Entah karena didikan sejak kecil atau bawaan orok, berhemat dan mengatur keuangan sebenarnya adalah kegemaranku. 😀 Ketahuilah wahai teman-temanku di dunia nyata, karena kita sudah sama-sama dewasa, aku baru berani berterus terang begini. Di masa kanak-kanak hingga remaja dulu, sungguh, aku merasa jika terang-terangan berkata begini akan sangat sukses menyebabkanku tidak punya teman lalu membuat Heidy kecil (atau abg) yang masih sangat labil itu sedih dan gelisah…hehehe. Sekarang? Ah masa iya, kau yang pasti sudah jauh lebih bijaksana masih memilih teman berdasarkan hal semacam ini. Yah.. kalaupun ada yang begitu, aku rugi apa, ya?
Soal aku dan berhemat. Didikan sejak kecil sebenarnya perlu dipertanyakan juga, sih. Wong aku berbeda kok, dengan mama dan adik perempuanku. Hmm. Wallahu a’lam (hanya Allah yang tahu kenapa) deh. Jadi kalau ada orangtua mengkhawatirkan anaknya gila belanja, untuk kasusku, yang dikhawatirkan justru ketidakpedulian itu sendiri. Lalu adikku pun ikut mengkhawatirkan kakaknya ini. Dan setelah menikah, bertambahlah yang khawatir: suamiku. Kalau pada umumnya suami pusing melihat istrinya yang terus menerus belanja baju, sepatu, perhiasan dan sebangsanya, suamiku sendiri pusing melihatku yang entah kapan tergerak hatinya untuk membeli baju baru. Walhasil, hampir tiap pakaian baru di lemariku adalah hasil belanja Hamdan, mamaku, atau adik perempuanku. Sebuah upaya keras menyelamatkan seorang Heidy dari ‘pakai baju yang itu-itu juga’! Hihihi.
Nah, mari pindah ke persoalan selain pakaian. Aku teringat ketika di tahun-tahun pertama pernikahan, aku bercerita pada mamaku tentang bagaimana rasanya aku harus sedikit menyesuaikan pemikiranku soal berhemat. Ini berhubungan dengan Hamdan yang waktu itu bekerja jauh dariku. Meski sebagian besar waktu bekerjanya adalah di tengah laut dan aku tak boleh ikut serta, ada kalanya ia harus berada di darat selama beberapa hari. Daratan yang dimaksud adalah kota Balikpapan. Nah, pada masa-masa itu, aku dapat datang mengunjunginya. Ada uang, cari tiket pesawat, beli, terbang, sampai, bertemu. Beres. Mudah sekali, tapi lalu aku sempat meragukan kebijaksanaanku dalam menggunakan uang. Tiket pesawat kan tidak semurah harga bajuku. Apakah ini tidak termasuk hidup bermewah-mewahan?
Mamakulah yang kemudian membawaku pada sudut pandang lain dalam berpikir. Apa sesungguhnya yang mahal di dunia ini? Tiket pesawat Jakarta-Balikpapan mungkin lebih mahal jika dibandingkan dengan sepotong baju. Tapi bagaimana jika perbandingannya adalah dengan ridho suami dan berkah Allah? Wah, aku tidak berani membayangkan jika aku menolak mendatangi suamiku hanya karena pertimbangan berhemat namun kemudian malah memicu hal-hal yang tidak diinginkan. Ujung-ujungnya, mana yang lebih mahal? Naudzubillahi mindzalik...semoga kita semua terhindar dari hal-hal semacam itu. Syukurlah, ternyata keputusanku untuk mengeluarkan beberapa rupiah demi kebersamaan dengan suami itu bukan merupakan hal yang tidak bijaksana.
