Ketika SPPT PBB Hilang (2)

Tulisan ini merupakan sambungan cerita dari Ketika SPPT PBB Hilang (1). Pada  tulisan sebelumnya, aku menceritakan anjuran petugas kantor pajak agar aku pergi ke kantor kelurahan Munjul (bukan kelurahan kami, tapi masih satu kecamatan) untuk mengurus semua Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan alias SPPT PBB rumah kami yang hilang (tidak hanya SPPT tahun ini). Sebenarnya ada juga usulan untuk langsung membayar di kantor pajak itu, tetapi ternyata mereka hanya akan menerima uangnya tanpa catatan PBB tahun berapa saja yang belum/sudah dibayar!

Daripada menggelontorkan sejumlah uang secara tidak jelas, aku lebih memilih sedikit menyiksa diri dengan mencari-cari si kantor kelurahan Munjul yang disebut-sebut tadi. Penting bagiku menyiapkan diri seperti itu, karena sejak dulu aku terkenal dengan kemampuan navigasiku yang parah. Jadi bahkan sebelum berangkat mencari suatu tempat baru, aku harus siap dengan peluang 90% bahwa pasti aku akan sempat nyasar. Kali ini aku bisa menguatkan diri dengan berpikir bahwa yang kucari ini letaknya masih di kecamatan yang sama denganku, jadi tidak mungkin kan aku sampai benar-benar tersesat hingga tidak bisa pulang?

Perkiraanku tidak meleset: aku tersasar sampai empat kali! Yang paling memalukan adalah saat tersasar yang ketiga kalinya. Aku melihat sebuah papan penunjuk dengan dua baris tulisan. Baris pertama bertuliskan PUSKESMAS dan baris kedua bertuliskan KELURAHAN MUNJUL. Mengingat puskesmas di kelurahanku juga berdekatan dengan kantor kelurahan, aku pun mengikuti arah si papan penunjuk, masuk ke sebuah gang. Dua ratus meter kemudian, aku sampai di sebuah gedung yang tampak sepi. Teringat bahwa kantor kelurahanku sendiri juga hanya ramai di pagi hari, melenggang dengan percaya dirilah aku ke gedung itu. Tidak sampai tiga menit kemudian, aku sudah keluar lagi dengan gaya yang berbeda: muka merah karena malu dan tergopoh-gopoh ingin segera melarikan diri karena ketahuan bodohnya sampai tidak paham bahwa jika PUSKESMAS KELURAHAN MUNJUL tertulis dalam sebuah papan yang sangat kecil hingga harus dibuat dalam dua baris, maka yang dimaksud adalah puskesmasnya sendiri, bukan puskesmas dan kantor kelurahan yang berdekatan!

Acara tersasar yang berikutnya juga diakibatkan oleh kebodohan yang sama parahnya, tapi untungnya saat itu tidak ada orang yang menyaksikannya langsung. Ini gara-gara pengalaman tersasar yang ketiga tadi, petunjuk lisan yang menyesatkan, dan kata UPPD. Ketika aku meneruskan perjalanan berdasarkan informasi dari seseorang di puskesmas tadi, kulihat papan penunjuk lainnya. Tulisannya juga terbagi atas beberapa baris. Saat itu laju mobilku masih kencang karena jaraknya dari puskesmas tadi paling-paling hanya dua ratus meter (meskipun navigasiku buruk, aku dapat diandalkan dalam mengukur jarak), sementara informan terakhir mengatakan bahwa jarak ke kantor kelurahan masih lima ratus meter lagi. Karena mobilku meluncur terlalu cepat, papan kedua ini tidak terlihat jelas. Aku hanya sempat membaca beberapa kata: Unit, Pelayanan, UPPD, dan Kelurahan Munjul! Bisa tebak apa yang kata-kataku dalam hati saat itu? Kira-kira begini: “Ha! Aku tidak akan tertipu lagi! Ini pasti seperti si puskesmasnya kelurahan tadi! Bukan kantor kelurahannya sendiri, tapi UPPD-nya kelurahan, apa pun itu kepanjangan si UPPD.”

