Kabar Bahagia untuk Siapa?

Ada rasa yang berbeda ketika seorang teman mengabarkan kehamilannya atau kelahiran anaknya. Bukan sebuah perasaan sederhana. Baik dan buruk tercampur. Antara turut senang, antusias, sedih, dan iri.

Dua yang terakhir tentu saja lebih mudah dijelaskan penyebabnya. Karena aku sendiri belum mengalaminya (hamil dan melahirkan), maka ada perasaan sedih dan iri itu. Sedih karena seolah-olah hanya jadi penonton dan tak tahu kapan akan mendapatkan kesempatan yang sama. Iri karena merasa mendapat ketidakadilan. Dulu di tahun-tahun pertama perkawinan, aku bisa sampai kesal sekali jika mendengar kabar gembira itu dari pasangan yang menikah setelah kami. Rasanya seperti kalah dalam semacam lomba yang entah diselenggarakan dan dipopulerkan oleh siapa.

Soal senang dan antusias itu sebenarnya sebuah keajaiban. Yang hamil atau melahirkan orang lain, tidak ada hubungannya denganku, tetapi kenapa senang dan antusias itu bisa timbul juga? Kalau teman-teman yang sudah pernah mengalaminya sendiri ikut senang dan antusias karena mengingatkan pada pengalamannya sendiri, mungkin yang terjadi padaku adalah senang dan antusias karena masih ada satu prasangka baik: suatu saat nanti aku akan mengalaminya juga.

Dua rasa dari kutub yang berlawanan, seolah tarik menarik dan berusaha saling mengalahkan. Mana yang menang?

Beberapa minggu yang lalu, seorang teman bercerita tentang sahabatnya yang juga mengalami hal serupa denganku dan Hamdan. Di usia perkawinannya yang kalau tidak salah sudah lebih dari tujuh tahun, mereka juga belum dikaruniai keturunan. Menurut cerita temanku itu, sahabatnya tersebut bahkan selalu menghapus kontak teman-teman di ponsel blackberry-nya kalau mereka hamil, melahirkan, lalu memajang foto bayi mereka sebagai foto profil. Eh, sebenarnya yang melakukan itu suaminya, sih. Namun itu dilakukannya demi melindungi sang istri yang selalu menangis tiap kali melihat foto bayi baru lahir milik teman-temannya.

Mendengar cerita itu, aku termangu. Tentu saja aku mengerti sekali perasaan itu. Bukan tidak pernah aku merasakan kesedihan yang sama hingga benar-benar menangis. Dan bukan tidak pernah aku pun mengadukan kesedihan itu pada suamiku. Tapi bagaimanapun, aku maupun Hamdan tidak pernah sampai menghapus kontak teman-teman yang memajang foto anak-anak mereka. Yang terjadi malah sebaliknya: aku senang sekali berlama-lama memandangi bayi-bayi itu atau bahkan sang calon ibu dengan perut hamil mereka. Apalagi kalau orangtua sang bayi termasuk teman dekat. Wah, aku dan Hamdan sampai punya ‘agenda wisata bayi’: mencari waktu khusus untuk mengunjungi bayi-bayi baru lahir itu, lengkap dengan membawa kamera! Saking senangnya aku melakukannya, mungkin hal ini sampai sudah masuk kategori hobi. Jadi kalau ada perempuan yang punya hobi melihat foto-foto baju, tas, atau sepatu di toko online, aku punya hobi melihat foto-foto bayi dan perut ibu hamil. Kalau ada yang ‘banci foto’ dalam acara kumpul-kumpul bersama teman, aku ‘banci foto’ bersama bayi-bayi. Beda-beda tipis kan, kita? Hahhahaha.

bersama sahabat kami Chica, dan Azka, anak pertamanya Momo, putera pertama teman kami Sano & Ami (saat foto ini dibuat, mereka sendiri bahkan belum sempat berfoto bertiga!)bersama Kalya-nya Rieka mengunjungi Aishana-nya MegaEnzo, anak kedua teman kami, Cicil&Alfon

