kebetulan pagi ini saya baca artikel; kayaknya sih yah prof dokter yg pertama menggunakan sistem inseminasi ICI dan dokter kedua saya menggunakan inseminasi IUI, hanya karena berdasarkan pada saat saya merasakan pada saat inseminasi. Pada saat pemeriksaan saya yg terdahulu ada dokter yg sempat bicara laparskopi Juga utk menghilangkan selaput2 yg menutup ujung saluran tuba falopi saya; tapi karena dua dokter yg akan menginseminasi saya bilang masih ada saluran yg terbuka jadi masih ada chance utk terjadinya pembuahan menurut mereka. Saya sharing cerita ini juga untuk bisa jadi tambahan support buat Mbak dan buat Saya sendiri, masih banyak hamba-hamba Allah yg berikhtiar untuk mendapatkan momongan, satu yg pasti kita harus banyak latihan untuk mengabaikan perkataan orang2 sekitar kita, judgemental yg terkadang tdk enak di dengar karena yg tahu perjuangan kita hanya Allah. Semangat mbak, semangat juga untuk saya dan semangat juga untuk pembaca2 blog Mbak yg bernasib sama dengan kita.

    Suka

    • MasyaAllah … salam kenal, Mbak Prima. Maaf .. saya baru ngeh ada komentar yg beluk terbalas ini terima kasih banyak sudah sudi mampir dan berbagi cerita di sini juga ya. Semoga saat ini Mbak Prima sekeluarga dalam keadaan sehat dan bahagia 💗💓

      Suka

  4. suka deh sam tulisan2 si mba ini 🙂
    bagaimana kelanjutannya di tahun 2016 ini mba? hehe
    saya juga sedang menjalani hal yang sama seperti tulisan2 mba..ikhtiar,harapan,kecewa,sedih,pasrah (Hmm..kalo yang satu ini saya merasa hanya sebatas dimulut saja sepertinya hehe)

    Kalo berkenan, saya butuh sharing-sharing dengan mba di email anna_seruni@yahoo.com 🙂
    hatur nuwun…..

    Suka

    • Halo Mbak Anna, terima kasih banyak dan mohon maaf baru membalasnya.
      Alhamdulillah di tahun 2016 ini saya sudah disibukkan dengan kegiatan mengasuh 2 anak di rumah.
      Saya doakan semoga doa dan harapan Mbak Anna segera (atau sudah) terkabul..
      Masih mau sharing nggak Mba? Maaf yaaa kalau telat pake bangett … saya coba kirim email yaa 🙂

      Suka

    • Hai Mb Anna, terima kasih banyak ya..
      Alhamdulillah tahun ini saya sudah sibuk dengan 2 anak di rumah ..
      Semoga doa dan harapan Mba Anna juga segera (atau sudah) terkabul yaa… masih butuh teman sharing Mbak (maaf telat banget baca komennya ya)?

      Suka

  5. Halo bun. Mau nanya kelanjutan nya bagaimana. Apakah sekarang sudah berhasil? Kebetulan saya juga punya masalah mengenai ASA . Sudah suntik 3x ILS , setelah membaca cerita bunda jadi ingin mencari second opinion. Terimakasih ya bun cerita nya bikin semangat lagi 🙂

    Suka

    • Kelanjutannya … hehe maaf saya sudah agak lupa soal ASA kalau nggak lihat contekan..
      Kalau nggak salah setelah 13x suntik PLI (2 tahun) saya masih belum berhasil hamil sampai beberapa tahun kemudian.
      Saya hamil secara alami tahun 2015 itu sudah lamaaa setelah PLI dan sudah nggak ikut pantangan-pantangannya.
      Setelah berhenti terapi ASA saya juga cari opini kedua, ketiga, keempat dan seterusnya Bun … hehehe.
      Semangat terus ya Bun 🙂

      Suka

  6. Assalamualaikum mbak Heidy, senang rasanya ternyata sy tidak sendiri yg mengalami ASA tinggi, namun sy baru mau memulai proses PLI dan ada hambatan. Jika diperkenankan melalui media apa ya biar sy bisa sharing ya mbak? Terima kasih jawabannya mbak Heidy…

    Suka

  7. Mba, makasih atas sharingnya.. Saya jg ada rencana LO tp msh blm tau dg dokter mana.. Kl boleh disharing mba terakhir LO dg dokter siapa? Thanks ya mba

    Suka

  8. Mba, makasih atas sharingnya.. Saya jg ada rencana LO tp msh blm tau dg dokter mana.. Kl boleh disharing mba terakhir LO dg dokter siapa? Thanks ya mba

    Suka

Tinggalkan komentar