Maka, kulanjutkanlah perjalanan. Setelah lebih dari lima ratus meter dan tidak menemukan apa-apa, barulah aku curiga. Untuk yang entah keberapa kalinya aku bertanya pada orang di pinggir jalan. Dengan lancarnya bapak-bapak yang baik hati itu memberi tahu, “Oh keterusan, mbak! Tadi harusnya kelihatan papan penunjuknya di sebelah kanan, ada tulisan Unit Pelayanan Pajak Daerah DAN Kantor Kelurahan Munjul,”

Jelas-jelas aku mau mengurus PAJAK bumi dan bangunan. Kalau dalam rangka itu aku berangkat tanpa sama sekali mengetahui bahwa kepanjangan UPPD adalah ‘Unit Pelayanan PAJAK Daerah’, salah siapa? Ya SALAHKU!

Mamaaa… mau nangis rasanya.

Akhirnya sampai juga aku di kantor kelurahan Munjul yang terkenal itu (terkenal dalam otakku sendiri maksudnya, selama beberapa jam terakhir tadi). Ternyata kantor UPPD hanya mengambil satu ruangan di gedung kelurahan tersebut. Aku menemui seorang staf dan ia langsung paham masalahku (Ya iyyalaaaah, emang itu urusan doi! Cobaaa  ketemu sejak tahun lalu!): mulai dari nomor objek pajak yang berubah setelah sertifikat dipecah hingga jika SPPT tidak ditemukan di mana-mana.

“Ya sudah, ini saya cetak nomor pajaknya yang benar beserta keterangan pembayaran dari tahun-tahun sebelumnya saja ya,” kata si staf UPPD.

“Tahun lalu belum terbayar juga, Pak?”

“Sudah lunas sampai 2012, tunggakannya tinggal tahun ini,”

NAH, BETUL, KAN. Untung aku tidak langsung bayar untuk dua tahun di kantor pajak tadi!

“Oke, terima kasih, Pak. Lalu selanjutnya gimana, Pak?”

“Untuk bayar hanya perlu nomornya, kan. Bisa bayar di Bank DKI, BRI, Bank Mandiri, atau kantor pos. Setelah bayar, Mbak ke sini lagi bawa tanda bayarnya, fotokopi KK dan KTP pemilik rumah. Nanti saya buatkan lagi salinan SPPT yang baru,”

selembar ‘oleh-oleh’ dari UPPD

selembar ‘oleh-oleh’ dari UPPD

Ribet, ya? Belum, SAAT ITU aku masih belum menganggapnya ribet. Sekitar seperempat jam kemudian, ya, barulah aku mengomel: ribet amit!

Pertama-tama, tidak jauh dari kantor kelurahan, aku menemukan Bank DKI. Namun, ternyata temuan itu hanya mengarahkanku pada tulisan “CLOSED” di pintunya. Padahal baru jam dua siang! Bukankah seharusnya bank baru tutup jam tiga??

Kedua-dua, aku menemukan ATM MANDIRI. Pertemuanku dengannya hanya untuk bertengkar: ia minta agar aku memasukkan nomor objek pajak, kumasukkan, ia minta lagi, kumasukkan lagi, ia minta lagi, kumasukkan lagi, daaan -kalau tidak kuhentikan- mungkin akan berlanjut terus seperti itu sampai lebaran.

Ketiga, kutemukan kantor BRI yang mungil sekali! Setelah sedikit heboh memarkir mobil (ingat, bank-nya mungil, jadi wajar jika area parkirnya hanya nyaman untuk sepeda dan sepeda motor), aku masuk ke bank tersebut dengan gembira. Namun, kegembiraan itu hanya berlangsung sesaat. Ketika kukatakan pada satpam bahwa aku ingin membayar PBB, ia menjawab dengan ekspresi kasihan, sepertinya, “Oh, itu hanya bisa bayar di cabang, Bu. Di sini nggak bisa,”

“Lho, memangnya ini apa namanya?”