Sebenarnya wujud antusiasmeku atas kehamilan atau persalinan orang lain masih lebih jauh dari sekedar memandangi bayi-bayi atau perut ibu hamil itu. Sejak tahun pertama perkawinan, aku juga sudah rajin sekali mengikuti wacana-wacana kehamilan, persalinan, perawatan bayi dan balita  hingga pendidikan anak. Mulai dari nimbrung dalam percakapan teman-teman yang sudah menjadi ibu sampai mencari informasi sendiri melalui buku dan situs-situs di internet. Oya, juga kultwit di twitter. Tidak jarang aku tahu lebih dulu keberadaan akun yang giat menyebarkan informasi seputar kehamilan, persalinan atau parenting dan kemudian meneruskannya kembali pada teman-teman yang benar-benar membutuhkan (sedang hamil, akan bersalin, atau sedang pusing soal parenting). Belum lagi ditambah faktor mamaku yang kebetulan pada saat yang sama mendapat berbagai kesempatan untuk ‘mencicipi’ berbagai subdirektorat pada direktorat ibu dan anak di Kemenkes.  Segala macam ilmu dan kebijakan terbaru terkait kesehatan dan pendidikan pun kusantap dengan lahap.

Kalau dipikir-pikir, aku sendiri pernah merasa aneh. Semua wawasan itu belum tentu kubutuhkan (jika aku memang tidak akan pernah hamil dan berketurunan) dan bisa saja justru membangkitkan kesedihan karena semakin mengingatkanku pada kondisiku sendiri. Tapi itu kalau dipikir. Kenyataannya, perasaanku tidak sejalan dengan pemikiran itu, kok. Aku benar-benar senang melakukannya. Seperti yang kukatakan sebelumnya, layaknya sebuah hobi saja!

Aku mendapat pemahaman baru saat beberapa tahun yang lalu mulai membuka usaha jasa ‘teman belajar’ di rumahku sendiri. Di ‘rumah belajar’ku ini, aku bukan hanya menjadi teman belajar untuk pelajaran sekolah. Dengan serius, semangat, dan senang hati aku juga merancang kegiatan-kegiatan bermain sambil belajar dan menyelipkan misi pendidikan keluarga. Di sini murid-muridku tidak hanya belajar menghitung bilangan pecahan atau melakukan percakapan Bahasa Inggris. Mereka juga belajar untuk menghabiskan makanan dan minuman yang telah mereka ambil sendiri dan bertanggungjawab atas ‘kecelakaan-kecelakaan’ kecil yang mereka timbulkan. Gembira sekali rasanya ketika setelah beberapa waktu, salah seorang muridku yang sebelumnya memilih-milih makanan dan menyisakan minuman di gelas malah mulai mengingatkan temannya untuk selalu menghabiskan makanan dan minuman yang diambilnya! Bahagia tak terkira pula ketika salah satu murid meminta orangtuanya yang telah datang menjemput untuk menunggu karena ia begitu bersemangat ingin menyapu lantai yang kotor oleh tumpahan sampah rautan pensilnya. 😀

Ternyata, ada pencerahan yang kuperoleh setelah memutuskan untuk menjadi seorang guru: aku tidak perlu menunggu untuk hamil dan melahirkan sendiri demi menjadi seorang ibu. AKU SUDAH MENJADI IBU. Anak-anakku adalah murid-muridku (dan karena aku sudah mengajar di berbagai tempat selama beberapa tahun, jumlahnya sudah tak terhitung). Dan sebagai seorang ibu, ada harapan yang besar saat ‘menghadapi anak-anakku’: berharap mereka berakhlak mulia, tumbuh menjadi orang-orang yang berguna, sukses dan bahagia dunia akhirat.

Pencerahan itu menjadi semacam jawaban mengapa perasaan bahagia dan antusiasku pada akhirnya selalu mengalahkan sedih maupun iriku saat mendengar kabar kehamilan atau kelahiran bayi seorang teman: ANAK MEREKA ADALAH ANAKKU JUGA.

Jika dibutuhkan, aku siap menjadi teman berbagi mereka. Nah, jadi ada gunanya kan aku menyantap segala ilmu soal ibu dan anak itu? Karena teman berbagiku bukan hanya pasutri lain yang juga belum berketurunan. Ibu hamil, ibu menyusui, ibu yang anaknya telah bersekolah pun tetap teman-temanku. Teman-teman yang tak ingin kuhindari saat sedang asyik membahas anak-anak mereka.  Teman-teman yang tak akan mungkin kuhapus kontaknya dari ponselku hanya karena mereka hamil dan melahirkan dan memasang foto anak-anak mereka.