Namun, pemikiranku soal berhemat masih terus berlanjut. Salah satu yang banyak terpikirkan olehku dan Hamdan adalah pengeluaran-pengeluaran dalam rangka program hamil. Dulu, meski punya asuransi kesehatan (dari perusahaan tempat bekerja), hal itu tak ada gunanya untuk masalah-masalah infertilitas. Karena itu, kami harus merogoh kocek sendiri untuk melakukan pengobatan-pengobatan terkait. Terapi PLI yang memaksaku mengeluarkan uang sekitar delapan ratus ribu rupiah per bulan itu, misalnya. Kali terakhir melakukan terapi itu, aku dan Hamdan membahas tentang uang yang keluar dan penghematan disana-sini yang harus dilakukan demi si urusan program hamil. Pembicaraan itu membuat kami sama-sama merasa tidak nyaman. Aku sedih dan tersinggung, suamiku pusing dan stres. Sungguh tidak enak rasanya, apalagi mengingat terakhir kali kami bertengkar sebelumnya adalah sekitar dua tahun yang lalu. Saat itulah aku merasa ada yang tidak benar. Untuk apa bayar mahal demi sebuah terapi medis yang katanya mengatasi masalah infertilitas, kalau suami istri sang pemeran utamanya malah jadi tidak rukun damai sentosa? Sebaliknya pun begitu: untuk apa sibuk menghitung harta, memperketat pengeluaran di sana-sini demi satu impian yang ternyata sudah sangat dini terlihat: bukannya mendatangkan ketentraman, malah memicu ketidakharmonisan? Bukankah semuanya jadi sia-sia?
Saat aku dan suamiku mulai membahas rencana-rencana terdekat untuk masa depan, topik tentang bayi tabung tercakup di dalamnya. “Apakah kita akan melirik solusi bayi tabung?” sempat menjadi pertanyaan besar bagi kami. Hamdan bahkan sempat berpikir untuk membatalkan rencana kuliahnya jika aku sangat ingin mencoba program bayi tabung. Kembali lagi, aku serius bertanya pada diriku sendiri: mana yang terpenting? Kehadiran keturunan itu hanya kuasaNya. Bagaimanapun orang berpendapat bahwa itu adalah langkah yang patut dicoba (mengingat terutama usia kami masih muda sehingga peluang keberhasilannya tinggi), bukankah tetap saja kepastian itu tidak ada? Maka bukankah tidak bijaksana, jika demi hal itu aku mengorbankan hal yang tak kalah penting seperti hasrat dan usaha untuk hidup yang lebih baik?
Ada yang lebih baik daripada gila-gilaan menguras tabungan demi program bayi tabung: sedekah. Bukan bermaksud hitung-hitungan bisnis dalam rangka ‘menyogok’ Tuhan untuk dapat anak, tapi demi ikut serta dalam sistem semesta yang diciptakanNya: memelihara berkah. Dalam sebagian harta kita, terdapat hak orang lain yang membutuhkan (Sesungguhnya aku sangsi, jika setiap orang di dunia ini mengeluarkan zakatnya dan tidak mengambil hak orang lain, apa iya masih ada orang miskin?). Jika hak itu kita tahan, apa yang terjadi? Untuk apa menahan beberapa puluh atau ratus ribu rupiah tapi kemudian Allah tidak ridho dan kemudian kita malah mendapat musibah yang sampai membuat rugi berjuta-juta rupiah atau bahkan mungkin sudah tak ternilai lagi oleh uang? Lalu apalah artinya menyisihkan sedekah doa, senyum, membantu memudahkan urusan atau melancarkan rezeki orang lain tanpa berharap imbalan dari mereka jika ternyata itulah yang menjadi jalan untuk segala berkah dalam hidup kita sendiri?
Mama, wanita teladan dalam hidupku pernah berkata: “Kita tidak akan miskin selama terus bersedekah, berbuat baik, dan tidak malas.” Dan aku pun sudah menyaksikan sendiri buktinya. Semakin banyak memberi, yang datang bukan kemiskinan atau kekurangan, malah rezeki yang terus mengucur. Sungguh ajaib, bagi sepasang mata manusia.
Bagiku, berhemat itu tetap sebuah hobi penting. Namun kini, sudah ada pesan sponsor yang mengikuti: berhematlah pada tempatnya. Jika hal itu tak berhubungan dengan siapapun (hanya kepentinganku sendiri), maka itulah saat yang tepat untuk berhemat. Jika itu erat kaitannya dengan rezeki, kemudahan, kebahagiaan hidup orang lain, aku tidak berani. Mari berbagi tanpa mengharap imbalan dari sesama dengan hati yang ringan. Mari berbagi tanpa dihitung-hitung karena Allah-lah yang Maha Menghitung (InsyaAllah untung terus!). Mari berbagi hanya karena mengharap ridhoNya dan keberkahan dalam hidup, dalam bentuk apapun.
Salam semangat berbagi!
Heidy