“Ini unit, Bu,”

“Oh, saya baru tahu bank itu punya cabang dan unit. Beda, ya?

“………….”

Nah, kurasa itu menjelaskan kenapa dulu aku tidak bisa masuk kelas IPS.

Setelah hampir menyerah karena tidak menemukan apa-apa lagi dalam jarak yang belum terlalu jauh dari kantor kelurahan tadi, kuputuskan untuk berputar sedikit sebelum pulang ke rumah: menuju sebuah kantor cabang Bank Mandiri. Lagi-lagi baru sampai satpam, aku sudah dikecewakan.

“Bayar PBB nggak bisa di teller, Bu, hanya bisa di ATM,”

“Lho, tadi saya coba di ATM tapi nggak bisa juga,”

“Kalau gitu berarti lagi offline. Coba lagi saja Bu, nanti atau besok,”

Saat itu sudah hampir pukul tiga sore. Aku tidak yakin masih sempat ke kantor pajak. Daripada repot-repot memutar ke sana lagi hanya untuk sakit hati karena kantor pajak itu terlanjur tutup, aku pun mengarah pulang. Namun, dalam usaha terakhirku, aku sempat mampir ke sebuah kantor pos. Hasilnya? Kudapati seorang pegawai yang menertawakanku. “Udah nggak bisa dari Januari!” ejeknya. Sopan sekali.

Solusi yang tersisa bagiku adalah mencoba membayar lewat ATM Mandiri lagi atau mencari cabang BRI atau Bank DKI lainnya. Setelah sempat ‘bertengkar’ sekali lagi dengan sebuah ATM Mandiri yang lain, aku memutuskan untuk menjauhinya dan hanya melirik dua pilihan terakhir. Masalahnya, karena itu hari Jumat dan sudah sore, aku baru bisa melakukannya pada hari kerja berikutnya, Senin, yang berarti baru 3 HARI KEMUDIAN.

Aku pulang dengan energi yang rasanya sudah terkuras. Lebih lelah mental daripada fisik, sih. Seandainya tidak sedang puasa, mungkin aku sudah mengamuk dari kapan-kapan. Syukurlah ini bulan Ramadan! Meskipun demikian, aku kecewa sekali. Sebelumnya aku juga sudah pernah beberapa kali direpotkan ke sana-sini karena suatu urusan, tapi pada akhirnya semua itu membuahkan hasil. Berakhir bahagia, dengan kata lain. Jarang sekali aku menemui tragedi (kenalkan, saya ratu hiperbolis) semacam ini!

Malamnya, aku langsung menumpahkan uneg-unegku pada Hamdan. Saat bercerita itu, aku baru sadar bahwa sebenarnya aku bukannya sama sekali tidak mendapat apa-apa dari segala kerepotanku tadi. Jelas sekali ada banyak pelajaran yang kuperoleh. Satu, aku jadi tahu bahwa PBB adalah urusan PEMDA, bukan kantor pajak. Dua, meskipun PBB bisa dibayar di kantor pajak, ternyata kita perlu tahu persis harus membayar berapa karena mereka tidak menyimpan catatannya. Tiga, sekarang aku bisa pamer bahwa aku tahu apa kepanjangan dari UPPD. Empat, aku jadi kenal siapa itu Si Munjul dan di mana ia berada. Lima, kini aku paham bahwa kantor cabang dan unit bank itu berbeda, siap menjawab dengan tepat kalau kapan-kapan ada soal ulangan yang menanyakannya! Enam, tak usah ‘kegatelan’ melirik kantor pos karena ia tidak lagi melayani pembayaran PBB. Tujuh, ketika akan membayar PBB lewat ATM dan si ATM itu terus-menerus menyuruh “masukkan nomor objek pajak”, tak perlu kesal, tak perlu meladeninya, tak perlu buang-buang waktu dan energi. Segera pergi dan lupakan saja doi, toh masih banyak yang lain di dunia ini! Dan tentu saja, yang terakhir: SATUKAN DAN SIMPAN SEMUA SPPT PBB BAIK-BAIK LALU INGAT-INGAT DI MANA MEREKA BERADA.