Saat mendengar sebuah kabar kehamilan atau kelahiran, yang sampai ke telingaku bukan sekedar kabar lahirnya bayi pasangan suami istri yang lain, melainkan sebuah pengingat tentang kebesaran Sang Maha Agung: telah hadir lagi seorang hambaNya, bagian dari ruhNya, yang insyaAllah akan menjadi khalifahNya yang kelak akan menebar banyak manfaat di bumi. Maka bukankah wajar jika aku berbahagia, tulus mendoakannya, dan sedapat mungkin turut mendukungnya mencapai harapan itu? Soal ia keturunan kami atau bukan, tidak ada hubungannya. Ini kabar bahagia untuk kita semua! 🙂

Salam bahagia,

Heidy

18 komentar di “Kabar Bahagia untuk Siapa?

  1. Heidyyyyyy…..aku terharu. Pertama karena ada foto gw dan Azka (HAHAHA, teteupppp) dan yang kedua, tentunya yg lebih utama karena membaca tulisan lo ini….You are going to be a great mom for your “own” child(ren), InsyaAllah. Allah lagi mempersiapkan seorang ibu (dan ayah) yang super sekali nampaknya. Semoga ya Dy….*gw sambil berkaca2x, membayangkan elo nanti ketika akhirnya menggendong buah hati sendiri- yg bisa dipeluk, cium, sayang, didik,…. #pelukerat.

    Suka

    • Chica….hueee komentarnya lebih mengharukan lagi… Aamiin terimakasih doa/harapannya yg sangat tulus, semoga anak-anakmu pun tumbuh bahagia lahir batin, sukses dunia akhirat berkat kasih sayang dan didikan super Ibu & Papanya… *peluuukk*

      Suka

  2. terharu sekali membacanya,,saya juga sudah melakukan beberapa pengobatan agar saya bisa hamil…3 tahun sepertinya telah membuat saya letih…saya juga terkadang sedih & menangis ketika teman2 saya di FB atau BBM memasang foto anak mereka..tentang update status mereka yg merasakan kebahagiaan saat ngidam,,saat mabuk,,saat merasakan gerakan bayi dalam perut mereka…Saya hanya bisa menitikan air mata,,dan mengeluh Kapan Allah juga akan memberikan Anugrah terindah itu untukku…Beruntung memiliki Suami yg tak banyak menuntut,,Dia yg selalu menguatkan saya,,dia yg selalu menyemangati & memotivasi agar saya tidak berhrnti berharap..agar saya tidak berhenti berikhtiar…Dia juga yg meyakini saya bahwa Allah akan memberikan Anugerah itu suatu saat nanti…

    Suka

    • Hai mbak Devie.. iya saya mengerti betul perasaan-perasaan itu. Alhamdulillah, mendapatkan suami yg sabar & tawakal pun anugerah terindah, kan?
      Tetap semangat ya mbak, semoga kita dikaruniai kemampuan untuk sabar, ikhlas dan selalu bersyukur. Aamiin 🙂

      Salam,
      Heidy

      Suka

  3. saya saat ini sedang menjalani terapi kehamilan.. membaca cerita” mba Heidy seperti membaca cerita kehidupan saya sendiri.. setiap air mata, harapan dan ikhtiar.. semoga kesabaran dan keikhlasan selalu ada di hati kita.. amin..

    Suka

    • Hai, Mia.. ah… aku mengerti sekali perasaan itu.. terima kasih banyak, bertemu dan bertukar rasa dengan teman seperjuangan sungguh memberi semangat dan menambah kekuatan. Semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang bersyukur dan bahagia. Salam untuk suami, ya. 🙂

      Suka

  4. Terima kasih untuk Inspirasinya… Aku jg sudah hampir 3tahun menikah dan sama sekali belum pernah hamil.. Semoga Allah menganugerahkan kita semua dengan kesabaran dan kekuatan untuk menjadi hambanya yang sholeh dan mendapatkan ridho dan cintaNya..aminnn 🙂

    Suka

  5. Ternyata apa yg mba Heidy ceritakan diatas mirip dengan saya… saya menikah sudah 15 tahun… tp. sampai saat ini belum ada tanda2 kehamilan….. rasanya seperti putus asa… kalau tidak mengingat Nikmat Tuhan yg tiada terkira….. sampai bosan rasanya mencoba berbagai hal…. dari makan a, terapi b dlsbg. Pernah juga mau HSG, tapi malah dimarahi dokter…….. Memang sesuatu itu kalau belum diridhoi sama yg di atas … sebesar apapun kita berusaha…… nggak akan ada hasilnya…… Salam kenal dan semoga kita bisa saling menguatkan & mengingatkan satu sama lain.