Pelajaran terakhir itulah yang terpenting. Kehilangan SPPT PBB ternyata bisa sangat menyusahkan hidup! Setelah menyadarinya, aku benar-benar menyesali kecerobohan kami itu. Maka, pada keesokan harinya yang merupakan akhir pekan, aku bertekad merapikan kembali dokumen-dokumen kami yang tidak tersimpan dengan baik. Kesalahan kami adalah meskipun sudah menyediakan tempat seperti amplop atau map yang tepat untuk setiap dokumen, kami terlalu malas untuk mengembalikan kembali semua dokumen itu ke tempatnya. Jika tidak ingin menderita seumur hidup, kebiasaan buruk ini harus diperbaiki!

Aku pun bekerja dengan semangat. Kuambil tumpukan kertas di berbagai sudut rumah dan kubongkar semua tempat penyimpanan dokumen. Saat tiba di salah satu laci, dari dasarnya kuambil sebuah map yang rasanya sudah lama tak kulihat. Kubuka, kulihat isinya, dan… astaga.

INI DIA! Si SPPT PBB yang sudah membuat hidupku susah!

INI DIA! Si SPPT PBB yang sudah membuat hidupku susah!

Aku tak yakin, harus tertawa atau menangis. Namun, aku lebih tak tahu lagi apakah ini lebih tepat disebut tragedi atau kisah yang berakhir bahagia.

 

Salam dari yang masih lesu,

Heidy

45 komentar di “Ketika SPPT PBB Hilang (2)

  1. Ping balik: Ketika SPPT PBB Hilang (1) | berbagi hidup

  2. Ujian kesabaran di bulan puasa nih mbak Heidy.. Yang penting alhamdulillah udah ketemu SPPT PBB nya dan udah selesai urusan bayar membayar pajak tahun ini kan mbaa 🙂

    btw, ujian kesabaran juga buatku kalo buka blog ini di siang bolong pas lagi puasa, si es teh manis itu sungguh menggoda iman! *tunjuk themes blog mba Heidy* *untung sekarang udah buka* 😀

    Suka

    • Hehe iyaa alhamdulillah. Makasih ya, Lia..

      Waduh… iya, ya?
      Nggak kepikiran sampe sana, pantes pas aku pas milih-milih tema blog baru langsung jatuh hati sama ini, nggak sadar kalau nafsu yang berbicara…khahhaha…
      Maap yaa, atau selama bulan puasa kalo mau jalan-jalan ke sini setelah Maghrib aja 😀

      -Heidy-

      Suka

    • Wah maaf ya baru buka blog ini lagi jadi telat sekali membalasnya. Apakah infonya masih dibutuhkan?
      Jadi dari pengalaman terakhir saya, sekarang ini kalau SPPT PBB tidak sampai ke rumah dan juga tidak dipegang pak RT, kita bisa menanyakannya ke kantor kelurahan setempat.
      Jika di sana juga tidak ada, tanyakan di mana Unit Pelayanan Pajak Daerah (UPPD) yang menangani SPPT PBB di wilayah tersebut.

      Salam,
      Heidy

      Suka

  3. Saya juga kehilangn 1 lembar, 2011, ketik “kehilangan pbb”, alamat blok mbak yg muncul, saya klik….saya baca baris demi baris bikin penasaran…..ceritanya happy ending…..