    Suka

    • Subhanallah…
      Terima kasih ya Mbak Lilis sudah bersedia ikut berbagi di sini.
      Apa yang Mbak curahkan di sini telah mengingatkan dan ikut menguatkan saya.
      Memang benar bahwa tidak ada orang yang mendapat ujian kecuali yang mampu menanggungnya.
      Senang dan bangga sekali rasanya bisa berkenalan dengan Mbak Lilis yang begitu kuat.
      Semangat, Mbak, semoga kita semua diberi kekuatan untuk tidak pernah berputus asa:)

      Salam,
      Heidy

      Suka

  6. Mba,,,salam kenal, terima kasih untuk memberi inspirasi utk saya dan orang2 dluar sana yg juga senasib. Sy dan suami sudah menikah 2,5 tahun,namun Allah blm mengizinkan kami utk punya keturunan. Senang rasanya bisa membaca tulisan2 mba, krn bisa mnjadi kekuatan dan motivasi utk sy pribadi. Semoga Allah selalu memberikan kekuatan dan kesabaran untuk kita semua (intan &harry)

    Suka

    • Alhamdulillah, senang sekali jika kotretanku di sini ada gunanya untuk orang lain.
      Terima kasih banyak, ya.
      Semoga Mbak Intan & Mas Harry selalu dalam lindungan Allah, sehat dan bahagia selalu.
      Lalu sesuai doa Mbak juga, semoga kita diberikan kekuatan & kesabaran dlm menghadapi ujianNya, aamiin.

      Salam,
      Heidy

      Suka

  7. Subhanallahh mba…terharu jadinya. Saya juga belum diberi keturunan sampai saat ini. 2,5tahun menikah belum ada tanda2 kehamilan. Perasaan saya juga sama seperti mba2 Ɣªήğ komen disini. ♏ªΰ ikhtiar ini – itu kepentok dengan biaya. Jadi kami ikhtiar juga sesuai dgn kemampuan kami saja. Kami berharap ini menjadi bagian ladang amal kami dan kita semua. Karna doa dan air mata selama ini serta sabarnya qt dalam menanti momongan akan menjadi amal baik Ɣªήğ akan menolong qt diakhirat kelak. So, semangat ttp harus ada, ikhtiar ttp harus jalan terus. Apapun hasilnya, pasrahkan saja sama Allah. Ɣªήğ penting qt sudah puas berikhtiar.

    Suka

  8. Duh, Mbak. Saya bacara artikel Mbak dan langsung menangis. saya juga mengalami hal yg sama. perasaan senang bercampur sedih saat mendengar berita teman-teman yang menikah setelah saya ternyata sudah hamil. sering kali jadi berakibat rasa sebal pada teman2 yg sedang memasang foto hamil atau anak atau kisah2 kehamilan dan melahirkan mereka. saya bahkan sering sekali berusaha menghindari teman2 saya itu. astaghfirullah. saya masih terus belajar menata hati saya Mbak. terimakasih sharing-nya. sangat bermanfaat. setidaknya, saya merasa tidak sendiri :’)

    Suka

  9. beautifully written, sampe terharu bacanya, bikin aku semangat lagi buat legowo ya 😀 keep up the good work! semoga akhirnya impian kita menjadi ibu bagi anak dari buah cinta kita & suami segera terwujud..amin

    Suka

    • Thank you, mbak Anggia .. alhamdulillah kalau tulisanku bermanfaat.
      Aamiin, semoga Tuhan memberikan yang terbaik untuk kita, ya.
      Terima kasih sudah membaca ceritaku, salam kenal 🙂

      Suka

Tinggalkan komentar