    Suka

  4. Hihihiihi….lucu jg pengalamannya….eeehhh ternyata belakangan ini pengalaman tsb saya alami jg, saya mo buat SPPT PBB baru karena rumah yg kami tempati sekarang belum punya SPPT PBB nya….ternyata emang ribet banget ya kalo berurusan dgn Birokrasi di pinpong kesana kemari…..padahal kita pingin jd orang bijak…sesuai kata semboyan ORANG BIJAK BAYAR PAJAK….tp knapa dipersulit ya….jangan orang2 Birokrasi punya semboyan “Kalau bisa Dipersulit Untuk Apa Dipermudah”…

    Suka

    • Salam, terima kasih sudah mampir dan membaca cerita saya.
      Hehe iyaa emang ribet banget segala hal yang berhubungan dengan birokrasi..
      Ini baru soal PBB, belum pajak-pajak yg lain atau urusan lain yg lebih kompleks…fyuhhh…

      Suka

  5. Hallo mba… aku mw tanya saat qt tanyai ke ktr UPPD kasih data apa aja..
    Kebetulan ktr aku disub baru sekali bayar PBB dah gitu NOP nya juga gak tau brp..sama lah kasusnya spt mba..
    Tks

    Suka

    • wah maaaf, ingatan saya udah agak samar-samar nih tentang hari itu. *berasa nenek sudah tua … :D*
      Tapi kayaknya sih saya nggak bawa macam2, hanya KTP dan KK, jadi kayaknya data yg diminta hanya alamat lengkap …
      Mohon maaf ya kalau nggak membantu …

      Suka

  6. wohoo, aku sekarang punya etikad baik untuk bayar pajak, karana sudah 13tahun gk pernah peduli bayar pajak.. katanya yg dibutuhkan adalah SPPT.. aq gk punya SPPT..*meledak nih kepala..apa lagi kredit dana, jaminan sertipikat, yg diperlukan SPPT..

    Suka

  7. Maaf mba saya mau nanya saat ngurus ke uppd berkas apa saja yg diperlukan?karena saya mengalami kasus yg sama tidak ada sppt dan nop tidak diketahui, apakah copy shm bisa?terima kasih

    Suka

  8. Baca cerita mb Heidy, jd ketar ketir saya… kebetulan ibu saya menghilangkan sppt pbb buat paud yang sudah diganti menjadi fasilitas umum yg ga perlu membayar pajak lagi.. pas mau dipakai untuk memperoleh bantuan malah hilang… PR banget deh.. harus ngurusnya bagaimana? Huhuhuhu😢

    Suka

  9. mbakkk kita setipe
    setipe komoh dan rusuh..

    kenapa aku bisa nyasar ke blog ini?
    karena spt pbb hilang…
    entah ada dimana..clueless..

    adanya SPT tahun lalu yg BELUM DIBAYAR
    oohhh tidak..jadi aku harus mulai drmana ini?dr pantai kemudian belok ke hutan? *stereess*

    Suka

  10. Terimakasih mbak, tulisannya bagus, cara nulisnya juga bagus dan bisa menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa urusan dokumen memang tidak boleh ceroboh. apalagi kalau ingat bagaimana ngurusnya, sangat ribet dan menghabiskan waktu dan tenaga.

    Suka

  11. Untung ketemu blog ini, sangat membantu
    Krn bsk senin saya jg hrs berjuang mencari PBB d kelurahan,
    Alamakkkk.. blm ap2 uda terbayang ribetnya😂😂
    Thanks ya mbak atas curcolnya..

    Suka

  12. Hadeuhhhhhh mba sampe menguras emosi saya jadi ikutan kesal,tapi lucu juga,dan masalah ini Sekarang terjadi sama saya SPPT PBB saya hilang yg tahun 2017😭😭😭

    Suka

  13. mba heidy saya kebetulan kejadian saya sama dengan mba kehilangn sppt tahun ini dan tahun2 sebelumnya. saya mau tanya mba buat minta sppt yg belum bayar ke kelurahan syaratnya apa ya mba? masalahnya saya jga lupa rumah yg saya tempati atas nama siapa(rumah peninggalan orang tua)

    Suka

Tinggalkan komentar